Dalam artikel Humor Sufi: Potensi Diri (Terjebak Pemahaman Ego) Disebutkan bahwa mencari potensi diri di lakukan sebagai bentuk pencarian dan pembangun jati diri karena harus mengenal diri sendiri secara utuh. Pembangunan dan pengenalan potensi diri ini dilakukan dengan baca dan belajar agar mendapat pemahaman mengenai modal dasar bagi setiap manusia. Â Karena tidak mungkin Sang Pencipta menciptakan manusia tidak dibekali dengan bekal yang cukup agar mampu menjalani kehidupan tanpa memikul beban yang berlebih.
Bukan merupakan hal mudah untuk dapat menemukan bekal yang berupa mengenal potensi diri setiap manusia karena banyak halusinasi jalan yang membingungkan jika diri tak memahami. Â Halusisani jalan disebabkan upaya diri yang tak pernah mau keluar dari zona yang umum akibat diri terpenjara oleh pemahaman yang sudah ada dan dianggap benar. Â
Realita pemahaman yang ada sekarang mungkin dapat dikatakan jauh dari hakekat keseimbangan kehidupan yang ada. Â Hal ini dibuktikan bahwa banyaknya diri kita yang semakin tinggi gelar dan level pendidikan malah semakin "haus" dengan bergelut dengan kondisi dunia. Â Sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan baik diri manusia maupun dengan alam semesta lainnya. Â Ketidakpuasan diri manusia lain dan alam semesta akibat ketidakseimbangan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya bencana dan pertumpahan darah yang terjadi.
Pemahaman atau pengetahuan yang merupakan lentera dan peta perjalanan hidup manusia seharusnya menjadikan diri semakin mudah melihat dan mengenal potensi diri sebagai manusia. Â Namun kenyataan malah semakin buram melihat potensi diri dan menjauhkan dari peta perjalanan kehidupan yang seharusnya dijalani. Â Sebuah kerugian manakala diri kita dalam kondisi memiliki pemahaman yang seperti ini.
Potensi diri yang seharusnya menjadikan diri menjadi manusia yang baik. Karena dengan potensi diri berarti diri memiliki pengetahuan yang mampu mengenal diri sendiri sehingga apapun yang peristiwa yang ada disekitar diri kita seharusnya dikembalikan pada pribadi. Karena apapun yang terjadi adalah sebuah manifestasi dari pribadi diri kata masing-masing.Â
Kesadaran harus dibangun dari sekarang dan dengan adanya peringatan alam dan perilaku diri yang semakin  menjadikan hidup tidak nyaman seharusnya sebagai peringatan awal agar diri kembali pada rel kehidupan.  Ketika ini tidak menjadi kesadaran bahkan terbiasa hidup dengan menyalahkan pihak lain berarti diri tidak mampu hidup sesuai dengan kodrat.  Sehingga ego yang dibangun adalah bukan mencari jati diri sebagai hakekat manusia malah semakin menurunkan derajat diri sebagai makhluk yang paling rendah derajatnya.
Potensi diri yang mampu menjadikan diri memiliki jati diri akan mampu menjadikan diri selalu yakin bahwa kehidupan adalah sebuah perjalanan yang membahagiakan. Â Karena jati diri adalah merupakan prinsip hidup yang berdasarkan pada keyakinan pemahaman tentang kehidupan yang benar. Â Dan keyakinan inilah yang akan membawa diri pada misi kehidupan yang benar.
Pemahaman ego yang kedua adalah ego sebagai jalan mencari AKU (TUHAN). Â Hal ini dimaksudkan bukan bahwa diri menganggap sebagai tuhan melainkan adalah sebagai bentuk manunggalnya diri sebagai pengganti Tuhan seperti maksud diciptakan diri sebagai manusia agar hidup di muka bumi ini. Manunggalnya diri sebagai pengganti Tuhan ini karena hidup diri kita adalah wakilNYA untuk selalu bertindak bijaksana mengatur alam semesta beserta isinya.
Jalan mencari AKU yang merupakan sebuah kiasan dari makna agar diri selalu menjadi makhluk kesayanganNYA karena selalu berpegang pada kaidah kehidupan yang benar. Â Pencarian AKU bukanlah hal yang mudah dan dapat ditemukan tanpa usaha yang keras. Â Namun adanya jaminan bahwa diri kita akan dapat bertemu manakala diri memiliki pemahaman tentang jalan menuju kesana.
Pemahaman ini dirasa mungkin hal yang "sesat" karena disebut sebagai manunggalnya diri dengan Tuhan. Â Tetapi manunggalnya diri ini berarti adalah bentuk kepatuhan atau ketaatan diri dan kekosongan diri dari "keinginan" lain selain keinginan agar diri dapat melaksanakan perintah kehidupan di dunia ini. Â Karena banyak keinginan yang hidup dan berkembang di dada diri kita dan mampu melalaikan tugas diri yang sesungguhnya.
Keinginan yang begitu banyaknya yang ada pada dada diri kita mengakibatkan beban yang berat selama hidup di dunia ini. Â Sehingga dalam hidupnya melupakan tugas utama diri dan sibuk dengan aktivitas hidup untuk memenuhi keinginan yang bukan tugas utama. Â Beban pikir dan rasa serta keinginan yang ada di dada inilah merupakan awal dari kekhawatiran tentang kondisi kehidupan yang akan dijalani sehingga melupakan agar diri mengosongkan hal tersebut. Karena sebetulnya jaminan kehidupan sudah diberikan dan tinggal diri menjalani tanpa harus berpikir keras untuk mencukupinya.Â
Memang bukan hal yang mudah dijalani oleh diri manusia terlebih jika diri tak pernah memiliki pemahaman yang benar sehingga mampu memiliki keyakinan tersebut. Â Karena pemahaman yang mungkin diri miliki sekarang ini terlalu bersifat logika matematis karena bekal hidup selalu diukur dengan ukuran yang material. Â Sebuah ketidaklengkapan pemahaman manakala diri bersifat seperti ini.
Sebuah kerugian dasar manakala diri selalu terpenjara pada pemahaman yang semua didasarkan atas logika material yang matematis. Â Karena tidak pernah ada ajaran yang selalu mengajarkan diri untuk selalu berhitung dalam setiap kehidupan manakala diri memiliki pemahaman ilmu yang benar. Hal ini dikarenakan "prinsip kecukupan hidup" yang dilupakan sehingga diri hidup dalam bayang-bayang kekikiran.Â
Kesadaran hidup tentang kepemilikan pengetahuan sekarang harus dilihat kembali apakah diri termasuk kelompok yang selalu berorientasi pada logika matematis. Â Jika ini terjadi maka diri perlu melakukan dekonstruksi pemahaman agar mampu menjadi diri yang mampu mengosongkan ("suwung") Â dada dari beban yang ada. Sehingga menjadikan diri hidup tanpa pamrih karena bentuk "manunggal" dalam menjalankan aktivitas kehidupan ini. Â Â
Sedangkan pemahaman ke"AKU"an pada diri artinya dalam setiap aktivitas kehidupan diri lepas dari unsur "keinginan lain" yang ada pada diri manusia karena sebagai "peran pengganti"sehingga perilaku diri adalah perilaku manusia yang lurus sesuai dengan rel kehidupan diri. Â Maka hidup tinggallah sekedar menjalani dan menikmati rel kehidupan karena jalan pasti akan menuju pada tujuan yang dikehendaki. Â Karena diri kita hanyalah sebagai gerbong yang sudah memiliki rel perjalanan dan "remote" ada di tangan Tuhan.Â
Ringannya beban yang ada di dada menjadi diri laksana gerbong yang dapat berjalan lancar dan tanpa ada beban yang membebani langkah kehidupan. Â Namun mengosongkan beban bukanlah hal yang mudah karena butuh pemahaman yang mampu membentuk diri menjadi orang yang berprinsip dan tak pernah takut dengan kehidupan di masa depan. Â Karena diri hanya sekedar berjalan menatap kedepan tanpa takut dengan beban kehidupan yang ada.
Ego sebagai jalan pencarian AKU akan dapat terwujud dimulai dengan pencarian dan menemukan potensi diri sebagai manusia. Â Pencarian ini adalah dengan memahami modal dasar diciptakannya diri sebagai manusia yang hubungannya dengan fisik dan non fisik. Â Fisik adalah hubungannya dengan pemahaman tentang kerja indra dan hati yang dimiliki oleh setiap diri manusia. Â Sedangkan non fisik adalah pemahaman dan pengetahuan yang mampu menemukan dan menjalin konektivitas dengan Sang Pencipta.
Memang bukan hal yang sederhana untuk dimengerti manakala diri sekedar berpijak pada pengetahuan yang umum dipelajari sekarang ini. Â Namun ketika diri mampu melakukan aktivitas "baca dan belajar" buku yang benar (Buku Panduan Hidup) maka diri akan mampu menemukan pemahaman yang demikian ini. Â Butuh proses yang panjang dan tidak setiap diri mampu untuk itu namun keyakinanlah yang dapat mewujudkan pemahaman ego sebagai jalan pencarian AKU.
Namun manakala diri kita tidak pernah berusaha dengan maksimal seperti memaksimalkan "baca dan belajar" maka diri pun juga akan mampu meraih ego adalah jalan pencarian aku. Â Namun "aku"nya adalah aku sebagai manusia bukan "AKU" sebagai kekasih dan pengganti Tuhan. Â
Ketika diri sebagai aku (bukan "AKU") maka diri bukan sebagai hakekat manusia yang sesungguhnya dan sebagai makhluk yang sempurna. Â Karena diri sudah hidup melewati batas bahkan sampai melampaui batas kehidupan yang seharusnya dijalani. Â Sehingga mengakibatkan diri sebagai makhluk yang tidak sempurna dan bahkan memiliki derajat yang paling rendah. Pertumpahan darah dan membuat kerusakan alam semesta adalah hal yang sudah digariskan manakala diri tidak mampu menemukan "AKU". Â
Maka perlu diri kita untuk selalu mawas diri dengan kondisi kehidupan yang ada sekarang ini. Â Agar diri mampu memahami pencarian makna dari ego sebagai bentuk pengenalan dan menemukan diri sendiri sehingga mampu menemukan jalan untuk mencari "AKU".
Penutup
Hanya sekedar humor sufi yang membahas tentang ego diri. Â Tidak ada yang lucu dalam tulisan ini yang pantas untuk ditertawakan. Namun perbedaan filosofi pikir inilah yang mungkin pantas untuk ditertawakan.
Apa yang diri pahami dan ketahui... Hanyalah setetes air yang jatuh dari sebuah jari... Â Dan mungkin dianggap salah di mata diri manusia lain... karena mereka juga mendapatkan setetes air namun dari jari yang lain.
Bila dibandingkan dengan air yang ada di samudra... Namun tidak banyak diri kita yang tertarik... Karena diri sudah terlanjur... Menengadahkan kepala bersama-sama diri yang lain berebut dan menunggu jatuhnya air yang terbatas.
Terima kasih
Magelang, 25/12/2022
KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H