Menjadi tidak adil jika pemerintah dengan dalih pemerataan siswa pintar namun tidak memeratakan juga fasilitas pendidikan yang ada di sekolah-sekolah. Betapa ruginya mereka yang ingin mendapatkan sekolah dengan fasilitas baik namun dipaksa masuk ke sekolah dengan fasilitas buruk bahkan ala kadarnya. PPDB akan sangat baik dan bagus bila fasilitas sekolah juga sama baiknya, sehingga semua siswa memiliki hak yang sama dalam memperoleh sarana pendidikan di sekolah. PR besar untuk pemerintah....
5. Kualitas Guru Dipertanyakan
Bagaimana bila si pintar potensial akhirnya terpaksa sekolah di desa dengan sekolah ala kadarnya, dan juga guru yang ala kadarnya. Sudah menjadi rahasia umum guru-guru di pelosok kurang memiliki integritas yang baik dalam mengajar terutama dari segi keilmuan dan softskill. Banyak guru-guru di pelosok yang kurang bersemangat dalam mengajar, tidak disiplin dan kurang kreatif serta pengen cepet-cepet pulang ke rumah saja. Ini juga menjadi PR besar bagi pemerintah untuk memeratakan kualitas guru-guru di setiap sekolah sehingga keadilan bisa tercipta.
6. Melanggar HAM
Hak asasi memang dibatasi. Namun lucunya, hak asasi dalam memperoleh pendidikan dibatasi oleh "jarak", bukan kemampuan dan hasil perjuangan. Ini sangat lucu. Seharusnya negara menjamin kebebasan rakyatnya untuk bisa memperoleh pendidikan dimanapun mereka mau, ilmu bukan untuk dibatasi, apalagi oleh jarak. "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", bukan tuntutlah ilmu maksimal 6 km... Mungkin argumen ini yang paling tidak logis. Tapi memang faktor "jarak" ini patut ditertawakan.
Mengapa saya hanya mengghibah kekurangan PPDB?
Karena kelebihannya sudah dibahas oleh pemerintah yang mungkin anaknya tidak merasakan berada di zona 2. Atau bahkan tidak berada di zona manapun. Sistem PPDB tahun ini tentu harus dievaluasi lagi melibatkan mereka-mereka yang dirugikan oleh sistem zonasi murni. Kalo yang "merasa" dirugikan mungkin akan sangat banyak. Tapi  ajaklah mereka yang "memang" dirugikan.
Dengan sistem ini tentu akan merambat ke degradasi prestasi dari tiap individu di kemudian hari. Untuk seukuran anak kecil mencari ilmu itu bukan target yang utama, harus ada sesuatu yang membuat mereka ingin berprestasi. Contoh kecilnya biasanya mereka ingin masuk ke sekolah X dengan alasannya masing-masing. Begitu ini hilang, tentu anak-anak pada akhirnya akan kehilangan semangat dalam berprestasi karena salah satu tujuannya bisa jadi hilang.Â
Sekolah unggulan hilang, karena target pemerintah semua sekolah sama-sama berpretasi. Ini juga lucu, betapapun pinternya muridnya, tanpa fasiltas yang mendukung dan guru serta orang tua yang mendukung hilang sudah kesempatannya untuk maju.
Di sisi lain sekolah yang tadinya berprestasi di kancah internasional bisa jadi kehilangan bibit-bibit potensial yang seharusnya bisa mereka kembangkan di sekolahnya dengan SDM dan fasilitas yang baik. Kalo target pemerataan sama-sama naik ke atas tentu bagus, la kalo sekarang bisa dipastikan pemerataannya akan downgrade akibat ketidakadilan fasiltas dan SDM yang mumpuni.
Kini, tak perlu berprestasi pun, bisa masuk sekolah terdekat kok, santai...
Masih ada yang bilang "anda kok pesimis sekali, harusnya ya ga usah terpengaruh, prestasi bukan karena sekolah kok, tergantung individu". Dengan rasa rendah hati saya katakan OMONG KOSONG, dari seribu orang mungkin hanya satu orang yang bisa begitu. Tanpa SDM guru yang baik dan fasilitas yang baik, berprestasi menjadi hal yang "mungkin" tapi penuh effort. Kalo bisa dipermudah dalam meraih prestasi mengapa harus dipersulit? Biarkan alam yang menseleksi kehidupan, bukan "jarak" yaaa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H