Bencana banyak terjadi dan menjadikan fokus pikir diri manusia tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia. Â Dimulai dari tahun 2020 sampai sekarang pun kerangkeng kehidupan diri yang bernama COVID masih terasa dan menjadi pembatas aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Â Dan ketika sudah agak redapun di penghujung tahun 2022 ini banyak fenomena yang mungkin menjadi perhatian setiap diri manusia. Â
Banyaknya kejadian bencana alam yang susul menyusul bahkan sampai sekarang belum reda. Â Ibarat sebuah kalimat yang terangkai dalam paragraf yang disusun oleh alam sebagai bentuk pemberontakan atas perilaku diri di dunia ini. Â Ketidak terimaan alam semesta atas perlakuan diri manusia selama ini yang bertindak di luar batas dengan dalih mempertahankan eksistensi kehidupannya
Mungkin banyak dari diri kita yang tak sadar dengan banyaknya musibah yang terjadi dan menganggap ini hanyalah sebuah siklus kehidupan manusia yang mengalami pasang surut. Â Kadang dalam kondisi tenang dan melihat alam juga bersahabat dalam kebisuan. Ketika kondisi yang demikian dianggap hal yang wajar dan alam tidak akan pernah berbicara dengan untaian kalimat bencana maka hidup dianggap hanyalah sebuah kepentingan diri manusia saja
Kondisi yang dianggap wajar inilah menjadi perilaku diri semakin melampaui batas dalam berkehidupan. Â Dengan dalih pembenaran diri namun melupakan tugas utama diri sebagai manusia. Â Arah perjalanan yang hanya memaksimalkan mencari bekal materi untuk kehidupan dilanjutkan sehingga orientasi ilmu yang dikembangkan ilmuwan pun sebatas hal tersebut.
Kondisi ini menjadikan diri terseret arus kehidupan yang mungkin dapat dikatakan memiliki arah peta perjalanan yang keliru. Â Namun karena diri nyaman dengan lingkungan yang ada maka tidak mungkin terbesit sebuah keinginan untuk mereview dan merevisi peta perjalanan kehidupan diri kita.
Tidaklah mungkin hidup hanya sebatas ini yang diisi dengan kesibukan materi saja. Dan juga tidak mungkin diri kita diciptakan sebagai manusia tidak memiliki tugas yang lebih penting selain bekerja mencari nafkah. Â Bahkan peribadatan diri mungkin dilakukan hanya sebatas ritual dan penyampaian keluh kesah kepada Sang Pencipta.
Kesadaran harus dibangun dalam diri kita ketika menghadapi musibah yang terus menerus terjadi. Â Mungkin bukan diri kita yang terkena dampak secara langsung. Â Namun apa yang diri lihat dan dengar adalah sebuah "bacaan" yang kembali pada pribadi setiap manusia. Â Kesadaran akan hal tersebut bahwa bacaan yang ada lewat musibah adalah merupakan sebuah "ayat-ayat Tuhan" dan seharusnya diri menyikapinya dengan bijak.
Tidak hanya ucapan bela sungkawa ataupun bantuan baik moril maupun material, akan tetapi kesadaran bahwa bencana tersebut adalah peringatan diri untuk melanjutkan tugas "baca dan belajar" tentang kehidupan yang benar. Â Pemahaman tentang kehidupan yang benar inilah merupakan sifat kritis diri yang muncul dan mengembalikan pengetahuan yang benar agar peta kehidupan diri tak salah arah dalam meneruskan sisa perjalanan yang ada.
Hukum Keseimbangan Alam
Musibah yang terjadi pada hakekatnya adalah akibat dari perilaku diri manusia. Â Sadar atau tidak bahwa alam semesta ini diciptakan dengan perhitungan keseimbangan yang rumit oleh Sang Pencipta. Â Dan tugas diri setiap manusia adalah mengelola alam semesta ini dengan "baik" dan digunakan sebagai kehidupan di dunia.
Keseimbangan alam apabila terjadi maka akan menjamin kehidupan manusia dan semesta alam dan membentuk sebuah harmonisasi optimal untuk menuju kebahagiaan hidup. Tidak ada yang merasa kurang ataupun dirugikan baik itu manusia maupun alam semesta ini. Â Hal itu merupakan "hukum keseimbangan alam" yang diciptakan dan diberikan oleh Sang Pencipta kepada setiap makhluk hidup.