Ketika diri kita mendengar perkataan subyektivitas kebenaran maka secara umum langsung berpikir bahwa ini berarti bahwa kebenaran itu tergantung pada subyek yang mengatakan atau memperjuangkan. Â Pemahaman ini mengartikan bahwa kebenaran itu terlihat tidak mengandung kebenaran yang mutlak. Karena kebenarannya hanya sekedar bagaimana kacamata subyek mengatakan benar atas sebuah peristiwa itu terjadi.
Maka tidak heran ketika seseorang dari diri kita mengatakan itu adalah sebuah kebenaran yang subyektif berarti kebenaran dari yang ditampilkan hanyalah kebenaran semu. Â Kadar kebenaran yang subyektif diragukan kebenarannya karena campur tangan dan peran dari subyek dalam menjustifikasi sesuatu mempengaruhi keputusan dalam kesimpulannya. Â Â
Namun ketika diri dalam kesadaran dan mau merenungkan sebuah kata subyektivitas kebenaran mungkin akan memiliki perdebatan dalam hati. Â Sehingga timbul sebuah pertanyaan yang menanyakan tentang makna yang sesungguhnya tentang kata tersebut. Â Mungkinkah sebuah kata itu memiliki kadar rendah mengenai kebenaran dalam pemahaman diri kita secara umum ataukah selama ini diri salah dalam memaknainya.
Alur Pengetahuan
Diri kita diciptakan sebagai manusia  yang dalam hidupnya harus selalu belajar agar memiliki pengetahuan untuk bekal kehidupan baik di dunia dan masa depan.  Dengan ilmu yang dimiliki  saja yang mampu mengucapkan kata tapi tahu arti dan bukan menjadi diri yang tak berpendidikan yang sekedar hidup saja.  Hidup yang tak memiliki pengetahuan akan mudah terseret arus dan menjadikan manusia yang hidup tanpa memiliki prinsip kehidupan.
Pemahaman atau pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang bisa di dapat dari bangku pendidikan ataupun dari non formal. Â Bangku pendidikan seperti diketahui adalah belajar yang mengkaji secara mendalam tentang masalah keilmuwan. Â
Pola pendidikan seperti ini bukan berarti menjamin bahwa apa yang di dapat adalah sebuah kebenaran yang absulot sehingga tidak perlu dikaji lagi kebenarannya. Â Maka tugas diri setelah menerima pengetahuan seharusnya dilanjutkan dengan mengkaji lebih mendalam kebenaran dari apa yang diterima dalam pola pendidikan ini.
Dan realita di lapangan diri setelah menyelesaikan tugas belajarpun akan bangga dengan apa yang di dapat di bangku pendidikan formal dan tidak pernah mau mengkaji tentang kebenaran pemahaman yang diperolehnya. Â Ketika hal ini terjadi seperti demikian maka tidak bedanya ketika diri belajar ibaratnya hanya mencari "sebuah kaca mata kuda" karena merasa sudah memiliki bekal dan jalan hanya lurus kedepan saja. Hal ini menjadikan diri seperti tertutup logika dan daya nalar yang kritis untuk memikirkan sesuatu yang lebih baik.
Sedangkan bangku non formal pemahaman bisa di dapat dari pembelajaran dilingkungan sekitarnya. Â Pengetahuan yang diperoleh dapat dikatakan sebagai sebuah istilah "ajaran nenek moyang". Â
Sebagai sebuah pengetahuan yang merupakan warisan maka mungkin tidak akan mampu menggeser jika diri tak memiliki pengetahuan ataupun keberanian untuk merubahnya. Â Karena ketika diri berusaha untuk mendekonstruksi atau merubah dengan cara meluruskan kembali pemahaman yang selama ini diakui oleh masyarakat umum ada maka harus siap dengan konsekuensi yang diterima.
