Kebutuhan pokok utama diri manusia hakekatnya adalah selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dan belajar. Â Hal ini berarti bahwa dua tujuan tersebut bukan pada segi untuk memenuhi kebutuhan namun mencari bekal untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Â Kebahagiaan ini tidak diukur dengan seberapa besar materi (uang) yang dapat dikumpulkan namun kesempurnaan diri menemukan potensi diri agar mampu hidup bahagia.
Potensi diri yang merupakan hal komprehensip yang merupakan material (bahan dasar) yang menyertai diri manusia ketika diciptakan harus diupayakan secara kontinyu melalui upaya mempertahankan hidup dan selalu belajar sepanjang masa. Â Memang bukan hal yang mudah untuk mencapainya namun ada jaminan bahwa diri kita mampu untuk meraihnya
Dalam perkembangannya ada pergeseran dalam memaknai tugas tersebut. Â Diri kita yang seharusnya mempertahankan hidup dan belajar agar manusia dapat memegang amanah dan terus bergerak maju menikmati perjalanan kehidupan dalam mencari bekal. Â Namun berubah menjadi diri yang ingin memiliki kebutuhan untuk menikmati kehidupan di dunia ini.
Fenomena tersebut menjadikan diri terjebak pada makna dari material yang diartikan secara sempit karena sekedar benda untuk dimiliki dan dinikmati dalam kehidupan ini. Hal ini menjadikan aktivitas kehidupan lepas kendali dan semakin jauh dari pencapaian potensi diri sebagai manusia. Â Dampaknya dapat dirasakan sekarang ini apapun aktivitas diri mulai dari bekerja sampai kegiatan ritual agama adalah orientasi mencukupi kebutuhan kehidupan di dunia.
Maka segala ukuran baik atau tidak ukuran yang dipakai adalah materi (namun dalam arti kebendaan). Â Bahkan orang dapat dikatakan berguna atau tidak manakala diri mampu memberikan materi yang cukup kepada orang lain. Â Sebuah pemahaman yang keliru sebetulnya namun hal ini merupakan sebuah warisan dari para orang tua dan sudah menjadi paradigma pengetahuan.
Dominasi pemahaman pengetahuan ini menjadi alur dan diturunkan dalam pembelajaran dan pengembangan pengetahuan. Â Dan hal ini menjadikan bahwa pengetahuan yang berkembang adalah diri disiapkan untuk mencari kebutuhan dan menjadi orang yang mampu mendominasi manusia lain.
Maka tidak heran manakala diri semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki menjadikan "rakus" terhadap pencarian materi. Â Materi yang seharusnya untuk dinikmati dan dicari tanpa meninggalkan keseimbangan berubah menjadi sekedar dikumpulkan untuk pencapaian ego diri. Â Sehingga menjadi diri jauh dari potensi yang seharusnya dimiliki dan digantikan dengan ego yang dikejar dalam kehidupan ini.
Sebuah kerugian jika diri tak memiliki sifat kritis manakala menemui kondisi seperti ini. Â Jiwa manusia menjadi mati atau gersang karena rasa kemanusiaan dan sifat baik lainnya hilang digantikan dengan orientasi keuntungan yang diperoleh. Â Maka dibutuhkan sebuah dekonstruksi yang mampu merubah paradigma berpikir yang tidak terbelenggu oleh paham materialisme yang keliru.
Belenggu Paham Materialisme
Paham materialisme telah menciptakan paradigma dalam kehidupan dengan ukuran untung dan rugi serta reward atau imbalan yang menjadi output dari sebuah aktivitas. Â Perjuangan untuk mempertahankan hidup akan dilakukan dengan maksimal dan belajar dilakukan namun dengan tujuan untuk mendapatkan materi yang lebih. Diri kita yang memiliki materi akan mampu "memperkerjakan/mengorbankan" orang lain agar tujuan yang diraih dapat dicapai. Â
Sedangkan dari segi alur berpikir paham ini mengesampingkan alur religiusitas dan bahkan dianggap pengganggu aktivitas diri dalam aktivitas bekerja. Â Orientasi ilmu kematerian atau kebendaan menjadi prioritas dalam beraktivitas agar selalu menang dan memperoleh keuntungan yang berlebih. Â Hal ini menjadikan diri kita dalam berpikir untuk memunculkan strategi hidup untuk selalu beraktivitas agar mendapatkan materi kehidupan.