Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Humor Sufi: Mencari Mahkota Puasa (2)

17 April 2022   08:20 Diperbarui: 17 April 2022   08:25 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sebuah geguritan jawa yang menjadi nasehat orang tua mengawali tulisan humor sufi mencari mahkota puasa (2).  "Lir ilir tandure wus sumilir tak ijo royo-royo- tak sungguhke penganten anyar.  Cah angon-cah angon penekne  blimbing kuwi - lunyu-lunyu penekne kanggo mbasuh dodot iro... ".  Potongan lirik lagu yang memiliki makna yang dalam sebagai nasehat diri agar mampu sukses dalam perjalanan dalam kehidupan di dunia ini.

Sebagai diri manusia yang digambarkan seperti pengantin baru dan pasti akan memiliki motivasi positif  dan membara untuk mengisi kehidupan baru.  Namun bukan hal yang mudah dalam menjalani kehidupan baru tersebut.  Hal ini seperti diri yang dihidupkan di dunia ini agar mampu melakukan perbuatan yang baik untuk mengisi dan menyiapkan bekal yang akan di bawa menghadap Sang Pencipta.

Bulan puasa di ibaratkan merupakan masa tanam yang tepat karena musim yang pas untuk melakukan dan menyiapkan bekal diri menghadap kepada Sang Kekasih.  Manusia yang bisa menanam adalah diri yang memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut.  Namun ketika diri tak memiliki pemahaman akan mengakibatkan diri tak mampu menanam atau malah salam dalam menanam tanaman yang ada dan akan mengakibatkan gagal untuk mendapatkan panenan yang diharapkan sebagai bekal nanti.

Kesadaran diri ketika sudah mendapatkan motivasi positif akan meningkatkan semangat untuk memasuki dan menjalani aktivitas di bulan Puasa.  Peningkatan semangat ini ibarat sebuah nyala api lilin sebagai penerangan kecil yang masih membutuhkan hal lain yang harus diusahakan agar diri dapat menjaga nyala dan menjadi terang dalam menemani perjalanan di aktivitas bulan puasa.  Jika diri tak memahaminya maka bisa juga ditengah perjalanan api semangat itu akan padam dan mengakibatkan diri tak mampu meneruskan langkah untuk mencari dan menerima mahkota puasa yang menjadi dambaan setiap orang yang beriman.

Fenomena banyaknya diri yang tak mampu menjaga nyala api tersebut banyak terjadi tidak hanya terjadi di masa-masa sekarang.  Banyak cerita bukti sejarah yang tertulis di Buku Panduan yang menyatakan tidak sedikit dari diri kita yang menjalankan ibadah puasa hanya mendapatkan kelelahan jasmani (lapar dan dahaga) karena kurangnya diri konsisten dalam menjaga motivasi positif tersebut.

Godaan kehidupan sehari-hari terasa sangat berat terlebih diri dalam kondisi yang tidak biasa akibat dari perut yang kosong dan kondisi yang dibatasi dengan aturan yang ada.   Ketika motivasi positif sudah dimiliki namun dalam kenyataan diri kita hidup tak memiliki pegangan akan mengakibatkan diri mudah jatuh atau tersesat karena terbujuk oleh faktor eksternal yang menggoda  perut akibat rangsangan dari input (mata, telinga, dan mulut). Rangsangan eksternal ini akan menggoyahkan indra diri (pikir, perasaan dan perut) jika diri tak memiliki pemahaman tentang kehidupan. 

Kekosongan pemahaman atau keyakinan diri akibat dari tak memiliki pijakan atau pegangan yang kuat maka hal itu bukanlah hal aneh terjadi.  Bahkan keinginan perut bisa dikendalikan namun godaan lain tak kuat untuk ditinggalkan karena lemahnya pemahaman tentang kontrol diri yang tak pernah dipahami makna dan hakekatnya.  Inilah hal yang lumrah di alami oleh diri manusia dalam menjalani ibadah puasa.

Ibarat gambaran perjalanan diri digambarkan oleh para orang tua seperti naik ke pohon belimbing untuk memanen buahnya. Karena pada saat itu diri manusia diperintahkan untuk menggantikan pakaian jasmani dengan pakaian rohani agar menyatu menjadi satu kesatuan pakaian yang dipakai dalam kehidupan di dunia ini.

Namun perintah memanen buah ini adalah bukan sekedar memanjat dengan kemudahan, akan tetapi dalam kondisi yang tidak ideal karena posisi hujan dan licin.  Gambaran inilah yang menunjukkan sulitnya untuk menjalani kehidupan di dunia.  Diri manusia yang berhasil adalah diri yang memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat tentang kehidupan.  Pemahaman tentang kehidupan inilah digambarkan sebagai satu kesatuan antara jasmani dan rohani dalam bentuk pakaian kehidupan manusia.

Mencari Pakaian diri

Pakaian diri manusia dalam kehidupan di dunia ini bukanlah seperti yang digambarkan oleh mata manusia.  Ketika ini terjadi maka tidaklah aneh jika diri sekarang ini berlomba-lomba mencari pakaian yang bagus baik dengan menciptakan atau meniru gaya orang lain agar dikatakan sebagai golongannya.  Padahal ketika diri hanya berpikir seperti ini tidaklah mungkin menemukan pakaian yang pas untuk dipakai.