Sehingga dua jalur cara mendapatkan pemahaman tersebut tidak menjamin bahwa diri sudah menemukan bekal untuk menjalani kehidupan. Â Karena bekal itu akan diperoleh jika diri mampu berpikir kritis dan mampu menganalisis apapun yang dihadapi baik dalam bentuk peristiwa maupun teori-teori yang ada dalam Buku Panduan. Â
Arti Subyektivitas Kebenaran
Demikian juga dengan pemahaman tentang masalah arti atau makna dari kata subyektivitas kebenaran seharusnya diri juga melakukan sebuah penggalian makna sebelum mengatakan kata yang sama kepada diri manusia lain. Diri bukan diciptakan seperti burung beo yang bisa ngomong tapi tak tahu makna yang benar dari ucapan yang keluar dari mulut. Â Â
Ketika diri kita berkata subyektivitas kebenaran namun hanya sekedar latah atau ikut-ikutan sehingga tidak pernah paham makna sesungguhnya maka posisi kita adalah laksana buih yang mengikut arus. Â Sebuah kerugian jika diri masih dalam kondisi yang seperti ini karena diri tak pernah menemukan eksistensi sebagai makhluk yang sempurna. Â Karena tak pernah mau menggunakan akal untuk belajar. Â
Dua alur pemahaman yang ada tentang subyektivitas kebenaran yang sampai sekarang diyakini kebenarannya yaitu para pemikir klasik dan pemikir modern. Â Para pemikir klasik mengatakan bahwa subyektivitas kebenaran adalah merupakan sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh subyek dalam menangkap obyek baik secara empiris maupun secara logika. Â Hasilnya mengakibatkan bahwa kebenaran merupakan sebuah kebenaran yang dapat dibuktikan secara umum/fisik/jasadiyah.
Pemahaman yang seperti ini mengakibatkan subyektivitas kebenaran adalah sebuah pendapat yang terpinggirkan atau memiliki kadar rendah walaupun dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang diterima oleh logika. Â Namun karena peran dari subyek dominan dalam menyusun skenario agar dapat diterima kesimpulannya sebagai sebuah kebenaran. Â
Pemikiran klasik yang demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah tergantung pada subyeknya  dan kebenaran itu sendiri dijadikan sebagai obyek atau tujuan akhir dari olah pikirnya  (baca : Obyektivitas kebenaran).  Maka seorang pemikir modern mengkritisi bahwa pemahaman ini dikatakan sebagai sebuah "kebenaran itu hanya jalanku untuk mencapai tujuan".Â
Sedangkan pemikir modern mengubah orientasi menjadi lebih kearah in self (ke dalam diri).  Yang berarti bahwa kebenaran itu berasal dari luar dan masuk ke dalam dirinya.  Perbedaan ini menunjukkan bahwa diri adalah merupakan bagian dari umum.  Jika umum benar maka ketika diri menganggap itu dan bermakna untuk diriku adalah sebuah kebenaran maka dikatakan inilah sebetulnya subyektivitas kebenaran. Sebetulnya pemikir modern ini mendekati pada pemahaman pada kebenaran yang obyektif.  Yang artinya bahwa dikatakan sebagai sebuah kebenaran jika itu merupakan kebenaran dan memiliki manfaat untuk diri manusia pribadi. Â
Dua alur pemahaman yang ada ini ternyata merupakan sebuah "permainan kebenaran" manusia untuk tujuan keberlangsungan kehidupan dan tidak dianggap sebagai orang yang tidak benar. Â Karena usahanya baik secara subyek maupun obyek adalah untuk kepentingan memuaskan ego diri sebagai manusia. Â Seperti contoh dalam artikel obyektivitas kebenaran terdapat empat pihak yang ada dalam persidangan dimana empat pihak akan mengungkapkan fakta-fakta yang ada menurut kacamata mereka masing-masing. Â Maka tidak salah ketika diri mereka melakukan hal itu karena memang secara pengetahuan yang dimiliki dan didasarkan atas alur kebenaran hal itu memang dibenarkan. Â
Dan tidak heran jika hal seperti ini terjadi pada diri kita yang ingin mencapai tujuan namun menggunakan jalan yang keliru. Â Sebuah era "salah jalan" namun merupakan kebenaran yang diakui kebenarannya. Â Maka sebagai seorang yang berpengetahuan wajib sebetulnya mengkritisi arti kebenaran yang selama ini diakui dan mencari makna yang absolut tentang kebenaran. Â
Makna Subyektivitas kebenaran
Makna kebenaran sekarang ini  banyak yang jauh dari hakekat kebenaran.  Karena kebenaran yang ada sekarang adalah sesuatu yang merupakan ukuran dari manusia dan hanya tujuan akhir dari proses usaha diri  kita. Dan kebenaran merupakan sebuah tujuan untuk mempertahankan eksistensi kehidupan.  Karena kebenaran hanya sebagai hal tersebut maka keseimbangan atau salah jalan kehidupan manusia jauh dari hal yang seharusnya dijalaninya.
Pengubahan pemahaman (dekonstruksi) atas hakekat kebenaran perlu dilakukan agar diri tak ikut dan tersesat dalam arus kehidupan. Â Karena pemahaman kebenaran yang ada sekarang rata-rata adalah pemuasan hasrat diri agar mampu hidup ditengah arus kehidupan. Â Hal ini sebetulnya sebuah pengkerdilan diri sebagai manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna.Â
Posisi diri yang dikerdilkan atau dianggap sebagai makhluk yang tak mau untuk berpikir karena penjara rutinitas kesibukan diri sebagai manusia seperti diasumsikan hidup hanya sebagai hewan peliharaan yang tak mungkin mampu melawan sang majikan. Â Sang Majikan inilah yang memiliki skenario "kebenaran" agar diri selalu merasa nyaman di kandang kehidupan. Dan kehidupan hanyalah memberikan kepuasan pada sang majikan dan diri hanya selalu menjadi korban atau penonton dari panggung kebenaran manusia.
Kesadaran perlu dibangun dengan kembali melakukan instruksi arus pemahaman yang dimiliki. Â Arus pemahaman akan kebenaran yang diri miliki mungkin sekedar sebuah arus sungai kotor yang berasal dari sumber yang kurang jelas ataupun kerangkeng pemahaman yang dimiliki oleh "nenek moyang manusia.Â
Ketika tanpa memiliki kesadaran tersebut maka tidak mungkin diri akan bisa mencapai lautan pengetahuan yang menunjukkan kebenaran sejati dan seharusnya tujuan akhir dari perjalanan kehidupan manusia. Â Kesadaran akan kebenaran yang dicari dengan proses belajar secara benar dengan menggunakan potensi diri yang dimiliki. Â Karena Sang Pencipta sudah menjadikan diri sebagai makhluk yang sempurna dan diberikan Buku Panduan untuk menemukannya.Â
Kesadaran akan tugas kehidupan manusia akan menjadi pengoptimalan diri dalam hidup di dunia ini.  Kesadaran yang menjadi awal dari proses diri belajar pada tata dan prosedur kehidupan akan menemukan pengetahuan tentang kebenaran.  Ketika kebenaran sudah menjadi bekal dalam kehidupan  maka hidup kita akan menjadi benar.Â
Subyektivitas kebenaran adalah diri manusia yang sudah belajar dan memiliki "perbendaharaan kebenaran" karena diri mau belajar pada buku Panduan hidup. Â Maka ibaratnya diri adalah sebuah kebenaran yang hidup sehingga dapat dikatakan kehidupannya adalah subyek yang selalu benar karena menurut buku Panduan. Â Karena sebagai subyek maka apapun yang dilakukan adalah sebuah hal yang memiliki kebenaran dan hasilnya pun adalah kebenaran dan keseimbangan kehidupan.
Subyektivitas kebenaran  adalah diri yang tidak berpikir pada kebenaran untuk kepentingan diri sendiri atau kebenaran yang didasarkan oleh luar diri manusia.  Karena langkah hidupnya dalam kehidupan menyatu antara diri dengan kebenaran. Kemanunggalan diri tersebut menjadi perbuatan atau kerjanya  adalah hal yang benar dan pasti menghasilkan sesuatu yang benar. Sebuah dekonstruksi ideal namun butuh perjuangan agar diri menyatu dalam kemanunggalan tersebut.  Bentuk kemanunggulan inilah yang dikatakan sebagai diri dalam subyektivitas kebenaran.
Penutup
Hanya sekedar humor sufi untuk mencoba meluruskan makna dari subyektivitas kebenaran. Â Karena banyaknya golongan diri manusia yang menganggap kaumnya yang selalu benar. Â Tidak ada yang lucu dan pantas ditertawakan, namun perbedaan pengetahuan inilah yang pantas untuk menjadi bahan kajian.
Kebenaran mungkin hanyalah sebuah kata... dapat diletakkan sebagai subyek ataupun obyek dalam diri manusia...  namun hakekat kebenaran bukan sebagai benda... Tapi sebagai kerjanya diri sebagai manusia  (KAS,8/11/2022)
Salam KAS
Magelang, 8/11/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H