"Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kedermawanan hati (tidak ada nafsu harta), ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri (untuk diberi atan bernafsu harta), ia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."[11]
      Setelah Rasulullah menasihatkan itu kepada hakim, Hakim berkata : "Wahai Rasulullah, demi Yang mengutusmu dengan haq, saya tidak akan meminta lagi kepada seorang pun sesudahmu sampai aku meninggal dunia." Abu Bakar pernar memanggil Hakim untuk diberi bagian fai (harta rampasan musuh tanpa perang), tapi ia enggan menerima. Kemudian 'Umar juga memanggil Hakim untuk diberi bagian fai, tapi ia enggan menerimanya.[12] 'Umar pun berkata: "Aku meminta kalian jadi saksi, wahai kaum muslimin, bahwa aku sudah memberikan hak fai kepada Hakim tapi ia enggan mengambilnya." Hakim tidak pernah lagi meminta kepada seorang pun sesudah Rasulullah saw sampai meninggal dunia.[13]
      Tetapi bukan berarti ketika diberi orang lain harus menolak. Orang yang menerima tanpa ada rasa ingin diberi dan tidak meminta itu tidak termasuk orang yang tangannya di bawah seperti yang Nabi maksud. Hal ini pernah dialami oleh Umar bin Khatab,
Â
Rasulullah saw pernah memberiku satu pemberian (hak amil zakat). Aku berkata:Â "Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dariku."Â Jawab Nabi saw:Â "Terimalah. Jika datang kepadamu dari harta seperti ini, meskipun sedikit dan kamu tidak memperlihatkan diri ingin diberi atau meminta, terimalah. Apa yang tidak diberikan, maka janganlah kamu menginginkannya."[14]
Konsep dan Budaya "Tangan di atas" ini tiada lain adalah Filantropi Islam. Keduanya memiliki konsep dan tujuan yang sama. Tetapi kata Filantropi merupakan istilah baru dalam Islam.[15]Â Secara umum, filantropi adalah kegiatan sukarela yang dilakukan secara pribadi karena dimotivasi oleh upaya untuk memajukan kemaslahatan dan kebaikan bersama, atau dapat dikatakan sebagai kegiatan sukarela untuk kepentingan umum. Kemudian filantropi juga dapat diartikan sebagai pemberian, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang tujuannya untuk menunjang kegiatan sosial tanpa mengharapkan imbalan apapun dari pemberinya.[16]
Makna dari istilah filantropi ini tentu sudah ada dalam islam sejak lama. Zakat, Infaq, Wakaf dan Sedekah, itu semua merupakan Filantropi dalam Islam. Islam itu sendiri mengenal dua dimensi utama hubugan, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Maka Filantropi Islam ini adalah hubungan antara manusia dengan manusia.[17]
Ketika semua orang telah memandang miskin itu dari kacamata islam dan menjadikan konsep "tangan di atas" sebagai budaya di masyarakat, maka miskin harta bukanlah masalah yang terlalu signifikan.Â
Data yang dipaparkan di atas hanyalah miskin harta yang bentuknya duniawi. Miskin akan teratasi dengan diri yang selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang diberikan oleh-Nya. Bahkan hal itu mampu menjadikan miskin yang berkualitas dan mulia.
Budaya "tangan di atas" ini mampu menjadikan diri mulia dan memuliakan manusia yang lainnya. Saling menolong dan membantu dalam harta, sehingga bisa saling melengkapi. Orang kaya menjadi orang yang mulia karena harta yang dibagikannya, orang miskin menjadi mulia juga karena dirinya yang tidak pernah meminta-minta. Karena harta yang sesungguhnya adalah harta yang diinfaqkan, bukan apa yang dimakan dan dipakai oleh diri sendiri.
"Seorang hamba berkata: "Ini adalah hartaku, hartaku." Padahal harta yang ia miliki itu hanya tiga saja: Apa yang dimakan lalu habis, apa yang dipakai lalu rusak, atau apa yang didermakan lalu menjadi bekal yang cukup. Selebihnya dari itu akan habis dan ditinggalkan untuk orang lain."[18]