Setiap diri manusia pasti pernah merasakan sebuah rasa kekecewaan. Â Biasanya ketika diri merasakan kecewa maka seringkali yang dilakukan adalah dengan menyalahkan pihak lain. Â Padahal jika diri kita memiliki kesadaran mungkin rasa ini adalah sebuah hasil dari tindakan kita sendiri akibat dari sesuatu yang memang seharusnya tidak kita terima. Â Karena rasa kecewa muncul dari sebuah keinginan atau harapan yang diri miliki terhadap sesuatu atau pihak lain dan ternyata tidak terpenuhi atau tercapai.
Topik ini muncul ketika diri melihat adanya seorang yang membawa map (mungkin berisi sebuah proposal sumbangan) yang mengetuk pintu rumah namun tidak dibuka dan pemilik rumah ada serta tidak dalam kondisi tidur. Â Rasa jengkel menyelimuti diri tamu yang tidak dibukakan pintu dengan berkata sumpah serapah dan perasaan kecewa/marah kepada pemilik rumah tersebut.Â
Perilaku yang demikian mungkin bagi diri kita adalah hal yang wajar dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Â Rasa kecewa karena keinginan diri yang disertai harapan tertentu ternyata tidak tercapai. Â Dan mungkin juga ini adalah hal yang biasa kita lakukan jika kita merasa dikecewakan atau selalu dipersalahkan (Humor sufi: Diri yang selalu dipersalahkan). Â
Melihat peristiwa tersebut kemudian muncul pertanyaan dalam diri, apakah betul ini adalah salah dari sang pemilik rumah tersebut? Dan ada pelajaran apa yang bisa diri ambil dari peristiwa tersebut?
Menyalahkan orang lain
Menyalahkan orang lain adalah sebuah hal yang biasa diri manusia lakukan walaupun sebetulnya diri kita sendiri yang salah. Â Namun akibat dari diri yang tidak mau jatuh kehormatannya atau ingin selamat dari "hukuman" maka menyalahkan orang lain adalah alternatif yang tepat sebagai strategi dalam kehidupan.Â
Kebiasaan menyalahkan orang lain sekarang ini sudah seperti hal yang wajar diri kita lakukan bahkan ini memang realita dari pepatah mengatakan "kuman di seberang lautan nampak dan gajah di pelupuk mata tak tampak". Â Kebiasaan yang demikian ini bagaikan sebuah lempar batu sembunyi tangan dimana diri yang melakukan tapi kesalahan untuk orang lain sebagai bentuk untuk menjatuhkannya. Â
Sebuah ironi budaya yang sekarang ini banyak berkembang di lingkungan diri kita. Â Menyalahkan orang lain adalah sebuah hal yang wajar dan biasa ditemui. Â Dan ketika itu terjadi banyak diri kita yang hanya diam dan membisu. Â Diamnya diri melihat perilaku ironi budaya yang demikian bukan karena diri tidak tahu mana yang salah atau benar namun kebanyakan alasan yang digunakan adalah karena diri takut kehilangan materi. Â Hal ini dikarenakan diri terpenjara dalam pemahaman yang keliru akibat diri lupa akan tugas dalam kehidupan di dunia ini. Â
Ketakutan akibat diamnya diri karena fenomena terjadi yang berdampak pada menderitanya orang yang tidak salah apakah bukan sebuah "kekeliruan diri" dalam perjalanan kehidupan di dunia. Â Diam diri adalah bagian dari sebuah kebohongan atas kesalahan yang ada di depan mata kita, dan jika ini berlanjut maka akan disusul dengan kebohongan-kebohongan yang baru. Â Dan diamnya diri adalah sebagai bentuk kezaliman diri terhadap orang lain.
Maka tidak salah jika sekarang mungkin dapat dikatakan bahwa diri manusia hidup dalam dunia kebohongan atau dunia sandiwara. Â Pelajaran bermain sandiwara yang di dapat dari pelajaran langsung dari realita kehidupan menjadikan diri sebagai aktor yang piawai dalam bermain sinetron kehidupan. Â Sebuah drama yang menghiasi hidup kita menjadikan diri terpenjara dalam harapan-harapan yang hanya merupakan impian atau angan diri.
Hal ini mungkin sebuah refleksi dari cerita di atas bagaimana orang tersebut karena harapannya ingin ditemui oleh pemilik rumah agar bisa menyampaikan harapan dan maksud kedatangannya namun ditolak oleh pemilik rumah. Â Ketika ketidaksadaran memenjara maka menyalahkan dan mengumpat kepada orang lain adalah hal yang wajar karena diri terlena oleh ego yang menguasai kehidupan diri.
Menyalahkan diri sendiri
Menyalahkan diri sendiri bukan berarti diri kita kalah dalam berperang.  Menyalahkan diri adalah sebagai sebuah bentuk kesadaran untuk selalu waspada akan jalan kehidupan.  Menyalahkan diri juga sebagai bentuk menaklukkan diri dan kemenangan atas perang besar yang terjadi pada diri kita.  Karena diri kita mampu mengalahkan ego  sehingga memiliki kesadaran bahwa ketidak beruntungan diri karena ada sesuatu yang lebih bermakna akan kita terima.
Kesadaran diri untuk mengatakan bahwa kesalahan pada diri kita adalah sebuah hal yang langka. Â Hanya orang yang sadar dan diberi petunjuk adalah orang yang berani mengatakan itu. Â Menyalahkan diri sendiri bukanlah sebuah bentuk penghiburan diri atas kekecewaan atau kegagalan yang menimpa. Â Melainkan sebuah perbuatan yang "gentle" dan bukan malah menurunkan derajat dirinya. Â
Kekecewaan atas harapan atau ketidak beruntungan diri tersebut adalah sebuah jalan yang harus dilalui untuk menjadikan diri tidak tersesat dalam perjalanan. Â Hal ini berarti kesadaran ini akan membawa pada perilaku berserah diri kepada Sang Pencipta atas kekecewaan atau ketidak beruntungan yang dialaminya merupakan langkah terjal yang harus dilaluinya. Terjalnya jalan kehidupan dengan bentuk kekecewaan ini bukan sebagai penghalang diri untuk tetap mendaki namun sebagai sebuah stage yang harus dilalui karena akan menaikkan diri kita.
Ketika kesadaran ini muncul maka akan diikuti dengan instropeksi dan usaha diri agar tidak lagi mengalami kekecewaan. Â Proses ini diikuti dengan baca dan belajar yang lebih mendalam agar menemukan cara atau pemahaman pengetahuan yang baru terhadap kehidupannya.
Refleksi dari tidak diterimanya oleh pemilik rumah, ketika kesadaran sang tamu muncul akan memberikan sebuah pemahaman baru bagaimana dirinya memiliki strategi dalam adab bertamu dan waktu yang pas untuk bisa bertemu dengan pemilik rumah. Â Ketika kesadaran ini muncul maka merupakan bentuk instropeksi dan berserah diri atas kejadian ditolaknya dirinya oleh sang tuan rumah.
Kekecewaan output yang salah dari kerja diri
Orang yang pendek pikir akan selalu berusaha agar output yang dihasilkan adalah hal yang memuaskan dan sesuai dengan harapan. Â Namun ketika output itu tidak dapat dicapai pasti akan timbul kekecewaan. Â Ketika diri berpikiran pendek hanya akan bermimpi tentang kebaikan saja yang diterima dan sulit untuk menerima yang lain.
Berbeda dengan orang yang panjang pikir, mereka selalu orientasi untuk kebaikan jangka panjang. Â Maka ketika menemukan sebuah kekecewaan bukan emosi sesaat yang keluar melainkan muncul sebuah pertanyaan untuk diri mengapa dirinya dikecewakan. Â Kekecewaan yang diterima mungkin salah diri kita akibat dari "kerja diri" yang tidak sesuai dengan harapan. Â
Ibarat diri berdoa kepada Sang Pencipta maka terdapat dua alternatif yaitu dikabulkan atau tidak diterima doanya. Â Tidak diterimanya doa diri kita mungkin Sang Pencipta memiliki kehendak lain atas doa kita. Â Jika doa kita dikabulkan mungkin akan menjadi ketidak baikan akan menimpa kita, maka doa kita akan di tolak oleh sang kuasa.
Ataupun berdoa itu ibarat mengetuk sebuah pintu rumah. Â Dibukanya pintu rumah adalah hak pemilik rumah yang didatanginya. Kita hanya mengetuk atau memintanya. Â Maka janganlah diri kita besar angan atau melampaui batas dan jika ini terjadi pasti kekecewaan adalah output kerja diri yang salah.
Hanya sekedar humor sufi. Â Jika salah mungkin butuh perenungan lagi.
Terima kasih
Magelang. 9/11/2021
KAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H