Fenomena yang terjadi sekarang ini dengan perilaku diri kita dalam memperjuangkan kebenaran atau pembenaran atas aktivitas yang dilakukan. Â Perjuangan diri untuk mempertahankan hal tersebut dilakukan dengan upaya yang maksimal agar aktivitas yang dilakukan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Â Bukan hal yang asing jika kekeliruan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan juga mungkin sebaliknya sebuah kebenaran malah dianggap hal yang salah.
Dan kesadaran diri atas fenomena ini tersadar dengan adanya rutinitas berita yang tersaji dilayar televisi dengan dalih mengawal kebenaran yang sejati. Â Dalam sajian berita tersebut setidaknya diri kita melihat ada empat kubu yang berusaha untuk memperjuangkan sebuah nilai kebenaran. Â
Kubu pertama adalah diwakili oleh pihak korban yang berupaya untuk menegakkan fakta kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Perjuangan yang dilakukan adalah dengan tujuan memperbaiki nama korban dari naskah drama kehidupan. Â Perlawanan yang sementara ini dikatakan sudah mendekati setengah jalan dengan berhasil membongkar "noda" institusi yang kuat. Â Namun masih perlu setengah jalan lagi perjuangan yang perlu dilakukan yaitu dengan perlawanan di pengadilan.
Kubu kedua adalah mereka yang selama ini dikatakan sebagai sutradara dari  sandiwara yang memiliki pengaruh kuat dalam informasi dan legalitas power di negara ini.  Kubu ini di babak awal mampu mengendalikan irama dan naskah drama kehidupan.  Namun ternyata nasib berkata lain sehingga berubah menjadi pihak yang mendominasi menjadi pesakitan yang harus dihadapkan di pengadilan.Â
Kubu ketiga adalah mereka yang dikatakan sebagai wayang yang hanya sekedar melakonkan tokoh yang diembannya. Â Namun karena diri mereka adalah wayang yang memiliki jiwa maka tidak mungkin akan selalu menurut skenario yang dirasa akan menjerumuskan perjalanan kehidupannya. Â Maka mungkin akan terjadi pemberontakan dan mungkin akan berbelok dari skenario yang ada walaupun dengan taruhan nyawa.
Kubu keempat adalah pihak yang selama ini dianggap sebagai pemutus kebenaran. Â Pihak ini ibarat sebagai sebuah juri yang keputusannya adalah sangat menentukan derajat kebenaran yang asli atau manipulasi. Â Sebagai pihak yang sangat berat tanggung jawabnya terlebih fenomena ini menjadi santapan harian diri kita semua maka obyektivitas dan netralitas serta kecerdasan dalam pengambilan keputusan sangat ditunggu.Â
Walaupun tidak diragunakan lagi atas keprofesionalan dari kubu keempat ini namun mereka pun manusia yang mungkin juga bisa terseret skenario ataupun memiliki motivasi lain disamping tugas utama yang selalu dijunjung yaitu nilai obyektivitas. Â Maka tidak heran jika sekarang mungkin terjadi pergeseran tentang makna dari obyektivitas sebuah kebenaran. Â
Muncul dalam kesadaran dalam diri penulis untuk mengulas tentang obyektivitas kebenaran yang hakiki. Â Sehingga muncul pertanyaan mengapa terjadi hal yang demikian dan kemudian diteruskan dimana sebetulnya makna dari sebuah kebenaran yang hakiki sesungguhnya itu.
Makna ObyektivitasÂ
Realita di lapangan sekarang ini diri kita mungkin dalam keseharian sering mengucapkan kata obyektif. Pengucapkan kata obyektif tersebut hanya sekedar melihat bahwa hal yang dimaksud adalah secara obyek sesuai dengan kondisi atau fakta yang ada. Â Ketika diri mengatakan hal tersebut maka mungkin hanya dipengaruhi oleh kondisi dan pemahaman yang real di lapangan dan itu semua adalah hal yang berterima umum. Â Hal ini mengakibatkan bahwa obyektif adalah terbentuk dari sebuah realita kondisi dan tidak melihat kebenaran yang sesungguhnya.
Pembiasan makna dari obyektivitas ini mengakibatkan nilai sebuah kebenaran pun hanya didasarkan atas pemahaman yang dimiliki sehingga kebenaran adalah hal yang umum dan dianggap wajar. Ibarat sebagai sebuah pemungutan suara maka kebenaran yang obyektif adalah tergantung suara terbanyak pada suatu kondisi. Â Dan suara terbanyak itu baik benar atau salah akan menjustifikasi kebenaran yang terjadi. Â