Banyak ragam dan profesi yang diciptakan oleh Sang Pencipta terhadap diri kita sebagai manusia. Â Keragaman itu merupakan sebuah bentuk keseimbangan dalam kehidupan. Â Dan tidak ada manusia yang diciptakan dalam kondisi hina (sejelek-jeleknya manusia), karena setiap kekurangan adalah sebagai bentuk kelebihan yang lain dan dimiliki dibandingkan dengan orang yang kelebihan.
Memang ada manusia yang merasa dirinya dilahirkan dengan tidak cantik/tampan atau memiliki posisi/kedudukan yang terhormat dan kondisi yang demikian bukan berarti dirinya tidak akan lebih baik dibandingkan mereka yang cantik/tampan/memiliki posisi/kedudukan.
Namun sering kali diri kita akan memiliki keinginan untuk melebihi dari garis yang ada dengan melakukan sesuatu yang diluar hal yang wajar. Â Karena manusia sudah terpenjara dalam "ingin" yang menguasai dalam kehidupan dirinya. Â Dan pengetahuan yang ada dan ditemukan oleh manusia selalu berkembang bahkan selalu berusaha agar dapat memenuhi "keinginan" yang tidak wajar dan muncul dari diri manusia itu sendiri.
Ketika ini terjadi maka sebetulnya diri kita sudah lepas dari "kepastian" yang diberikan oleh Sang Pencipta. Â Karena manusia diciptakan sesuai dengan kadar masing-masing agar kehidupan ini dapat hidup teratur dalam keseimbangan yang sejati. Â Dan sering kali diri lepas/tidak menerima "kepastian" karena diri terbiasa dengan pemahaman yang di penjara oleh hasrat dan ambisi.
Kehidupan yang penuh dengan kesadaran akan dapat mengekang keinginan manusia yang terpenjara oleh hasrat dan ambisi diri yang berlebih. Â Walaupun sebetulnya hasrat dan ambisi merupakan fitrah setiap diri manusia dalam kehidupan. Â Dan ketika tidak dapat menemukan pegangan pemahaman yang "baik" maka diri akan menjadi terpenjara.
Hasrat dan ambisi bukanlah hal yang buruk bagi setiap diri manusia karena itu merupakan hal yang wajib untuk "dikelola" bukan dimatikan. Â Dan ketika diri mampu mengelola dengan baik maka itulah diri yang sesungguhnya. Â Namun ketika diri tak mampu mengelola dan menjadikan "tuhan" dalam kehidupan maka diri akan lepas dari titik keseimbangan yang benar.
Tidak semua diri manusia diberi pemahaman yang sama derajatnya. Namun ini tidak berarti mengurangi kemauan untuk mencari kebenaran yang seharusnya untuk dijadikan bekal dalam kehidupan manusia. Â Dan tidak semua manusia mampu mencari dan menemukan diri untuk menjadi sempurna dan selalu menuntut yang terbaik untuk hidupnya karena itu perlu selalu belajar dan memaksimalkan "kerja diri" sebagai manusia yang sesungguhnya.
Sebuah cerita atau fenomena yang sekarang masih hangat menjadi bentuk instropeksi diri kita. Dikisahkan adanya ahli kecantikan yang menjadi perguncingan rekan-rekan profesi yang lain. Â Hal yang didiskusikan para rekan profesi adalah mengapa banyak orang yang ingin merubah penampilannya agar dirinya merasa "lebih" dibandingkan dengan kondisi ini. Â Dan setiap diri manusia yang datangpun bukan dari kalangan orang yang lemah ekonomi tetapi kalangan orang yang berduit. Â
Bukan masalah kecemburuan ataupun masalah materi yang diperdebatkan oleh para rekan-rekannya, melainkan masalah esensi dalam kehidupan diri manusia. Â Dan mungkin ibaratnya profesi yang baru ini merupakan sebuah "panjang tangan" atau sebuah bentuk "Pengingkaran" Sang Pencipta jika keinginan membantu pasien adalah untuk tujuan menyamai "berbangga" dengan output kerjanya.
Dan mungkin hal yang seperti ini sudah merupakan hal yang lumrah dan wajar untuk kondisi sekarang. Â Kewajaran hal yang demikian dikarenakan diri hanya fokus pada fisik diri agar kelihatan lebih menarik. Â Namun hal ini berbeda jika dikaitkan dengan "pengetahuan yang baik" akan menemukan pemahaman berbeda jika "kerja" nya untuk kesembuhan atau tujuan lain.
Ketika dikatakan sebagai bentuk panjang tangan dari Sang Pencipta adalah sebuah tugas yang mulai karena dirinya melakukan "kerja" karena membantu orang lain yang "sedang dalam kesulitan" karena sesuatu hal. Â Kerja yang dilakukan adalah dihubungkan dengan membantu kesembuhan orang yang baru sakit. Â Maka menjadikan orang lain lebih baik dari ketika dirinya sakit adalah sebuah perbuatan yang baik.
Dan dikatakan sebagai bentuk pengingkaran jika diri adalah dimulai dengan keinginan untuk bisa menjadikan orang lebih kelihatan menarik dibandikang dengan kondisi sebelumnya (yang dalam kondisi sehat). Â Karena pengetahuan yang dimiliki adalah seharusnya bertujuan untuk menjadikan orang yang sakit/lemah menjadi sehat/kuat dalam menjalani kehidupan. Dan Pengetahuan bukan untuk menjadikan orang melampaui batas yang sudah diberikan.
Pengingkaran ini adalah sebagai bentuk arogansi diri yang muncul dalam diri manusia.  Ketidakterimaan diri dengan kondisi yang diterima diri atau orang lain akan  memberikan motivasi untuk menembus batas diri dengan melupakan pengetahuan yang benar agar diri mampu memenuhi hasrat dan ambisinya.
Arogansi diri inilah yang menjadi Batas (penjara) pikir diri manusia serta mampu menguasai pikiran dan tindakan untuk mewujudkan keinginan hasrat dan ambisi yang diangankan. Â Apapun akan dilakukan agar diri mampu memenuhi hasrat dan ambisinya.
Ketika ini terjadi maka diri sudah menjadi "buta dan tuli" karena masuk dalam penjara tersebut. Â Bagaikan ruangan yang kedap suara dan terhalang dengan dinding yang menjadikan tak mampu ditembus oleh nasehat dan pemahaman yang lain.
Arogansi Membuat Buta dan Tuli Jiwa Manusia
Arogansi yang diri kita miliki selama ini ternyata memang sudah banyak digambarkan dalam cerita-cerita yang ada. Â Bahkan tidak jarang arogansi inilah yang membuat diri menjadi buta serta menjadikan diri terjerembak dalam kondisi yang hina. Â
Sejatinya diri manusia diciptakan adalah kondisi yang suci/baik. Â Namun adanya dua oposisi yang selalu membisiki dalam kehidupan sehari-hari dimana satu oposisi mengajak ke hal yang baik dan satu oposisi selalu lihai dalam strategi dalam mengajak ke hal yang tidak baik.
Kemenangan antara dua oposisi dalam mengajak diri untuk berbuat adalah tergantung pada diri kita sendiri.  Dan diri manusia sudah diberikan  bekal agar dapat dimanfaatkan yaitu "Indra dan rumah diri".  Oposisi mana yang menang adalah tergantung pada hal tersebut.
Seperti banyak jejak jejak cerita yang kita pahami bahwa perang yang terbesar dalam kehidupan manusia adalah "perang dalam diri" manusia itu sendiri. Â Semakin diri jauh dari "pemahaman" yang benar maka oposisi yang mengajak ke hal yang tidak baik akan selalu berjaya. Â Sehingga diri menjadi orang yang lepas dari jalan kebeneran.
Lepasnya diri jalan kebenaran karena diri merasa mampu mewujudkan hasrat dan ambisi. Â Padahal diri kita dalam kondisi seperti ini adalah hidup dalam jiwa yang buta dan hidup dalam penjara impian fantasi diri. Â Hal ini berdampak kehidupan diri kita adalah hidup yang penuh kesombongan dan semu.
Diri yang seperti ini selalu tergabung dalam kelompok pribadi orang yang sama dalam pergaulannya. Â Karena kelompok ini selalu memiliki semboyan hidup " semua orang harus paham bahwa betapa istimewa dan tinggi/populer hidupku". Â Semboyan ini sebetulnya merupakan bentuk kelemahan yang diakuinya sendiri akibat diri tidak memiliki keseimbangan dalam kehidupan.
Penjara ambisi dan popularitas merupakan bentukan diri yang diakibatkan diri tidak pernah memiliki pemahaman "yang benar" tentang hidup yang merupakan sebuah perjalanan. Â Sehingga mengakibatkan diri lepas dari penerang dan mengakibatkan jatuh terperosok dalam jurang atau tersesat dalam kegelapan.
Secara kapasitas "diri yang terpenjara" ini sebenarnya memiliki kapasitas kecil karena hanya satu sisi saja. Â Padahal kapasitas diri yang seharusnya dimiliki adalah dua sisi. Â Kebanggaan akan penjara menyebabkan diri merasa unggul karena berada di atas satu posisi sehingga merasa dirinya di atas dan paling populer dibandingkan dengan orang lain. Â Tetapi sebenarnya adalah meringkuk dalam lubang yang rendah dan tak terlihat di mata diri manusia yang seimbang.
Diri manusia yang lain akan selalu seimbang artinya tak pernah merasa dirinya merasa hebat bahkan merasa bodoh karena selalu dalam titik keseimbangan. Â Karena diri manusia yang dalam kondisi ini adalah mereka yang selalu berusaha menambah kapasitas pemahaman dan popularitas yang lebih tinggi akibat selalu mempraktekkan hidup yang sederhana dan "nrima ing pandum".
Melawan Arogansi
Diri yang memiliki kesadaran adalah modal utama untuk menghilangkan sifat arogansi yang selalu membawa pada tujuan hidup yang penuh hasrat dan ambisi ini. Â Karena kesadaran adalah bukan datang dengan tiba-tiba melainkan harus dengan sebuah perjuangan dan perjalanan.
Kesadaran akan datang ketika diri dihantam dengan kekeringan dan kesendirian yang dalam. Â Ibarat sebagai sebuah perjalanan kehidupan dimana diri dalam kondisi di tengah gurun pasir yang tidak ada bekal dan tidak memiliki arah untuk dituju.
Ketika ini terjadi maka bukan sifat tergesa-gesa dan menuruti insting yang di turuti.  Melainkan harus berdiam sejenak atau merenung dengan memperhatikan hakekat dan kondisi dirinya yang sedang di alami.  Melihat bekal dan kondisi alam  yang ada di sekitar adalah hal utama yang harus dipelajari untuk mencari jalan keluar.
Diam dan melihat serta merenung adalah pintu dalam penyucian "rumah diri". Â Karena dalam rumah itu adalah tempat bergabungnya "ilmu dan alam" yang menjadikan diri sadar akan fitrah dan hakekat sebagai manusia yang sesungguhnya. Â
Diam dan mencari dengan belajar melalui pintu rumah diri adalah hakekat diri mulai menemukan pengetahuan yang baru. Â Pengetahuan ini akan sejalan dengan ajaran yang sudah diberikan kepada "Beliau" Â manusia pilihan yang dipilih oleh Sang Pencipta.
Hanya sekedar humor. Â Jika salah maka itulah hal yang harus ditertawakan. Â jika benar maka langkah awal diri untuk mencari rumah diri yang sesungguhnya.
Semoga bermanfaat.
Magelang, 24/12/2021
Salam, KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H