Perilaku anak kecil yang seperti itu mungkin sudah merupakan strategi terakhir agar dirinya mampu mencapai keinginannya. Mungkin sebelumnya dirinya sudah melakukan segala upaya namun tidak pernah berhasil untuk mempengaruhi keyakinan anak yang memiliki roti tersebut. Â Maka langkah berteriak sekeras-kerasnya adalah langkah untuk menundukkannya.Â
Ketundukan diri anak kecil atas keinginan yang dimilikinya namun diri anak tidak memiliki roti tersebut adalah masalah awal yang terjadi pada dirinya.  Ketundukan yang didasarkan atas ego (sifat naluri) yang menguasai keingingannya harus terwujud maka logika dirinya akan melakukan hal-hal yang secara insting dilakukan oleh anak kecil dimulai dari meminta dan diakhiri dengan berteriak/menangis sekeras-kerasnya  karena hanya itu yang bisa dilakukan.
Namun ketika diri anak mampu mewujudkan keinginan dengan makan roti maka diri hanya sekedar makan dengan menikmati disaat pertama memakan roti dan selanjutnya kecewa karena tidak sesuai dengan impian (rasa roti). Â Diri anak tidak pernah bisa menikmati roti yang merupakan rejekinya dan membuangnya seperti melakukan perbuatan yang mubazir.
Perbuatan mengorbankan teman yang sedang menikmati roti (kehidupan) atas rejeki yang diterima adalah hal yang wajar. Maka dalam anak kecil sahabat bisa jadi merupakan sarana diri untuk dapat memuaskan ketundukan diri atas ego yang mendominasinya.
Perilaku anak yang demikian tidak pernah dirinya menikmati kehidupan dan tidak pernah merasakan kepuasan atau kebahagian yang dijalaninya. Â Karena pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki tidak pernah memberikan arah bagaimana diri bisa menikmati kehidupan di dunia ini.
Anak kecil dalam berteman
Peristiwa seperti ini  wajar jika dilakukan anak kecil, namun bagaimana jika ini diri kita (yang sudah dewasa/tua) melakukannya psti jwabannya adalah "memalukan".  Namun tidak sedikit diri kita menyadari bahwa perilaku kita seperti ini.
Hilangnya rasa malu tidak pernah terpikirkan karena diri sudah terbiasa melihat manusia lain melakukan hal yang seperti ini. Â Ketika keinginan yang dimiliki kuat dan diri tidak merasa yakin bisa mewujudkannya maka langkah teriak-teriak adalah langkah yang baik bahkan bisa juga teriak-teriaknya adalah bentuk pembunuhan karakter teman atau sahabat.
Ketidaksadaran diri melakukan hal ini karena merasa hal ini adalah pengetahuan yang benar dan berterima umum. Â Namun jika diri memiliki kesadaran maka tak ubahnya diri hanya dimakan usia atau umur namun logika diri masih setaraf anak balita.
Perilaku diri yang seperti balita ini diakibatkan diri tidak mampu memaksimalkan indra yang diberikan oleh sang Pencipta kepada setiap diri manusia (Indra manusia: Kepala, Rasa & Perut). Ketiga indra tersebut merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi pola kikir diri manusia dengan poros penggerak hati/kolbu). Â Kerja dari ketiga indra ini adalah keseimbangan bukan dominasi mana yang kuat.
Ketika terjadi dominasi  dari indra yang ada tersebut berarti diri kita adalah manusia yang kalah dalam berperang (perang terhadap diri sendiri).  Maka berakibat bahwa hidup kita akan tidak pernah mencapai titik keseimbangan kehidupan.  Hal ini berdampak hidup diri kita adalah hidup yang hanya memuja pada kebutuhan jasmani yang harus dikejar tanpa peduli dengan keseimbangan dengan diri kita, sahabat (manusia lain), dan alam semesta.