Mohon tunggu...
Muh Almubarak
Muh Almubarak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mulai dari awal

Hidup krisis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat sebagai Way of Life

17 Juni 2021   18:59 Diperbarui: 17 Juni 2021   19:03 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep manusia merupakan isu yang sangat sentral dan menjadi subjek besar yang melibatkan berbagai macam disiplin keilmuan. Manusia dengan segala kompleksitasnya telah menguras, menyita dan mencuri waktu setiap pemikir yang mencoba menyingkap hakikatnya. Ada beragam perspektif yang dilayangkan perihal manusia dengan berbagai macam sudut pandang beserta argumen-argumennya. Hal ini telah menjadi semacam hukum hidup bagi manusia yang terkonstruksi secara alamiah. Bahwa manusia senantiasa berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidupnya.

Apa itu manusia dan apa tujuannya beserta sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya menjadi hal-hal yang selama ini mengganggu pikiran manusia itu sendiri. sehingga terkadang kegagalan manusia dalam menjawab persoalan ini dapat berakibat fatal terhadap diri dan kehidupannya. Kita melihat bahwa terkadang konsekuensi dari kegagalan ini cukup sering kali menjadikan Agama sebagai tempat pelarian dan Tuhan menjadi objek sandarannya. Inilah kenyataan dari sejarah manusia yang kemudian sering dijadikan legitimasi atas kebenaran konsep "Fitrah" dalam Agama, bahwa manusia sejak lahirnya telah membawa kecenderungan-kecenderungan demikian. Karena alasan inilah terkadang memaksa manusia harus dan mesti beragama serta mematuhi secara totalitas aturan-aturannya tanpa terlebih dahulu mengetahui apa itu Agama dan memahami konsep ke-Tuhan-an dengan benar.

Auguste Comte (1789-1857) yang mendapat gelar sebagai "Bapak Positivisme", dari refleksinya mengenai sejarah manusia, ia mencoba mengkonstruksi suatu gagasan mengenai corak dan warna pikiran manusia. menurutnya bahwa apa yang menjadi tipikal pikiran manusia bukanlah menjadi suatu kenyataan historis belaka melainkan sebagaimana adanya manusia adalah demikian. Maksudnya perkembangan pola pikir manusia itu senantiasa berkembang secara paralel dan tertata seiring perkembangan manusia itu sendiri.

 Berikut tahapan perkembangan pikiran dan pengetahuan manusia menurut Auguste Comte;

1.Tahapan Teologis

2.Tahapan Metafisik

3.Tahapan Positif

Pengkategorian ini sangat relevan dengan perkembangan dan periodisasi zaman dalam aspek historisnya. Comte sendiri adalah seorang filsuf yang beranggapan bahwa "Agama itu lahir dari kebodohan", dan ini yang menjadi salah satu spirit dari klasifikasi perkembangan pemikiran manusia. Manusia tradisional adalah manusia yang bersandar pada Agama dan Tuhan atau anggaplah sesuatu yang Maha Besar nan Agung itu karena ketidakmampuan mereka dalam menjawab fenomena-fenomena Alam yang senantiasa berubah dan terjadi secara kebetulan itu. Manusia tradisional melihat gejala-gejala alam, seperti; Tsunami, Gempa Bumi dan lainnya, sebagai fenomena atau kejadian tak bersebab. Sehingga mereka mulai mengandaikan dan mengimajinasikan sesuatu yang maha besar dan ada diluar sana yang mengendalikannya dan sekaligus mengimaninya sebagai sesuatu yang real.

Dari penjelasan di atas ada dua kesimpulan yang dapat ditarik, pertama ; Agama secara luas, sebagaimana definisinya adalah "tidak kacau" sehingga dianggap menawarkan kejelasan mengenai kegelisahan-kegelisahan manusia dan menuntunnya menuju puncak kebahagiaan yang hakiki. Kedua ; Manusia mulai berpegang pada Sains sebagai Ilmu yang pasti dan Ilmiah Karena metode eksperimental dan observasi yang ditawarkannya. Karena dalam "tahap Positif" yang dimaksud ialah fokusitas kontemplasi manusia bukan lagi pada sesuatu yang diluar fakta akan tetapi pada kenyataan real dan faktual dengan hukum-hukum umum pengetahuan.

Lantas dengan demikian, Apakah manusia benar-benar terselesaikan masalahnya dan merasakan semua persoalan hidupnya telah dijawab, baik oleh Agama maupun Sains. Bukankah Agama hari ini menjadi salah satu gejala dan penyebab utama atas konflik-konflik yang terjadi dewasa ini. Takfirisme, radikalisme dan konservatisme Agama, bukankah suatu pecahan-pecahan kecil yang Lahir dari paham-paham keberagaman. Apakah Sains hari ini benar-benar telah merepresentasikan sebagai sebuah Ilmu yang mampu menawarkan kebahagiaan pada manusia dan mampu menggaransikannya. Bukankah Sains hari ini dengan perkembangan pesatnya hanya membuat ketakutan dimana-mana. Bukankah sifat dekonstruksi dari krisis perang, ekologis, ekonomi hingga mengantarkan kita pada sebuah krisis yang maha besar yakni krisis moral atau kemanusiaan, apakah bukan merupakan indikasi-indikasinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa baik Sains maupun Agama keduanya sama-sama "Gagal" dalam konteks menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia. Lalu, kepada apa dan siapa manusia hendak bersandar jika Agama dan Sains sendiri tidak bisa dijadikan pegangan.

Inilah yang menjadi inti dari tulisan ini, saya memberanikan diri dalam mengambil suatu keputusan bahwa keduanya gagal ialah karena kedua "makhluk" ini yakni Agama dan Sains rentan dijadikan alat eksploitasi dalam makna yang seluas-luasnya dan pada saat yang bersamaan menjadi legitimasi atas kezaliman tersebut. Terlebih lagi Agama, terkadang manusia di berikan kewajiban untuk menindas dan bahkan menghilangkan nyawa orang dan dianggap sebagai kebenaran dan jihad jika hal itu mengatasnamakan Agama. Bukankah ini sangatlah ironis dan paradoks. Lalu apa yang bisa menjamin bahwa manusia akan benar-benar hidup dalam ketenangan sebagaimana mestinya.

Berangkat dari pernyataan Ayatullah M.T. Misbah Yazdi, bahwa "Karena manusia menghadapi serangkaian masalah pokok dan mendasar yang tidak bisa dijawab oleh sebarang ilmu, maka mesti ada ilmu khusus yang disebut dengan metafisika atau ilmu umum atau filsafat utama yang menjadi bidangnya." Jika demikian apakah filsafat mampu menyingkap hakikat manusia, mampukah filsafat menjawab semua problematika kemanusiaan, mampukah manusia menjawab apa tujuan manusia, untuk apa ia dihadirkan dibumi dan sebagainya.

Namun terlebih dahulu bahwa dengan filsafat ialah dimaksudnya sebagai basis analisis dan menjadi Ilmu kritis yang mencoba menganalisa sesuatu secara esensial, radikal dan fundamental. Filsafat dalam konteks ini bukan lagi ilmu yang subjek pembahasannya ialah sesuatu yang abstrak melainkan filsafat disadari sebagai, "ilmu yang kritis, kesadaran Etis dan Way of Life". Lalu apa itu manusia? Dalam tradisi filsafat setidaknya ada tiga perspektif yang diajukan mengenai pertanyaan apa itu manusia.

1.Pandangan "Dualitas badan dan Jiwa"

2.Pandangan "Manusia itu murni Tubuh "materi"

3.Pandangan "Kesatuan badan dan jiwa"

Setiap pemikir dalam menjelaskan konsep manusia tidak terlepas dari tiga pandangan di atas dan itulah menjadi asas dalam merekonstruksi tujuan hidup manusia dan menyodorkan solusi atas berbagai macam problematika yang dihadapinya. Namun secara logis, terlepas dari apakah jasad dan jiwa manusia itu satu kesatuan ataukah dua sesuatu yang berbeda, pada dasarnya pandangan bahwa manusia adalah realitas yang terdiri atas dua aspek, yakni materi dan immaterial lah yang benar dan memiliki dasar yang begitu kuat.

Kemudian menjadi persoalan selanjutnya ialah antara kedua aspek manusia tersebut manakah yang menjadi hakikat diri manusia, apakah jasadnya ataukah jiwanya. Dari sinilah kita dapat melihat manusia dan tujuannya dengan jelas. Jika pandangan yang mengafirmasi jasad sebagai kenyataan yang hakiki dari manusia dan menafikan aspek ruhaniah atau jiwa maka konsekuensi logisnya ialah kepentingan dan kebahagiaan yang bersifat material lah yang sangat diprioritaskan. Namun jika jiwa atau ruh lah yang menjadi aspek hakiki dan bahkan tanpanya manusia tidak akan ada (exist) maka Dunia dan berbagai macam tawarannya dianggap tidaklah begitu urgen.

Namun dalam tinjauan filsafat manusia tidak dipisahkan secara ekstrem dan memprioritaskan salah satu diantaranya, melainkan filsafat mencoba membedah secara kritis dan menetapkan tujuan esensial dari kedua apek tersebut. Sehingga tidak ada dikotomi yang picik akibat kegagalan-kegagalan dalam menentukan tujuan dasar dari jasad dan jiwa itu sendiri. Filsafat sebenarnya mencemooh mereka yang menghindari masyarakat dan sosial dengan mengurungkan dirinya agar terhindar dari dosa dan maksiat dan sebaliknya filsafat pun mengejek mereka yang sangat menekankan aspek horizontal dengan mematikan aspek vertikal yakni relasi antara manusia dengan realitas transendental. Sehingga filsafat dengan tujuannya sebagai "Way Of Life" hanyalah menawarkan konsep harmonisasi. Karena keselarasan dan keseimbangan dalam hiduplah yang mampu menciptakan sebuah ketenangan dan kebahagiaan. Kemudian melahirkan sebuah peradaban baru, yaitu Ilmu tidak lagi dipisahkan dengan Agama dan Filsafat. Yang kemudian selanjutnya mengembalikan semua Ilmu pada moyangnya atau Filsafat sebagai "The Mother Of Science" sehingga semua ilmu senantiasa berdiri di atas asas "Kebijaksanaan" sebagai basisnya dalam berkhidmat pada kemanusiaan.

Sekian dan semoga bermanfaat, mohon maaf jika masih banyak kekeliruan dalam tulisan ini.

Penulis : Muhammad Zain 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun