Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Humor Sufi: Potensi Diri (Build your self up 3)

11 Februari 2023   05:00 Diperbarui: 11 Februari 2023   05:27 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemahaman diri mengenai makna membangun diri yang terbagi menjadi tiga bentuk pengetahuan yang dimiliki (pribadi yang mengetahui,  pribadi yang mengerti, dan pribadi yang memahami) sering dianggap hal yang sama.  Karena sering dianggap bahwa ketiga hal tersebut adalah sama yang tujuannya adalah menjadikan diri lebih baik dibandingkan dengan yang lain.  Hal ini mengakibatkan terjadi sebuah penurunan kehidupan bahkan bisa menjadi sebuah malapetaka bagi kehidupan alam semesta.

Banyaknya fenomena terjadi sekarang ini tidak ada perbedaan yang mencolok antara orang yang berilmu dengan tidak berilmu dalam berkehidupan.  Bahkan dapat dikatakan semakin tinggi ilmu yang dimiliki malah menjadikan diri semakin rakus dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Fenomena ini mengakibatkan banyak diri manusia yang rapuh dalam menghadapi kondisi yang dihadapi sehingga menjadikan diri mudah terseret atau tersesat dalam kecintaan pada kehidupan dunia.

Kecintaan diri pada materi yang berlebih karena jebakan hasrat dan keinginan yang tak terbendung menjadi sebuah "penyakit" dan bahkan mungkin menjadi ukuran kebahagiaan manusia.  Hal ini menjadikan diri senantiasa dalam hidup disibukkan dengan rutinitas untuk mendapatkan imbalan materi untuk kepentingan kebutuhan dan tabungan agar memiliki nilai sosial yang tinggi di mata manusia lain.  Maka hal ini sebetulnya merupakan sebuah kekeliruan manakala pemahaman ini juga menjadi pondasi pembangunan hidup diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Kekeliruan ini terjadi akibat diri malas dalam baca dan belajar secara serius mengenai arah perjalanan yang dituju dan juga kemungkinan salah baca "buku" yang digunakan untuk pengembangan pemahaman kehidupan.  Pribadi yang malas dan bahan yang salah menjadikan diri memiliki sebuah kebiasaan yang instan (tergesa-gesa) agar semua tujuan dapat segera dipenuhi atau diselesaikannya.  Ibarat seperti sebuah kejar tayang dalam aktivitasnya untuk kepentingan memenuhi hasrat dan keinginan yang dimilikinya.

Masalah kemalasan dan masalah bahan adalah merupakan hal utama yang harus di pahami manakala diri ingin menjadi bangunan yang kuat.  Karena bangunan yang kuat akan menjadikan diri menjadi diri yang tangguh dan kuat dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Namun bangunan diri akan kuat juga tergantung pada level pengetahuan diri tentang membangun menjadi manusia yang sempurna.

Bahan Membangun Diri

Membangun diri sebagai sebuah proses kehidupan setiap diri manusia.  Maka dalam pemahaman umum sering mendengar bahwa proses tumbuh dari balita sampai dengan tua adalah sebagai sebuah bangunan manusia yang terbentuk selama kehidupan di dunia. Pemahaman tersebut tidak salah manakala diri berpijak dalam pengetahuan umum (bayi-anak-remaja-dewasa-tua).  Sehingga tumbuh kembang diri manusia ukuran pertumbuhan pembangunan diri. 

Tidak ada yang salah manakala diri memiliki rasa cinta terhadap kehidupan di dunia ini dan hidup seperti pemahaman yang ada.  Namun cinta pada kehidupan di dunia harus didasarkan atas sebuah pemahaman bahwa aktivitas di dunia hanyalah sebagai sarana diri mengumpulkan bekal untuk perjalanan selanjutnya.  Rasa cinta inilah sebetulnya sebuah proses membangun diri yang semuanya tergantung pada jenis bahan yang dimilikinya.  

Sebagai modal untuk hidup Sang Pencipta memberikan bahan yang seharusnya dipahami  yaitu hal-hal yang berhubungan antara fisik dan non fisik.  Dengan kata lain bahan fisik adalah hubungannya dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan dunia materi yang berhubungan dengan proses tumbuh pembentukan diri manusia sebagai makhluk duniawi.  Maka bahan yang bersifat duniawi ini juga dimiliki oleh makhluk lain yaitu hewan.  

Sedangkan unsur bahan non fisik adalah segala hal yang berhubungan dengan "kesempurnaan diri" sebagai makhluk yang memiliki tugas untuk hidup di dunia.   Dan bahan inilah sebetulnya merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lain yang menaikkan derajat manusia sebagai makhluk yang bertugas dan disempurnakan.

Dua bahan tersebut dikatakan adalah:

Pertama: Bahan yang bersifat kehewanan yang ada pada diri manusia.  Bahan ini adalah unsur awal yang dimiliki oleh manusia dan juga merupakan hal yang dimiliki oleh hewan pada umumunya.  Bentuk dari bahan ini adalah hal-hal yang bersifat dunia material karena tujuannya adalah untuk proses dan liku-liku kehidupan manusia di dunia ini.  

Dikatakan sebagai hal-hal yang bersifat kehewanan karena merupakan hidangan yang bersifat memuaskan secara material pada diri manusia.  Kepuasan ini merupakan dorongan keinginan yang  muncul dari nafsu dan harapan yang tidak ada bedanya dengan hewan.  Maka bahan ini juga melekat dan dimiliki pada makhluk lain yang hidup di dunia ini.

Bahan yang dijadikan sebagai dasar yang membentuk diri dan menjadi prioritas dalam mengembangkan pemahaman jika didominasi oleh sifat kehewanan maka yang muncul adalah pengetahuan bagaimana diri manusia bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya.  Dan pasti aturan main yang menjadi peraturan hidup adalah hukum rimba.

Istilah adanya perbedaan derajat akibat adanya penguasa dan yang dikuasai didasarkan atas kekuatan materi yang dimilikinya. Dan  semakin kuat pemahaman/kepemilikan materi yang dimiliki maka akan semakin berkuasa diri manusia tersebut.  Dan semakin lemah pemahaman/kepemilikan tentang materi yang dimiliki maka semakin tertindas dalam kehidupannya.

Ketika pembangunan diri hanya berorientasi pada bahan ini maka sebetulnya diri adalah makhluk hewani yang rapuh dalam kekuatannya bahkan mungkin bisa dijajah oleh hewan yang sesungguhnya.  Kerapuhan ini akibat diri tidak memiliki pondasi kuat yang berupa non fisik (kesempurnaan kemanusiaan) dan merupakan kerangka dasar kehidupan yang kuat untuk menjadi "manusia".  Ataupun ketika diri  berkuasa di dunia ini akan berperilaku seperti hewan malah mungkin lebih buas dan kejam dibandingkan dengan hewan yang sesungguhnya.  

Sebuah kerugian manakala diri hanya berorientasi pada bahan untuk proses pembangunan diri yang berorientasi pada sifat kehewanan ini.  Hal ini dikarenakan diri menjadi pribadi yang lalai dan menjadikan diri sebagai makhluk yang melupakan sifat-sifat Tuhan.  Sifat hewani pasti akan menjadi kepribadian diri dan hal ini menjadikan diri semakin menjauh Sang Pencipta.

Kedua: Bahan yang bersifat kemanusiaan yang ada pada diri manusia.  Bahan ini adalah unsur tambahan namun bersifat utama dalam proses pembangunan diri manusia.

Bahan kemanusiaan ini sebetulnya merupakan sebuah hal yang sudah melekat pada diri manusia.  Namun bahan tersebut menjauh dari diri kita manakala manusia dilahirkan di muka bumi ini.  Menjauhnya bahan tersebut merupakan skenario yang diciptakan agar manusia hidup dengan mengupayakan dan berusaha agar diri menjadi manusia yang tangguh.  Bentuk upaya dan ketangguhan inilah merupakan pembunuh sifat-sifat hewani yang ada pada diri manusia.

Skenario yang mendidik dari Sang Pencipta agar diri selalu berusaha maksimal dalam kehidupan. Proses pencarian inilah sebetulnya merupakan kewajiban manusia agar selalu "baca dan belajar" agar menemukan bahan kemanusiaan yang menjadi bekal untuk kehidupan di dunia ini.  Memang bukan hal yang mudah dan sepele untuk menemukan bahan ini, namun Sang Pencipta menjamin bahwa diri manusia mampu menemukannya.

Bahan yang bersifat kemanusiaan inilah sebetulnya merupakan konektivitas diri dengan Sang Pencipta agar mampu menjalankan tugas yang diemban manusia di muka bumi ini.  Manakala konektivitas diri ini dapat tercapai maka derajat sebagai manusia yang sempurna dan memiliki derajat yang tertinggi adalah gelar yang pantas untuk disandangnya.  Bukan hal yang ringan untuk diraihnya karena Sang Pencipta juga menyatakan tidak sedikit dari diri kita yang gagal meraihnya.

Kegagalan ini diakibatkan karena godaan materi dan bisikan dari sang pengganggu yang sebetulnya menolak kehadiran manusia untuk dijadikan penerima mandat tugas di bumi ini.  Mungkin diri bisa menyadari dimana kondisi diri kita sekarang ini berada, apakah dalam kondisi orientasi sifat hewani atau dalam dominasi sifat kemanusiaan.  Kesadaran dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali atau mengganti bahan bangunan yang sudah terdapat dalam diri kita sekarang ini.

Penutup

Hanya sekedar humor sufi yang tidak ada lucunya.  Namun yang pantas ditertawakan adalah kondisi diri yang mungkin berbeda pemahaman dengan tulisan ini.  Hanya diperlukan kesadaran untuk memahami dan merevisi bahan bangunan diri kita.

Diri seharusnya adalah esensi dan bukan aksiden,  Namun realita diri terjebak dalam aksiden, Dan tak pernah mau memahami diri yang sesungguhnya,  Sifat hewani menjadi dominasi untuk pemuas nafsu dan harapan yang ada pada diri manusia
Diri selalu mengaku memiliki Tuhan,  Namun diri tak pernah mau melakukan perintahnya,  Karena tak pernah menemukan esensi sebagai manusia,  Tergoda dengan indahnya aksiden di taman yang fana.

(aksiden: output oriented/ dunia materi/diri manusia lain)

Magelang, 10/2/2023

Salam

KAS 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun