Ketika diri kita tercermar... Wadah tempat kehidupan kita akan memberitahukan... Bahwa diri adalah emas murni atau logam yang hanya disepuh dengan emas.. Berbahagialah jika ini muncul dalam kesadaran
Ketika diri kita jernih... Wadah tempat kehidupan pasti selalu menjaga diri... Bahwa kita adalah masih dalam kondisi suci dan murni.. Berbahagialah jika ini terjadi
Hanya diri yang sadar paham akan ini... Karena wadah tidak  memiliki mulut untuk berbicara... Namun keberadaannya selalu menjaga diri... Agar selalu ingat dan sadar dalam posisi kehidupan kita.
KAS, Kesadaran, 25/11/2021
Banyak fenomena yang terjadi di dunia ini terjadi yang sebetulnya merupakan pelajaran bagi setiap diri manusia. Â Namun tidak banyak yang sadar bahwa pembelajaran ini terjadi karena ketidak tahuan atau kurangnya diri mampu menerima pemahaman yang berasal dari fenomena alam.
Pembelajaran dari alam yang bersifat alamiah biasanya hanya sebuah peristiwa yang kadang disertai oleh suara ataupun tanpa suara. Â Pembelajaran tersebut adalah bentuk dari sebuah pertanyaan untuk kita dan dirangkai dengan jawaban itu sendiri. Misalnya diri kita menanam biji sayuran ke dalam tanah dan dalam waktu tertentu biji tersebut tumbuh menjadi tunas. Â Maka itu adalah sebuah pertanyaan apakah biji yang ditanam itu baik, jawabannya adalah baik (namun tanpa ada suara/huruf/kata yang menjelaskan) dan dibuktikan bahwa biji tersebut tumbuh menjadi tunas pohon.
Demikian juga sebaliknya jika yang kita tanam itu adalah biji yang rusak dan tidak mampu tumbuh menjadi tunas pohon. Itu adalah sebuah penolakan sekaligus jawaban dari biji tersebut. Â Penolakan ini berarti bahwa biji itu sebetulnya mengisyaratkan bahwa dirinya bukan biji yang baik untuk ditanam dan tidak tumbuh adalah jawaban dari perilaku diri manusia yang tidak memiliki pengetahuan dalam menanam.
Memang banyak dari diri kita dalam kehidupan selalu menginginkan jawaban langsung berupa tulisan ataupun kata yang terungkap. Keinginan demikian karena hanya mengikuti pemahaman yang selama ini selalu memenjara diri manusia. Â Dan ibarat diri sudah terdoktrin dengan pemahaman ini maka lupa bahwa sebetulnya jawaban itu tidak harus disampaikan secara lisan atau huruf.
Diri kita yang sudah terbiasa dengan hal ini dikarenakan kurang komplitnya diri dalam menggunakan indra pemberian Sang Pencipta. Ketidakseimbangan dalam penggunaan indra dalam mengolah informasi mengkibatkan kebiasan diri keliru di dalam menerima atau memaknai sebuah peristiwa. Â Sehingga diri selalu "mendewakan" jawaban lisan atau tulisan sebagai bentuk jawaban dari pertanyaannya.
Sebuah contoh ada seorang sufi yang membaca surat sebanyak tiga kali yang isinya sama karena dari pengirim yang sama pula. Â Sang sufi tidak menulis dan membalas surat sebagai jawaban pertanyaan yang diberikan raja. Â Ketidak tundukan dirinya kepada raja dengan tidak menulis atau menjawab surat tersebut bukan berarti dirinya tidak menjawab surat tersebut.Â
Sang Sufi tidak membalas surat tersebut karena merasa bukanlah penting jawaban yang diberikan akan mempengaruhi kebijakan raja itu. Â Karena diberi jawaban ataupun tidak diberi jawaban pastilah sang raja akan melakukan hal yang sama. Â Maka diamnya sufi bukan tidak menjawab akan tetapi adalah penolakan atas surat tersebut dengan tidak memberikan jawaban secara tertulis.
Ketidak tahuan atau ketidakmampuan raja menerima isyarat dari sang sufi dengan tidak memberikan jawaban atas surat tersebut  menjadikan emosi yang memuncak.  Dengan kata lain ketidak tahuan memahami jawaban yang selaras dengan pertanyaan  karena tidak sesuai dengan keinginannya maka dominasi nafsu yang menjadikan diri laksana "dewa" mempengaruhi tindakan selanjutnya.
Ketika ini terjadi "setan" pun akan menampakkan kepada sang raja tindakan yang harus dilakukan kepada sang sufi yang dianggap tidak tunduk dan patuh kepada dirinya. Â Jika tindakan dilakukan atas bisikan tersebut maka perilaku raja ini melebihi perilaku diri sebagai manusia karena dalam bertindak diri tidak menunjukkan "kerja"nya diri sebagai makhluk yang sempurna.
Kerja diri manusia yang sempurna adalah merupakan kerjanya indra secara komprehensip dan simultan yang ditopang hati/qolbu sebagai motor/as penggerak tiga indra yang dimiliki oleh manusia. Â Ketiga indra tersebut adalah kepala-rasa-perut. Â Ketika ketiga indra tidak digerakkan oleh hati maka tindakan diri manusia akan dipengaruhi oleh dominasi mana yang kuat. Akibatnya perilaku diri manusia yang demikian bukanlah cerminan dari pribadi makhluk yang sempurna.Â