Sebagai manusia yang punya akal dan menjunjung tinggi rasionalitas, tentu perkara objektivitas dalam memandang suatu realitas adalah kewajiban mutlak. Karena mekanisme kerja rasio adalah menggunakan rumusan logika yang bekerja dalam otak. Dari inderawi yang menangkap citra realitas, masuk ke dalam Thalamus lalu diteruskan ke korteks di Lobus Frontalis otak (sebelum masuk ke korteks, mampir di Amigdala untuk mendapatkan kesan afeksi / emosi) untuk proses berlogika, yaitu, pengumpulan berbagai premis dari memori terdahulu (ingatan akan suatu realitas, ingatan akan kesimpulan logika sebelumnya, atau ingatan akan ilmu pengetahuan, entah secara teoritisi maupun hasil eksperimental-nya) dan citra realitas yang baru saja ditangkap melalui proses inderawi untuk dimasukkan pada bangunan logika deduksi -- induksi -- kausalitas -- analogi (dimana bisa berlaku kombinatif) sehingga berakhir pada kesimpulan final logika. Ketika saya mengatakan "mekanisme kerja rasional", terdapat asumsi bahwa yang dominan dalam rangkaian proses tersebut adalah bangunan logikanya, bukan kesan afeksi-nya (dari Amigdala).
Maka dari itu, tetaplah satu yang sangat penting dalam proses kerja rasio adalah objektivitas data yang akan dimasukkan dalam premis logika. Artinya ketika yang akan dimasukkan dalam bangunan logika adalah mengenai suatu memori atas suatu realitas, maka memori afeksi phobia akan realitas tadi tak boleh ikut dimasukkan. Atau mengenai suatu ingatan teori ilmu pengetahuan tertentu, maka jangan sampai doktrin dan rumor tak logis tentangnya malah diikutsertakan. Karena akan berpengaruh besar pada kesimpulan logika-nya.
Namun ketika kita ingin untuk objektif dalam memandang suatu realitas, terdapat hambatan baru berupa intervensi kepentingan politik. Kepentingan politik bagaimana? Dalam konteks ini, yaitu suatu bentuk kepentingan praksis yang bukannya mengedepankan kepentingan nasional, kesejahteraan sosial atau masa depan demokrasi, namun mengedepankan kepentingan segelintir orang dalam pemerintahan yang hanya berhasrat untuk memempertahankan kekuasaan politik dengan cara apapun. Entah dengan penggiringan opini, propaganda hoaks, dan sebagainya.Â
Melalui analisa mendalam, dalam banyak kebijakan / propaganda pemerintah berhasil menemukan titik terang yang kontradiktif dengan pernyataan resmi pihak istana negara. Berbagai klaim keberhasilan, klaim pembelaan, sikap politis Presiden terkuak sebagai sebuah dramaturgi perpolitikan, bukan sebagai upaya mencerdaskan bangsa ataupun mewujudkan kesejahteraan sosial. Campur tangan kepentingan politik itu lah yang membuat berbagai "truth claim" pemerintah menjadi hoaks yang merusak objektivitas publik dalam mengamati tatanan politik. Kini, pernyataan ataupun analisis institusi pemerintahan, tak bisa sepenuhnya diterima secara penuh sebelum membongkar kepentingan politik yang mengintervensi. Teorema "take it for granted" tak boleh berlaku lagi hanya karena yang mengatakan adalah pejabat atau analis dalam institusi pemerintahan dalam bidangnya sendiri.
POVERTY LINE VERSI BPS
Melalui situs resmi Badan Pusat Statistik, Indonesia menetapkan standar garis kemiskinan / poverty line pada angka 0,882 US Dollar, atau jika dirupiahkan senilai Rp. 13.374 (kurs Rupiah terhadap US Dollar = Rp. 15.150). Standar tersebut memiliki pemaknaan bahwa ketika dalam sehari 1 orang memiliki uang sejumlah kurang dari Rp. 28.785 dalam dalam satu hari untuk kebutuhan hidupnya, baru BPS akan menggolongkannya dalam kategori "miskin". Namun yang memiliki uang sejumlah batas poverty line atau lebih, tidak akan dianggap "miskin" secara statistik (versi BPS tentunya). Namun kalau melihat dari kelengkapan informasi, jelas bahwa memang demikian itu data resmi dari BPS.Â
Akhirnya jika dihitung persentase penduduk kategori miskin, nilainya 9,82 dari total seluruh penduduk Indonesia. Bahkan ditekankan oleh Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers, "Untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di dalam satu digit (9,82%)". Juga oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga menuturkan hal yang sama kepada wartawan, "For the first time in the history of Indonesia tingkat kemiskinan dibawah 10%". Secara ketatanegaraan, BPS juga merupakan salah satu lembaga negara yang independen selain KPU, KPK, Bawaslu, BPK, dan Bank Indonesia tentunya. Sehingga BPS bukan bawahan dari Presiden Jokowi ataupun menteri-menterinya. Bawahan dalam artian berada dalam kontrol penuh otoritas kekuasaan jabatan presiden. Sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada masyarakat Indonesia melalui publikasi hasil statistik dalam situs resmi.
Logikanya, ketika memang secara ketatanegaraan tak boleh ada campur tangan otoritas pemerintahan lainnya, maka secara metodologi statistik, standarisasi, dan publikasi hasil statistik pun berarti kan murni berasal dari analis statistik dalam lembaga tersebut, bukan dari Presiden, Menteri Keuangan, atau bahkan Menko Perekonomian. Secara eksplisit, kita akan mengiyakan hasil statistik tersebut dan ikut bersukacita atas keberhasilan rezim dalam menurunkan angka kemiskinan ke single digit.
Sekarang, ketika kita berbicara soal realitas yang terjadi ketika seseorang berbicara mengenai kondisi kemiskinan se-Indonesia. Beberapa saat setelah BPS mempublikasikan angka kemiskinan single digit, Presiden Jokowi ikut mempublikasikannya dan menambahkan ungkapan syukur dan bangga.Â
Menteri Keuangan kita pun ikut berujar hal yang sama didepan awak media, berbagai media mainstream pemerintah pun ikut-ikutan memberitakan hal yang sama dengan menggunakan ungkapan memamerkan keberhasilan pemerintahan persis seperti pada publikasi statistik pada situs resmi BPS. Publikasi resmi dan non-resmi yang masif berdengung dalam telinga masyarakat, banyak pihak pula ikut meramaikan "suka cita" tersebut.
Namun, tak sedikit pula kritik terlontar atas fenomena "suka cita tersebut", dimana menyebutkan bahwa standarisasi poverty line tersebut tak masuk akal. Banyak pihak akhirnya bertanya, apakah BPS berbohong pada kita? Apa pemerintah juga berbohong dengan ikut memblow-up "suka cita" itu? Lalu bagaimana seharusnya poverty line yang sesuai kontekstual Indonesia?
Sederhana, ketika ingin menentukan poverty line, variabel biaya hidup wajib diperhitungkan. Berdasarkan data resmi mengenai UMK (Upah Minimum Kota), didapatkan sampling pendapatan beberapa kota di Indonesia (membagi per 30 hari nilai UMK di Surabaya, Karawang, dan Trenggalek). Alasan mengapa mengambil 3 kota tersebut karena Karawang merepresentasikan UMK tertinggi nasional, sedangkan Surabaya merepresentasikan kota metropolitan sekaligus sebagai kota dengan UMK tertinggi se-Jawa Timur, dan Trenggalek mererpresentasikan kota dengan UMK terendah nasional.Â
Maka, didapatkan interval angka interval angka Rp. 50.327 -- 120.175 sebagai proyeksi biaya hidup. iya jika diterapkan di daerah dengan biaya hidup rendah, angka 50.000-90.000 sehari masih masuk akal dijadikan poverty line, namun bagaimana dengan kawasan metropolitan dan kawasan non-metropolitan dengan biaya hidup lebih tinggi? Tentu butuh sekitar Rp. 110.000-120.175 sehari.
Jika dibandingkan, BPS hanya punya 1 poverty line yaitu US $0,882, sedangkan World Bank punya 3 poverty line yaitu US $1,90, kurs = Rp. 28,785 (Extreme Poverty / Kemiskinan Ekstrem); US $3,20, kurs = Rp. 48.480 (Lower Middle-income Poverty / Kemiskinan dengan Pendapatan Menengah Kebawah) dan US $5,50, kurs = Rp. 83.325 (Upper Middle-income Poverty / Kemiskinan dengan Pendapatan Menengah Keatas).
 Nah, kembali pada data BPS, dimana mereka menetapkan angka US $0,882 sebagai Poverty Line, tentu menjadi tak masuk akal, bukan? Jangankan jika dibandingkan dengan data World Bank, dengan kalkukasi proyeksi UMK dan biaya hidup Indonesia saja masih kalah rendah. Padahal dalam tiap program pengentasan kemiskinan, yang dijadikan standarisasi untuk mengukur tingkat keberhasilan program adalah poverty line dari BPS.
implikasinya, fenomena "singe digit" menjadi booming dalam tubuh pemerintahan, seolah menjadi catatan prestasi tersendiri, padahal faktanya tidak demikian. Yang tercatat "miskin" sangat sedikit (9,82%) karena memang standarnya terlalu rendah. Ini malah bukan menjadi hasil statistik yang akan menggelorakan hasrat bangsa untuk kontribusi dalam pengentasan kemiskinan, namun menjadi modal kepentingan politik untuk memblow-up "suka cita semu" akan turunnya angka kemiskinan.Â
Akal publik akan tertipu akan ilusi "single digit" tersebut, objektivitas masyarakat dalam memandang fenomena kemiskinan akan kabur, hanya karena justifikasi bahwa "BPS adalah lembaga independen yang mustahil diitervensi kepentingan politik". Poverty line tersebut bukan baru saja dirancang oleh BPS, tapi sudah berlaku bertahun-tahun tanpa adanya perubahan sedikitpun. Ada apa gerangan? Jika analis BPS itu netral dan independen, tentu sudah lama mereka melakukan revisi poverty line, dengan asumsi wawasan mereka atas data World Bank dan proyeksi biaya hidup Indonesia.Â
Ternyata, kita dapatkan dari rangkaian analisa diatas, analis BPS terbukti tak netral. Karena jika murni netral dan independen, poverty line akan melonjak tinggi dan pemerintah kita tak akan punya modal data statistik apapun untuk "bersuka cita". Ini baru objektivitas yang murni, tak terikat akan kepentingan politik manapun, tak terikat pernyataan resmi pemerintah bagaimanapun, tak terikat justifikasi  atas independensi BPS, namun melihat langsung realitas standarisasi kemiskinan dengan objektivitas yang terukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H