Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Menyusuri Jalan Nikmat

11 September 2022   22:00 Diperbarui: 11 September 2022   22:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fenomena yang lagi naik daun sekarang adalah berita mengenai imbas dari kenaikan harga bahan bakar.  Banyak berita yang memberikan informasi tentang dampak kenaikan tersebut terhadap masyarakat bahkan seperti mendramatisir kehidupan orang-orang yang dianggap kelompok keluarga miskin. Apakah memang kehidupan orang-orang yang dianggap keluarga miskin seperti itu yang selalu dalam kesedihan dan berebut sumbangan dan bantuan dari orang lain akibat dari kenaikan bahan bakar.

Spot-spot informasi yang diberikan kepada masyarakat ibarat seperti bingkai kehidupan dramatisir masyarakat miskin dan mungkin dikondisikan untuk tujuan tertentu.  Sedih memang diri melihat kondisi yang demikian melihat perilaku saudara kita berebut bantuan dengan ketidaksabaran dan penuh "nafsu" agar mendapatkan jatah.  Namun disisi lain ada orang-orang yang merasa puas dengan informasi seperti itu ibarat umpan yang diberikan dapat ikan yang besar dan akan mendapatkan hajat besar untuk kelancaran tujuannya.

Ketika kesadaran diri melihat dan mendengar informasi seperti itu, apa yang terbesit dalam hati kita? Apakah diri larut dalam drama kesedihan dari fenomena tersebut atau menjadikan diri prihatin dengan perilaku ini?  Mungkin ketika diri tidak dalam kesadaran penuh akan langsung menyalahkan pada orang-orang yang menyebabkan fenomena itu terjadi.   Dan realita memang banyak diri kita yang mudah menyalahkan orang lain akibat sebuah peristiwa terjadi.  Bahkan budaya menyalahkan dan memberikan opini negatif menjadi hal-hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. 

Namun sebetulnya ketika kesadaran dalam diri kita muncul akan memberikan argumen dan penjelasan mengenai fenomena yang sedang terjadi. Sehingga bingkai dari spot-spot informasi tersebut yang sudah membingkai pengetahuan selama ini akan hilang digantikan dengan pemahaman yang lebih general tentang jalan nikmat kehidupan yang harus dijalani oleh setiap diri manusia.

Kesadaran inilah yang seharusnya dibangun dan dibentuk oleh setiap diri manusia dari pendidikan yang selama ini dijalani.  Namun tidak jarang banyak diantara diri kita yang memiliki pendidikan yang tinggi tak pernah menemukan titik kesadaran dalam hidupnya. Akibatnya diri selalu memberontak pada jalan nikmatnya kehidupan akibat dari perjuangan lain yang harus di laluinya.

Kesabaran Menyusuri Jalan Nikmat

Setiap diri manusia dalam kehidupan ini wajib memiliki dan membangun jiwa kesabaran.  Kesabaran bukanlah sebuah hadiah yang bisa secara instan dapat dimiliki oleh setiap insan manusia.  Melainkan harus dibangun dan diperjuangkan untuk menjadi sebuah bangunan kuat yang terdapat dalam pribadi setiap diri manusia.  Dan tidak mungkin diri kita memiliki bangunan kesabaran tanpa pernah memahami untuk mulai membangunnya.

Kesabaran sebagai sebuah bangunan harus dimulai dari persiapan mulai dari material yang digunakan-pondasi yang dibangun-sampai dengan atap yang menaungi bangunan tersebut. Kesabaran sebagai bangunan tersebut akan memberikan benteng diri untuk selalu hidup cerdas untuk selalu sadar dengan jalan kehidupannya.  Sehingga dalam hidupnya akan selalu menjaga dirinya untuk sadar akan dampak dari tingkah lakunya karena setiap api pasti akan meninggalkan arang yang membara.

Ketika kesadaran jauh dari diri kita maka akan mengakibatkan diri berperilaku yang menyimpang. Kadang ketika diri dalam posisi di atas maka segala kemudahan dan kelebihan yang menjadikan diri merasa nikmat dalam hidupnya.  Bahkan ketika diri merasa di atas inilah merasa hidupnya bagaikan raja yang tak terusik oleh diri manusia yang lain.  Sehingga ketika ada yang mengganggu dengan mudahnya diri membuat skenario untuk menjatuhkan manusia lain.

Kondisi diri yang seperti ini menjadikan diri mudah terbakar dan sakit hati karena jalan hidup yang selama ini diperjuangkan ada yang mengganggunya. Maka tak heran strategi "kurang baik" digunakan untuk mempertahankan nikmat yang baru diterima bahkan sampai menggugat Sang Pencipta agar dirinya tidak mengalami turun roda kehidupannya.

Kesadaran akan kehidupan diri akan memberikan pemahaman bahwa hidup yang harus dijalani adalah ibarat seperti roda yang berputar.  Kesadaran inilah yang akan memunculkan logika dalam diri untuk berpikir apakah kehidupan yang dijalani sebagai seorang budak atau manusia yang merdeka.  Jika diri hidup sebagai seorang budak maka ibarat diri belum menemukan kesadaran dan kebalikannya ketika diri sebagai manusia yang merdeka maka itulah diri kita yang sesungguhnya.

Kesadaran dalam hidup inilah yang menjadikan diri memahami bahwa hidup ini hanya sekedar menjalani.  Karena semua bekal sudah diberikan oleh Sang Pencipta.  Sedih atau bahagia adalah cerita dalam diri selama menyusuri jalan nikmat yang diberikan.  Maka tidak ada lagi kata mengeluh dan sedih ataupun menggugat nikmat yang telah dibekalkan kepada diri semua.  Dan kondisi yang demikian maka jadilah diri kita sebagai manusia yang berakal dan selalu bersyukur.

Umur dan Menyusuri jalan Nikmat

Diri kita sadar bahwa tidak setiap manusia kuat dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.  Namun apakah diri kita memilih untuk menjadi orang yang lemah dalam kehidupan di dunia ini.  Sehingga perlu mencari "obat kuat" yang lain agar diri kita dapat dipandang orang lain sebagai orang yang kuat dalam menyusuri kehidupan ini.

Obat kuat yang dicari biasanya adalah hal-hal yang kurang baik untuk bangunan kesabaran.  Ibarat diri menyembelih hewan untuk dijadikan makanan namun tangan kita berlumuran dengan kotoran.  Sepertinya tidak ada rasa nikmat yang diperoleh ketika harus menyantap daging hewan itu dengan kondisi seperti itu.  Karena prosesnya semua itu dengan obat kuat dan meninggalkan nilai kesabaran yang seharusnya dibangun.

Kondisi kehidupan sekarang ini ibarat seperti diri dalam keadaan terjerat dengan jeratan tipu daya kehidupan dunia.  Ketiadaan dan jauhnya pemahaman ilmu yang sesungguhnya menjadikan diri hanya memiliki orientasi pada kehidupan yang nampak agar selelu terlihat indah dan bahagia.  Namun kondisi yang indah dan bahagia ini adalah memakai ukuran ukuran jasadiyah atau fisik semata dan jauh dari nilai "materi yang seharusnya dicari". 

Maka tugas diri adalah wajib memiliki orientasi berpikir bahwa kehidupan ini tidak hanya untuk di dunia saja dan memiliki keterbatasan umur. Pendeknya umur yang kita miliki janganlah disibukkan dengan mengerjar angan-angan semata.  Karena jika demikian maka diri akan terjebak dengan penyakit "akan dan akan" yang merupakan jebakan kehidupan dunia semata.

Terjebaknya diri dalam keadaan yang demikian menyebabkan perahu umur tidak menempuh perjalanan yang sebenarnya.  Umur tetap melaju bagaikan perahu yang terus bergerak mendekati pada pantai kematian.  Ketika terjebaknya dengan hal ini maka diri akan terkejut ketika perahu sudah mendekati liang kubur tanpa membawa bekal yang seharusnya disiapkan karena hawa nafsu masih menguasainya.

Mumpung diri masih diberi kesempatan karena belum dekat dengan pantai kematian maka dibutuhkan kesadaran untuk menemukan bekal yang seharus dibawa dalam perahu umur.  Bekal ini adalah dicari dengan menemukan pengetahuan yang sebenarnya tentang kehidupan.  Maka tugas belajar adalah hal utama dalam hidup setiap manusia. 

Dengan belajar yang baik maka diri akan menjadi orang yang sadar tentang hidup ini dan menjadikan bagian dari bangunan kesabaran yang seharusnya dibangun.  Kondisi ini akan menjadikan diri tak mudah menjadi pribadi yang "kagetan" dan mudah terprovokasi dengan drama-drama yang dibangun untuk menyesatkan arah kehidupan manusia.

Penutup

Umur adalah rute untuk menyusuri jalan nikmatnya hidup di dunia ini.  Kesadaran akan mengingatkan selalu agar diri menyiapkan bekal yang dibawa dalam perahu untuk menuju pantai kematian.  Kesadaran demikian akan membawa diri pada kebahagian hidup dan tak pernah mengenal rasa mengeluh dan putus asa dalam mengarungi bahtera kehidupan manusia.

Hanya sekedar humor yang tidak lucu.  Karena menertawakan pemahaman diri tentang umur yang sudah kita jalani selama ini jauh dari mencari bekal yang dibawa untuk sampai di pantai kematian.   Dan mungkin yang diri siapkan untuk menghadapi pantai kematian adalah hanyalah bekal angan-angan karena tak paham dengan hakekat bekal yang sesungguhnya.

Sabarku selama ini bukan atas nama cinta
Sabarku selama ini hanya mengejar angan dan harta
Sabarku selama ini kudasarkan atas hasrat
Bukan untuk mencari Ridha dari Sang Pencipta

Perahuku sudah melaju
Pantai kematian sudah menunggu
Namun diri tak pernah bertemu
Dengan bekal yang seharusnya ku persembahkan untukMU
 

Magelang, 10/9/2022

Salam Kas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun