Kehidupan sekarang yang dijalani diri kita mungkin dapat dikatakan lebih condong selalu mengutamakan unsur jasmaniah atau materialitas. Â Hal ini dapat dibuktikan dengan segala ukuran yang ada dalam kehidupan diukur dengan hal-hal yang bersifat fisik. Â Mulai dari pendapatan yang diukur dengan uang sampai mungkin kebahagiaan seseorang diukur dengan kepemilikan benda material yang dimilikinya.
Ibarat lelahnya badan mungkin dapat di obati dengan tidur dan ketika tidak dapat tidur maka usaha yang dilakukan adalah dengan minum obat tidur. Namun ketika indra (pikir-perasaan-keingingan-hati) terasa berat akibat beban yang ditanggung apakah mungkin dapat diobati dengan obat-obatan yang ada. Â Dan kelelahan indra tersebutlah menjadikan diri tidak dapat berdiri secara sempurna dalam kehidupan ini sebagai hakekat manusia yang sesungguhnya.
Maka tidak heran dalam kehidupan ini banyak diri kita yang secara fisik sehat namun ternyata memiliki perilaku yang tidak sehat walaupun yang dilakukan adalah hal yang dipandang baik. Â Karena ukuran kesehatan adalah ukuran fisik atau materi yang nampak saja. Â Maka pantas lah diri dikatakan sebagai robot yang tak memiliki jiwa dalam kehidupan dikarenakan diri hidup hanya mengutamakan fisik belaka. Â
Kondisi yang demikian akibat diri tidak pernah memiliki pemahaman yang membangkitkan kesadaran agar memandang kehidupan di dunia ini tidak hanya di dasarkan oleh logika material saja. Ukuran logika material ini sudah menjajah kehidupan seluruh manusia bahkan seorang berilmupun (menyiarkan ajaran) ketika melakukan syiar ajaran pun berhitung tentang reward dengan ukuran materi. Sebuah kebenaran yang diterima umum namun sebetulnya sebuah hal yang memiliki kesalahan fatal dalam tata kehidupan yang seharusnya.
Ketika hal ini betul-betul terjadi dalam kehidupan ini dapat dikatakan sudah masuk dalam perangkap yang menjadikan diri tersesat dalam ketidakseimbangan perjalanan hidup di dunia ini. Â Perangkap materialitas yang mendarah daging dalam diri manusia menjadikan diri lupa pada hakekat unsur yang harus dimilikinya. Hal disebabkan diri jauh atau melupakan pemahaman yang seharusnya dimiliki untuk dimiliki akibat terlenanya dalam mencari ilmu yang dikembangkan oleh manusia untuk hidup di dunia.
Namun realita yang terjadi tidak pernah diri menyadari akan hal ini akibat kemalasan diri dalam belajar dan mungkin diakibatkan karena terlalu yakin bahwa ilmu yang sudah dimiliki akan membawa kepada keseimbangan kehidupan. Pemahaman yang selama ini terlalu fokus pada material yang hanya membangun pada sisi fisik manusia (badaniah) dan melupakan unsur pembangunan non fisik (Immaterial) dari diri manusia.Â
Maka ibarat sebuah timbangan akan berat satu sisi dan sulit mencapai titik keseimbangan diri sebagai manusia. Â Hilangnya satu sisi yaitu immaterial (non fisik) ibarat mematikan potensi dan benih kehidupan diri sebagai manusia yang sempurna. Â Karena kesempurnaan diri akan tercapai manakala kehidupan selalu dalam titik keseimbangan antara fisik (material) dan non fisik (immaterial). Â
Menumbuhkan kesadaran agar diri mampu menjalani hidup dengan benar dan dalam keseimbangan bukanlah perkara yang mudah akibat "mapan"nya ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang. Â Kemapanan ilmu tersebut sepertinya meng"asing"kan pengetahuan seharusnya menjadi rujukan untuk kehidupan. Â Bahkan tidak jarang diri yang mengatakan "aneh" manakala menjumpai orang yang mengemukakan hal-hal yang benar.
Padahal akibat diri terlalu percaya dengan pengetahuan tersebut menjadikan diri semakin asing atau jauh dengan jiwa yang seharusnya melekat dengan fisik manusia. Â Maka tak heran ketika hidup di dunia ini tak pernah menemukan jiwa sebagai manusia yang sesungguhnya. Â Sebuah kerugian manakala diri dalam kondisi yang demikian ini.
Mengenali Jiwa Manusia
Manusia diciptakan dengan keseimbangan yang tinggi agar menjadi makhluk yang sempurna. Â Karena merupakan sebuah keseimbangan maka terdiri dari dua sisi yaitu jasmani dan ruhani. Â Kedua sisi ini harusnya tumbuh bersama secara seimbang manakala diri mampu menyadari dan memiliki atau mengenal pengetahuan yang benar agar mampu menjadi manusia yang sempurna.
Jiwa manusia adalah merupakan bagian ruh manusia yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â Ketika ruh ditiupkan akan menjadi dua benih kehidupan yaitu nyawa yang mampu menggerakkan badan manusia dan jiwa yang mendiami qolbu. Karena merupakan benih kehidupan maka perlu di pupuk dan disiram dengan kebutuhannya.
Benih yang berupa nyawa akan tetap hidup manakala diri mampu memiliki asupan yang berupa makanan dan minuman yang mampu membangun bangunan fisik manusia. Â Proses untuk menjadi manusia yang sempurna ini dalam aspek fisik tidak hanya sesaat melainkan sebagai sebuah bentuk kontiunitas yang terus menerus sampai mati menjemputnya. Â Jika diri tidak pernah menerima asupan fisik maka nyawa pun akan melayang dan ruh pun akan kembali kepada Sang Pencipta.
Sedangkan benih yang kedua berupa jiwa adalah unsur immaterial yang mememiliki asupan berupa ilmu dan pengetahuan yang benar. Â Asupan ilmu inilah yang membawa diri akan mengenal jiwa yang sesungguhnya jika pengetahuan yang dipelajari adalah benar. Â Namun manakala asupan adalah salah maka ruh pun akan kembali kepada Sang pencipta dan benih yang hidup tidak menjadi manusia sebagai makhluk yang sempurna namun hidup sebatas makhluk yang selevel dengan hewan dan lainnya.
Mungkin ini sebuah pemahaman yang out of the box namun jika mau merenungkan secara mendalam akan tersentuh kesadaran untuk melakukan introspeksi dengan kondisi kehidupan sekarang. Â Dengan menggunakan sebuah pertanyaan sederhana "apakah diri hidup selama ini sama dengan rutinitas hewan atau lebih baik dari hewan?". Â Memang mungkin ini pertanyaan yang menyakitkan namun ini sebagai dasar diri untuk membangunkan kesadaran diri agar mampu menemukan jiwa yang seharusnya mengisi kekosongan qolbu.
Mencari Jiwa Yang Merana
Kosongnya qolbu akan menjadikan diri selalu berbuat hal yang tidak baik, ataupun melakukan perbuatan baik namun didasari atas cita-cita yang tidak baik.  Kekosongan jiwa dalam kehidupan diri kita menjadikan  hidup tidak memiliki personality atau kepribadian yang baik.  Jiwa yang kosong inilah menyebabkan perilaku diri yang selalu mengutamakan logika material dalam kehidupan dunia dengan melihat untung ruginya dengan ukuran material juga.
Terlalu percaya dan fokus pada kehidupan yang bersifat jasmani atau fisik menjadikan diri terlena dengan pembangunan aspek ruhani.  Bahkan tidak heran mungkin diri termasuk bagian dari orang-orang yang melalaikan hal-hal yang berhubungan dengan aspek ruhani tersebut.  Hal ini diakibatkan oleh balutan pemahaman yang dirasa benar karena dianggap umum namun sebetulnya merupakan hal yang keliru, maka akibatnya diri tidak pernah hidup dengan aspek ruhani yang tumbuh menjadi jiwa  dan menjadi penyeimbang kehidupan di dunia ini.
Jiwa manusia tidak pernah bersatu dalam dirinya karena benih kehidupan tidak pernah dipupuk ataupun diperhatikan sehingga hidup diri hanya diperhatikan jiwa diri yang merana dari jauh. Â Merananya jiwa ini akibat tidak pernah diberi asupan yang benar sehingga menjadikan diri memiliki prinsip dan watak yang "keliru". Â Bagaikan batu yang keras sulit sekali untuk dilunakkan akibat jiwa tak pernah mengisi qolbu manusia.
Qolbulah sebetulnya "as kerja" dari tiga indra (pikiran, perasaan, dan keinginan) yang dimiliki oleh manusia. Â Qolbu akan bekerja manakala jiwa mendiaminya, namun manakala jiwa tidak mau tinggal (akibat merana) karena diri tak pernah menyediakan tempatnya. Dan ketika qolbu tidak bekerja maka tersesatlah kehidupan di dunia ini akibat dari kerja diri di dasarkan atas ego yang berdasar dari pikiran yang berupa logika, atau didasarkan atas perasaan, atau juga didasarkan atas hasrat untuk memuaskan keinginan.
Mencari jiwa yang merana agar mau kembali pada diri kita adalah dengan kembali pada pemahaman yang benar dan didasarkan atas ajaran yang ada dalam Buku Panduan hidup manusia. Â Bukan hanya sekedar sebagai pajangan dalam lemari atau bukan hanya digunakan sebagai stempel untuk pembenaran aktivitas yang dilakukan namun perlu dibaca dan dikaji.Â
Rutinitas diri dalam membaca dan mengkaji akan menjadi magnet jiwa diri yang merana (membuka selimut hati) agar mau kembali mendiami qolbu. Â Menyiapkan bangunan yang siap didiami oleh jiwa bukan perkara yang mudah namun manakala diri memiliki tekat yang kuat pasti ada campur tangan Sang Pencipta untuk memudahkannya. Â Karena cinta dan sayangnya Sang Pencipta kepada manusia melebihi cinta dan sayangnya kepada makhluk lain.
Sadarlah diri kita sebelum terlembat karena ruh masih mendiami jasad kita. Â
Penutup
Hanya humor sufi yang tidak ada lucunya. Â Namun ide dan pemikiran yang berbeda inilah yang mungkin pantas untuk ditertawakan. Â Tidak ada maksud menggurui ataupun menyalahkan pemahaman yang dimiliki oleh pembaca, namun hanya sekedar pemaparan ide mengenai sejenak mengenal jiwa manusia.
Setiap saat termangu di depan taman... Terbesit pertanyaan sampai kapan diri selalu menjadi "ampas"... Diombang ambing oleh kehendak sang penguasa.... Dipermainkan kondisi agar terbenam dalam lumpur yang pekat.
Namun jiwa berkata lain.... Naiklah ke atas menuju langit.... Karena diri punya Sang Penolong Sejati.... Yang tak mungkin tersentuh oleh tangan-tangan manusia yang jahil.
Bacalah.... Bacalah..... Bukalah selimut dan bangunlah.... Maka dirimu bukanlah ampas namun sebagai manusia yang tercinta.
KAS, Mencari Jiwa 15/6/2023
Terima kasih,
Magelang 15/6/2023
Salam KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H