Dialah Sabariah!Â
Sesuai dengan namanya, Sabariah, sifatnya pun demikian, ia penyabar, berbudi pekerti, luas pandangan, dan memegang teguh kebenaran, menjaga dan merawat apa yang dia miliki. Merupakan suami dari Pulai, seorang lelaki yang baik budi, paham adat, tetapi seorang yang miskin, tidak berharta, dan seorang perantau saja.
Ketabahan dan kesetiaan merupakan prinsip dari sosok Sabariah, Pulai pergi merantau ke negeri orang untuk mencari peruntungan, tiada berkabar, berkirim surat, maupun berkirim uang belanja, Sabariah tetap berpikir positif. Dalam kelaparan dan kemelaratan yang dialaminya, ia masih tetap setia menunggu Pulai, dan selalu mendoakan segala hal baik akan suaminya.
Namun, mereka mendapatkan ujian berupa sebuah restu yang terhalang dari keluarganya sendiri, yaitu Sariaman (Ibu Sabariah) Melihat nasib anaknya bersuami dengan seorang yang tidak berharta, di perantauan pun Pulai tidak datang-datang dan mengirimkan uang, ia bersikeras memisahkan Sabariah dengan Pulai, tetapi Sabariah tetap meyakinkan akan cintanya pada Pulai kepada ibunya.
Sariaman, yang hendak menikahkannya dengan Suman, seorang yang pernah berniaga dari Bengkulu yang telah pulang kampung dan mendapat untung baik, hidupnya sudah mapan dari sebelumnya, ia sudah memiliki harta yang cukup, dan sanggup membeli apapun yang diinginkan. Sabariah, bukan main terkejut mendengar penuturan Sariaman, ibu kandungnya. Ia menangis, sesak dadanya.
Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.
(al-Baqarah:155)
Diperantauan, Â Pulai merasakan manis dan pahitnya menjadi seorang pedagang. Suatu masa, datanglah seorang kawan dari kampung halamannya, Nagari Sungai Batang, memberikan bungkusan kecil yang berisi ikan kering dan sebuah surat dari ibu kandungnya. Surat tersebut berisi tentang bagaimana keadaan keluarganya di kampung, terutama sekali istrinya, Sabariah, yang terus menerus dipaksa ibunya, Sariaman, untuk berpisah darinya dan menikah dengan Suman seorang lelaki yang sudah berharta, sementara Sabariah tengah dirundung kebimbangan, oleh karena itu, dalam isi surat itu ibunya memintanya dengan harap bahwa ia segera pulang ke kampung halaman.
Setelah meninggalkan ranah Ujung Gunung, sampailah ia di Nagari Sungai Batang, di pekan Maninjau ia pulang. Memanglah benar apa yang dikatakan ibu kandungnya. Terlebih, saat Sariaman, melihat menantunya telah pulang tetapi tidak ada hal istimewa darinya, yang ia bawa pulang dari perantauan tidak ada harta benda melimpah seperti orang-orang, bertambah kuat keinginannya memaksa Sabariah menikah dengan Suman, bahkan ia mengatakan kalau Sabariah tidak mendengarkan perkataannya, tidak mematuhi keinginannya, tidak lagi ia menganggap Sabariah sebagai anaknya. Tetapi Sabariah seorang yang tulus, keteguhan cinta dan kesetiaannya kepada Pulai, suaminya membuatnya tetap memegang teguh biduk rumah tangga mereka.
"Kata ambo tidak bertolak. Jika mati, kita sama-sama mati."