Hal ini berdampak pada ibadah atau aktivitas sehari-hari menjadi tidak sempurna karena hanya mengejar ibadah fisik atau jasadiyah saja dan menganggap ibadah non fisik dilakukan tanpa dimaksimalkan sebagai asupan diri untuk bekal penyeimbang kehidupan.
Perkemahan dalam waktu satu bulan ini diharapkan diri mampu menemukan peta baru perjalanan agar tidak salah jalan di masa depan. Â Sebagai bekal diri dalam memahami perkemahan peribadatan maka yang harus dipikirkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Meninggalkan kesibukan semu. Â Tidak dipungkiri bahwa segala bentuk aktivitas diri selama ini dijalani adalah selalu berorientasi pada kehidupan dunia yang banyak dikatakan sebagai orientasi yang semu. Namun ternyata kurangnya pemahaman diri menimbulkan ketidaksadaran pada kondisi tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kegagalan fokus pada aktivitas yang seharusnya dijalani.
Orientasi diri tertipu oleh sifat ke"fana"an menjadikan terlalu sibuk pada urusan duniawi saja bahkan menjalankan urusan non duniawi masih terbawa dengan hal hal untuk kepentingan dunia. Â Bukankah hal tersebut sudah sering disinggung dan diingatkan bahwa banyak diri manusia yang selalu mengalami kerugian akibat salah orientasi kehidupan. Â Mungkin hal ini diakibatkan diri kurang banyak belajar atau hanya mengikuti apa yang dijalani oleh diri manusia lain yang dirasa sudah benar menurut ukuran umum.
Maka bukanlah hal yang aneh ketika Sang Pencipta mengingatkan dan memberi kemudahan dalam satu bulan dengan memberikan waktu (kemah peribadatan) agar tersadar dengan kondisi tersebut. Â Kemah peribadatan diberikan dengan harapan agar diri manusia meninggalkan kegiatan yang semu menjadi aktivitas yang bernilai bagi pengumpulan bekal untuk perjalanan selanjutnya. Â Maka tidak heran jika dalam menjalani kemah peribadatan ini segala aktivitas dilakukan dengan ringan dan tidak berubah namun memiliki nilai dimata Sang Pencipta.
Kedua, Â Selalu berbekal buku Saku. Segala aktivitas yang dijalani seharusnya selalu berpegang aturan dan standar yang benar. Â Aturan dan standar biasanya tertulis dalam buku panduan. Â Maka buku tersebut haruslah menjadi buku pegangan dan menjadi buku saku yang selalu menjadi pijakan diri dalam mengambil setiap keputusan.
Mungkin diri juga sadar dengan kondisi ideal tersebut yang harus selalu berpegangan pada Buku Saku. Â Namun karena kurangnya diri memahami secara komprehensip sehingga sering kali mengambil jalan pintas dengan memotong motongnya untuk legalisasi kepentingan pribadi. Kondisi yang demikian menjadi hal yang umum dan bahkan menjadi kebiasaan diri akibat "berpikir instan" yang selama ini menjadi pegangan agar dapat berhasil tujuannya.
Orientasi diri yang demikian seperti melakukan jual-beli Buku Saku agar diri tidak merasa kuatir dan mampu memenuhi segala beban kehidupan di dunia. Â Sebuah kekeliruan manakala diri berlaku dan beraktivitas seperti ini. Â Padahal segala beban yang ada di kehidupan di dunia ini segala sesuatu sudah dicukupi oleh Sang Pencipta hanya diri perlu menjalani dengan sabar dan syukur saja.
Kemah peribadatan bertujuan agar diri selalu menggunakan buku Saku dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Â Membuka dan belajar serta membaca akan menunjukkan jalan keluar atas kondisi yang dihadapinya. Â Dengan kata lain bahwa dengan berpegangan pada buku Saku tersebut menjadikan diri manusia manusia yang optimis tentang kehidupannya walaupun mungkin terasa berat dengan ujian yang dihadapinya.
Maka hakekatnya kondisi ini sejalan manakala saat kemah peribadatan diri dimudahkan untuk menyempatkan membaca agar mampu memahami makna yang ada dalam buku Saku tersebut. Â Karena buku Saku ibarat seperti "huda" atau petunjuk untuk kehidupan bagi diri yang mengharapkan cinta dari Sang Pencipta.
Ketiga, Â Memahami keterbatasan waktu. Kesadaran haruslah muncul dalam diri kita bahwa hidup itu dibatasi oleh waktu. Â Karena keterbatasan ini maka pasti akan berdampak pada kondisi diri yang merugi atau beruntung. Â Kondisi rugi manakala diri dalam hidup tidak pernah berorientasi pada buku saku, dan demikian juga sebaliknya.