Banyak kalangan dari diri kita selalu memegang teguh atas segala pengetahuan yang digunakan sebagai pemahaman untuk kehidupan yang didasarkan atas hal-hal yang bersifat empiris. Realitas wujud dan dapat dibuktikan secara materi dengan pengujian-pengujian tertentu yang menunjukkan kebenaran serta dapat diterima umum adalah bentuk dari pengalaman empiris. Hal ini dikarenakan pengalaman empirislah merupakan salah satu jalan untuk menemukan pengetahuan. Â
Padahal mungkin diri kita tahu bahwa pengalaman yang mencakup pada aspek esensi dan cakupannya sebetulnya membawa atau menunjukkan kebenaran yang menjadi kebenaran hakiki. Â Memang hal ini tidak dapat di lihat dari wujudnya melainkan hanya hasil dari kerja potensi pikir dan wilayah rasionalitas yang dimiliki oleh setiap insan manusia. Â Namun karena kepemilikan pemahaman pengetahuan yang sempit mengenai empiris maka pengalaman yang demikian dikatakan bukan sebuah hal yang ilmiah dan tidak pas kalau digunakan sebagai sumber dari pengetahuan.
Maka ketika dihubungkan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan jiwa kebanyakan dari diri kita akan merasa mengalami kesulitan untuk menjawab. Â Karena jiwa hakekatnya bukanlah sebuah hal yang dapat diukur dengan materi walaupun keberadaannya atau esensinya sangat jelas. Â Dan mungkin pengetahuan tentang jiwa yang menjadi pegangan sekarang adalah sebuah pemahaman yang keliru atau salah tentang hakekat dari jiwa itu sendiri.
Pengetahuan yang berkembang sekarang mengatakan bahwa jiwa memiliki hubungan dengan raga manusia. Â Pendapat ini berarti bahwa jiwa berada dalam (ukuran) materi dan disandarkan pada sesuatu yang menjadi tempat tinggalnya. Â Maka ketika ditanya dimanakah jiwa manusia itu sendiri akan kebingungan diri kita dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Kondisi diri yang mengalami kebingungan ini mungkin tidak akan terpecahkan manakala masih selalu berpegang teguh pada makna "empiris" yang selalu menjadi jalan untuk menemukan pengetahuan. Â Karena jiwa adalah abstrak yang "mungkin" tidak dikategorikan dalam obyek pengetahuan maka "mempersepsikan" adalah hal sederhana untuk mendefinisikan menjadi sebuah pengetahuan. Â Namun persepsinya disandarkan pada dalam materi dan disikapi dengan "sesuatu".Â
Kekeliruan diri kita selama ini adalah dalam mempersepsikan jiwa yang sebetulnya bersifat immaterial ini yang dirubah dengan materi adalah sebuah langkah yang kurang tepat. Â Maka pengetahuan yang di dapatpun dan digunakan untuk mengenal manusia sempurna adalah dalam ukuran materi. Â Padahal jiwa adalah hal bersifat immaterial yang seharusnya menjadi pengetahuan benar dan digunakan dasar diri untuk mampu hidup yang benar di dunia ini.
Maka kesadaran perlu ditumbuhkan agar diri mampu menemukan pemahaman yang benar tentang pengetahuan jiwa manusia. Dan dibutuhkan sebuah keberanian untuk mengubah cara memperoleh pengetahuan dengan membuka dan berbesar hati bahwa aspek esensi beserta cakupan adalah bagian dari jalan untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Â
Memposisikan Jiwa Dalam Diri Manusia
Seperti dalam artikel sebelumnya ( Sejenak bersama jiwa) bahwa jiwa adalah merupakan bagian dari pemberian Sang Pencipta kepada manusia yang ditiupkan kepada setiap diri insan yang hidup di dunia ini. Â Jiwa adalah benih kehidupan yang bersifat immaterial yang dapat tumbuh dan berkembang dengan memiliki asupan non materi juga. Â Tumbuh dan berkembangnya jiwa inilah sebetulnya menjadikan diri akan menjadi manusia yang berpotensi menjadi khalifah di muka bumi.
Asupan non materi  merupakan  segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang benar dan tidak berorientasi pada hal-hal yang bersifat material.  Maka timbul pertanyaan dalam diri kita apakah ilmu yang kita pelajari sekarang dan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sudah lepas dari hal-hal yang bersifat materi? Dan apakah sebetulnya ilmu pengetahuan yang bisa masuk dalam kategori dalam asupan non materi ini?
Pertanyaan pertama pasti akan diri jawab "belum". Â Karena apapun yang diri pelajari sekarang ini masih berorientasi pada hal yang bersifat materi dan selalu berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan hasrat dan kuasa diri kita sebagai manusia. Â Termasuk di dalamnya adalah belajar ilmu agama.Â
Malah mungkin diri ini adalah diri yang tidak pernah menyentuh atau belajar pengetahuan agama. Maka tidak heran dalam kehidupan ini orientasi cinta pada dunia lebih utama dibandingkan dengan orientasi yang lain.  Kondisi ini bukan karena diri tak memiliki keinginan untuk  menemukan jiwa yang hilang.  Namun semua ini diakibatkan oleh penjara pemahaman dan pengetahuan yang sangat kuat sehingga diri tak mampu keluar dari cengkeraman pengetahuan yang ada.
Jika diri berani keluar dari pandangan pengetahuan yang berkembang mungkin akan divonis oleh manusia lain sebagai orang yang aneh dan "tidak logis/ilmiah" akibat  berbeda pendapat dengan pengetahuan yang mapan di masyarakat.  Maka ketakutan adalah unsur utama menjadi penghalang diri untuk keluar dari kemapanan ilmu yang sudah ada. Ketakutan akan kehilangan identitas diri di mata masyarakat inilah menjadikan diri malas untuk belajar sesuatu yang berbeda sehingga diri hanya selalu menjadi "follower" atas pemahaman yang sudah ada.
Padahal diri selalu diingatkan bahkan mungkin selalu berdoa agar mendapat kehidupan yang nyaman atau bahagia di dunia dan di akherat. Â Namun ternyata penjara pengetahuan yang selama ini ada tidak mungkin mengenalkan akhirat (karena ukurannya juga material juga). Â Jika ternyata kondisi kita seperti ini apakah mungkin diri termasuk orang yang selamat dalam kehidupan manakala orientasi pengetahuan yang dimiliki masih sebatas ini.
Maka tugas diri harus berani merubah atau mendekonstruksi kepemilikan ilmu atas orientasi yang kehidupan sekarang ini. Â Bukan meninggalkan orientasi kehidupan dunia (karena asupan fisik diperlukan) melainkan melakukan perubahan motivasi dalam kehidupan melalui pencarian pengetahuan yang merupakan asupan untuk jiwa. Â Asupan non materi agar jiwa manusia tumbuh dimulai dengan 1) membersihkan hati 2) melebarkan kapasitas 3) menyempurnakan fungsi dan tugasnya.
Pencarian jiwa dengan asupan tersebut ternyata melalui tiga level yang saling berkaitan dan dimulai dengan mencari pengetahuan tentang pembersihan hati. Â Pemahaman tentang hakekat hati yang merupakan sebagai sebuah bangunan yang didalamnya dihuni oleh "cahaya kebenaran" yang murni tanpa ada kontaminasi/dipengaruhi oleh aspek lain selain sebagai sarana kerja manusia. Â Sarana kerja disini adalah hati adalah bentuk pertimbangan terakhir dari seluruh informasi yang masuk melalui pikiran-perasaan dan keinginan manusia.
Pengetahuan tentang pembersihan hati akan membuat hati bekerja secara maksimal sehingga kerja diri manusia dalam aktivitas sehari-hari. Â Kerja hati yang bersih inilah menjadikan diri hidup dalam keseimbangan penuh antara kehidupan horizontal dan vertikal secara seimbang dan bersamaan (simultan). Kerja hati yang demikian akan menjadikan diri dalam kehidupan akan selalu selaras dengan hakekat manusia yang sesungguhnya sehingga hidup selalu melakukan ibadah.
Pencarian pengetahuan tentang pembersihan hati bukanlah perkara yang mudah untuk di dapatkan. Â Namun pasti akan didapati manakala diri terus berproses dalam melakukan "baca" atas Buku Panduan hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â Proses yang panjang ini bukan untuk meraih harapan mendapati hati yang bersih namun perjalanan panjang dalam "baca" adalah bentuk pengkikisan dan pengisian atau pembangunan hati yang bersih untuk menjadi manusia yang selalu "kerja".
Pengetahuan tentang melebarkan kapasitas adalah bukan berorientasi pada pintar atau pandainya dan banyaknya ilmu yang dimiliki setiap diri manusia. Â Melainkan sebagai bentuk pembuangan "sesuatu yang menyelimuti atau mengotori" hati yang dimiliki. Â Dengan pembuangan ini menjadi kan hati yang bersih dan bening tanpa noda karena tidak ada lagi kotoran (hadast) dan selimut yang selama ini membuat kerja diri tidak pernah dilakukan dengan hadirnya hati di dalam setiap aktivitas kehidupan manusia.
Dan hal ini membuat hati akan semakin besar kapasitasnya dalam menampung pengetahuan yang benar sehingga mampu bekerja sebagai "as/motor" kerja dari indra manusia.  Bagaikan kerja sebuah roda ketika "as/motor" dapat bekerja dengan baik maka akan menjadikan putaran roda  dapat berjalan dengan lancar sehingga menjadikan hidup diri manusia tidak di dominasi oleh ego yang muncul untuk memuaskan salah satu indra yang dimiliki.
Sebuah tugas utama yang seharusnya dilakukan oleh setiap diri manusia untuk selalu berusaha membersihkan hati agar kapasitas diri dapat bekerja secara maksimal. Â Maka kapasitas diri bukan diukur dari kepandaian yang dimiliki namun kedalam hati dalam mengambil langkah yang harus dilakukan dalam setiap aktivitas. Â Karena kepemilikan hati yang bersih ini hidup diri akan selalu dalam semangat berkebaikan dan tidak akan pernah merugikan diri manusia lain ataupun alam semesta.
 Pengetahuan tentang fungsi dan tugasnya tidak lain adalah mencari kesadaran diri tentang tujuan diri diciptakan sebagai manusia.  Ilmu kesadaran inilah puncak dari segala pengetahuan yang ada dan berkembang di dunia ini.  Karena dengan tumbuhnya kesadaran yang dimiliki akan memunculkan motivasi hidup yang tinggi karena akan menjadi diri yang "semeleh" dengan kondisi namun  selalu semangat dalam melakukan kerja dengan motivasi yang tinggi.
Dengan memiliki kesadaran inilah bangunan diri manusia yang sempurna akan muncul dalam bentuk jiwa manusia yang hakiki. Â Maka segala bentuk aktivitas yang dilakukan adalah selalu mengutamakan kebaikan dan disertai dengan jiwa. Â Hal inilah sebetulnya merupakan kodrat diri sebagai manusia dengan derajat makhluk yang sempurna.
Penutup
Hanya sekedar humor sufi yang tidak ada lucunya. Â Mungkin yang pantas ditertawakan adalah sebuah ide tulisan yang berbeda dengan pemahaman umum yang mapan dan mungkin sudah dianggap kebenaran sejati. Â Tulisan ini hanya mengajak diri untuk selalu menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin.
Tiada orang pintar yang mengetahui haru dan gembira di kepala pemabuk... Tiada orang yang berpegang pikiran mampu melambungkan pesona didepan semua makhluk... Tiada orang yang hanya memiliki perasaan mampu melakukan tipu daya yang jitu... Dan tiada orang yang terjajah keinginan mampu memuaskan kehidupan diri manusia hanya dengan nafsu.
Namun Hatilah yang seharusnya hadir... Menyertai dalam letupan nadi.. Karena jiwa selalu hadir menyertai diri... Dalam aktivitas hidup yang hakiki
(KAS, 18/6/2023, Letupan Hati)
Terima kasih,
Magelang, 18/6/2023
Salam KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H