Budaya meniru pakaian orang lain agar diri dikatakan seorang yang beriman di lakukannya bahkan mungkin diri juga berpikir ketika melihat orang tidak memakai pakaian yang seperti digunakan adalah orang yang sesat dan bukan golongannya.  Ini terjadi karena diri malas untuk berpikir dan belajar membuka Buku Panduan.  Ketika diri berpikir demikian tak ubahnya diri hanya berpikir dari sisi jasmaniah saja.  

Terpenjaranya pikiran diri akibat pemahaman yang tak dikuasai maka pakaian adalah  hanya sekedar pakaian yang melekat di badan. si pemakai.  Padahal jika kita mau mengkaji lebih dalam dalam Buku dikatakan pakaian bukanlah sekedar sesederhana itu.  Melainkan sebagai bentuk baju "kebesaran" yang nantinya dipakai untuk menghadap Sang Pencipta.

Jadi apa sebetulnya makna dari pakaian itu?  Pakaian adalah sebagai penutup diri manusia yang berupa pemahaman yang mengekang atau menutupinya.  Maka ketika diri hanya memaknai seperti pemahaman umum yang ada sekarang ini maka hal yang ada sekarang ini adalah hal yang wajar.  Karena diri hanya berpikir secara jasmaniah/badaniah bahwa baju adalah yang menutup badan manusia. 

Maka baik buruknya berpakaian adalah dengan pantas/tidaknya pakaian itu di gunakan atau bahkan lebih menyedihkan jika pakaian diukur dari merk yang digunakan.  Bahkan tidak jarang terjadi diri kita memakai pakaian yang tertutup tapi tak mampu mempu menutup pikiran yang kotor dalam kehidupan manusia.

Pemahaman yang demikian tak ubahnya seperti tali kekang kuda yang menjadi pengekang pikiran diri manusia dalam memaknai pakaian.  Terlalu naif jika diri hanya meributkan masalah pakaian dengan pemahaman seperti ini. Dan jika orientasi pemahaman ini terjadi maka diri hanya fokus pada duniawi saja.  Perlu kiranya diri untuk mendekonstruksi pemahaman yang ada dengan belajar dan mencari makna pakaian yang pas untuk kehidupan diri kita.

Puasa Sarana Mencari Pakaian

Bukan masalah harga/bahan/mode/merk dari pakaian yang pas untuk diri kita.  Namun pakaian adalah sesuatu yang besar yang harus diperjuangkan oleh diri manusia agar pantas digunakan untuk menghadap pada Sang Pencipta.  Ketika diri menghadap Sang Pencipta tidak pas dengan pakaian yang digunakan pastilah diri kita ditolak untuk masuk ke RumahNYA.  

Maka ketika diri sekarang hanya meributkan pakaian "kebesaran dunia" yang dianggap sebagai hijab (penutup) namun belum mampu menutupi pikiran/perasan yang kotor maka ibaratnya diri masih telanjang.  Inilah yang sering di ingatkan oleh para orang tua kita bahwa banyak diri manusia yang berpakaian namun masih telanjang dalam kesehariannya.  Sebuah kerugian akibat diri malas untuk mencari makna dari pakaian itu.

Mencari hakekat pakaian yang sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.  Hal ini diibaratkan naik pohon dalam kondisi basah dan licin.  Sehingga merupakan sesuatu yang sulit untuk mencari makna pakaian itu sendiri.  Namun bukan hal yang mustahil dapat dicapai jika diri mampu dan memiliki keyakinan bahwa pakaian itu adalah hal yang dapat dicari dan di dapatkan.

Pencarian pakaian yang pantas dipakai adalah dengan melalui lima (lima sisi buah belimbing) proses yang harus dijalani dan dijadikan pemahaman dalam kehidupan diri kita.  Proses itu dimulai dengan dekonstruksi makna atas pakaian itu yang didasarkan atas keyakinan dan kebersaksian diri atas kebenaran yang sesungguhnya.  Dan puasa merupakan salah satu proses untuk membersihkan diri agar diri memiliki pakaian yang selalu terjaga kesuciannya. 

Pemahaman dan keyakinan inilah yang menjadi dasar diri sebagai media untuk mencari makna yang sesungguhnya.  Karena pakaian adalah sesuatu yang pantas digunakan dan selalu dalam kondisi suci untuk menghadap Sang Pencipta.  Pemahaman baru tentang pakaian ini akan melahirkan dan menjaga motivasi positif dalam ujud nyala lilin sehingga mampu membuka cakrawala dan memperdalam samudra pemahaman serta akhirnya  menjadikan diri tumbuh dalam kedewasaan dan kesempurnaan berpikir.  

Hanya sekedar humor sufi.  Tidak ada yang membuat tertawa, namun jika tulisan ini salah dan beda pemahaman inilah yang pantas untuk ditertawakan.

Terima kasih

Magelang, 16/4/2022

Salam KAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun