Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Mengapa Selalu Diri yang Dipersalahkan?

3 November 2021   20:45 Diperbarui: 3 November 2021   21:37 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Jangan hilang semua harapan, Janganlah hilang jiwa yang ada, Karena harapan dan jiwa adalah kompas hidup manusia, Untuk kehidupan didunia yang sementara" (KAS, 3/11/2021, ASA)

Sebuah bait syair sebagai pembuka untuk tulisan ini, karena diri sadar banyak manusia yang selalu hidupnya merasakan hal yang sama.  Yaitu selalu dipersalahkan baik dalam kondisi membawa kebenaran maupun memang dalam kondisi yang keliru dalam perjalanannya.  Ketika selalu dipersalahkan dalam aktivitasnya biasanya banyak yang putus asa karena merasa sudah terpenjara dan akan mengakibatkan hidup dalam kondisi kesusahan atau kesulitan.

Sebuah pelajaran yang berasal dari alam sekeliling diri kita ternyata sudah memberikan pemahaman atau pengetahuan tentang kondisi yang selalu dipersalahkan.  Dan pelajaran ini diri terima ketika melihat teman yang merupakan seorang petani membunuh ular yang cantik di persawahannya.

Sesampai dirumah diri masih terbayang dengan kondisi ular yang mati tersebut.  Pertanyaan pertama yang muncul sebagai bahan untuk perenungan adalah  mengapa ular tersebut mati? padahal dirinya tak pernah menyakiti petani dan bahkan membantu petani tersebut dalam menjaga area persawahannya.

Dan pertanyaan kedua, mengapa ular itu mati dalam kondisi yang tidak terhormat? Karena matinya adalah dengan dipukul atau ditebas dengan golok petani tersebut.  Dan dalam pikiran diri muncul bukankah ular tersebut sudah membantu dalam menjaga tanamannya dari gangguan tikus-tikus liar. 

Serta pertanyaan yang ketiga, mengapa diri petani tak memiliki rasa sesal atas terbunuhnya ular tersebut dan malah bangga sudah bisa membunuh ular yang besar?  Mengapa bisa demikian diri petani yang bisa berlaku seperti ini?

Ketiga pertanyaan dasar yang menjadi bahan renungan ini jika kita tilik basic root bahwa perilaku diri petani tersebut memang sebuah refleksi diri sebagian diri kita.  Namun ketika diri kaji mendalam makna yang dapat diambil dari peristiwa tersebut sebagai pelajaran dari alam atas kehidupan diri kita akan memiliki banyak makna yang tersirat atas pribadi petani tersebut. 

Manusia layaknya petani

Sebagai seorang petani terlebih adalah petani tradisional adalah orang yang memiliki ketulusan di dalam bekerja atau beraktivitas dalam kehidupannya.  Jika diri bayangkan seorang petani tidak pernah berpikir untung atau rugi di dalam bekerja sehari-hari.  Bekerja karena dirinya dituntut untuk memaksimalkan lahan yang menganggur (mengolah alam) dengan tujuan adalah untuk keseimbangan kehidupan.

Tidak pernah kita mendengar jeritan petani, jika adapun mungkin itu bagian dari sandiwara aktor dibalik protesnya seorang petani.  Diri mereka menjalani kehidupan dengan alami tanpa sentuhan ilmiah karena merasa hasil yang alami adalah hasil yang terbaik dan akan memberikan kepuasan yang maksimal.

Namun adakalanya seorang petani mulai mengenal sentuhan ilmiah dalam mengerjakannya.  Mereka hanya berpikir pintas bahwa pekerjaan akan cepat selesai dan menghasilkan yang banyak.  Akan tetapi ketika ini dipakai bukan keuntungan yang diperolehnya melainkan "kebuntungan" atas panen yang didapat.  Bahkan dalam jangka panjang alam pun akan mengalami kerusakan.

Ketika sentuhan ilmiah dan meninggalkan sifat ke alamiahan sebetulnya adalah jalan menuju ketidakseimbangan antara kehidupan diri petani dengan alam.  Sifat ketulusan dalam bekerja akan berganti dengan sifat self interest yang hanya memaksa sawah untuk bekerja maksimal dan menghasilkan panen yang banyak.  

Bergesernya nafas kehidupan petani dari alamiah menjadi ilmiah ini secara logika rasional mungkin sebuah hal yang wajar dan merupakan tuntutan agar diri tidak dikatakan "telme (telat mikir)".  Dan mungkin ini sudah menjadi fenomena yang terjadi pada pribadi petani sekarang ini.

Maka perenungan diri untuk menjadi petani yang menjaga keseimbangan adalah petani yang memang harus mengkombinasikan antara hal yang alamiah namun tidak lupa selalu belajar agar bisa memilih pengetahuan ilmiah mana yang bisa digunakan untuk kehidupannya.

Keseimbangan inilah yang menjadikan diri petani sebagai seorang petani yang profesional dan bukan petani yang berprestasi.  Karena secara umum bahwa seorang petani dalam bekerja memang menginginkan keuntungan namun jika gagal panen dirinya masih bisa tersenyum dari hasil yang diterimanya.  

Jika diri petani tidak dapat menjaga keseimbangan maka aktivitas bertani akan menjadikan kerusakan alam semesta dan mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan antara manusia dan alam.  Hal ini bukan berarti menyalahkan kondisi diri kita sekarang ini melainkan mengajak untuk merenung yang dimulai dengan baca dan belajar atas segala hal yang menyangkut diri dan alam semesta serta dengan hadirnya Sang Pencipta di sekitar kita.

Cerita petani dan ular adalah simbul dari ungkapan mengapa diri selalu dipersalahkan.  Kejadian dalam cerita tadi yang bercerita tentang seorang petani yang membunuh ular adalah ungkapan ketika diri kita selalu dipersalahkan.  Bisa jadi petaninya yang salah atau ularnya yang salah dan mungkin juga keduanya adalah pihak yang salah.

Makna pertama jika manusia yang salah

Makna yang tertangkap jika diri manusia yang salah adalah ibarat bahwa manusia adalah penguasa maka posisi membunuh ular (bawahan) tersebut adalah kesalahan darinya.  Mengapa manusia bisa dipersalahkan atas membunuh ular tersebut?

Tindakan membunuh ini mungkin bagi manusia adalah bentuk pertahanan diri dari ancaman atas datangnya sang ular.  Kedatangan sang ular yang mungkin tidak sengaja berpapasan itulah yang merasa bahwa ular akan mengancam keselamatannya  sehingga dirinya akan melakukan pendek dalam berpikir dan hanya mementingkan egonya saja agar dirinya selalu selamat.  

Ular yang datang walaupun tidak memiliki niat keburukan sedikitpun akan tetapi karena bertemu dengan manusia yang merasa akan mengancam keselamatan maka pasti akan dibunuhnya.  Pembunuhan ular inipun tidak diikuti dengan perasaan menyesal sedikitpun walaupun sebetulnya ular sudah membantunya menjaga sawahnya.

Kejadian manusia terhadap ular ini pun sebagai sebuah tamzil dalam kehidupan sekarang ini baik diri sebagai petani, masyarakat, pemerintah, ataupun perusahaan.  Sebuah ironi tindakan yang membuktikan bahwa memang diri manusia adalah makhluk yang bertindak melampaui batas.

Dikatakan melampaui batas karena manusia tidak pernah mau mempertimbangkan hal lain selain kepentingan sendiri. Kebalikannya jika manusia mampu memaksimalkan indra yang dimiliki dan hati sebagai as/motor penggerak maka diri manusia akan terbiasa berpiki panjang dalam setiap tindakan.  

Makna yang kedua jika diri ular yang dipersalahkan  

Ular ibarat adalah bawahan atau makhluk yang dipekerjakan.  Matinya dirinya karena bertemu dengan manusia.  Pertemuan yang tidak sengaja inilah menyebabkan dirinya dibunuh.  Ketidaktepatan lingkungan dan ketepatan waktu yang menjadikan dirinya bertemu dengan manusia sebagai penyebab dirinya dibunuh.

Manusia tidak berpikir apakah dirinya berjasa atau tidak, tetapi karena hal yang unpridictible inilah menyebabkan diri mengalami peristiwa yang merenggut nyawanya.  Kehadirannya ternyata mengancam eksistensi manusia walaupun itu hanya sebuah persepsi manusia yang ditemui dan mungkin realitanya jika manusia tidak ada "bisikan" mungkin ularpun tidak akan dibunuhnya.

Bisikan ini bisa sangat kuat mempengaruhi jika diri manusia tidak memiliki keyakinan dalam hidupnya.  Karena hidupnya memang bisa kuat karena bisikan itu.

Kejadian yang menimpa ular ini sebagai sebuah tamzil diri apabila sebagai sebuah bawahan maka harus selalu siap di bunuh oleh atasan jika diri kita dianggap mengancam eksistensinya.   Kebaikan diri kita tidak ada nilainya jika bisikan lebih kuat mempengaruhi pikiran sang pemimpin.   Ketidakpunyaan prinsip dalam kehidupan karena diri tidak pernah mampu menemukan hakekat diri. 

Maka sebagai seorang pemimpin seharusnya diri siap dengan hal-hal yang unpredicitible dan bukannya malah membunuh ular yang tidak berdosa.  Kesiapan hidup inilah yang harus dimiliki manusia agar mampu berjalan lurus dan mampu menemukan jati dirinya.

Realita kondisi sekarang memang banyak diri ingin dan merasa bisa menjadi pemimpin yang baik.  Namun realitanya setelah duduk dikursi yang empuk lupa akan tugas diri sebagai manusia yang baik.

Makna yang ketiga kedua belah pihak dipersalahkan

Manusia dan ular memang tidak memiliki bahasa yang sama. Namun keduanya memiliki naluri dan nurani yang bisa menggantikan peran dan komunikasi bahasa.  Ketika dua hal ini bisa seimbang maka peristiwa bunuh membunuh tidak akan terjadi.  Akan tetapi manakala dua belah pihak tidak memiliki ketidakseimbangan kehidupan maka pasti terjadi peristiwa tersebut.

Keseimbangan indra (yang merupakan manifestasi dari pikir rasa dan perut) inilah yang memunculkan istilah komunikasi dan rasa saling diantara mereka. Dan inilah sebetulnya kunci keseimbangan kehidupan di dunia atau di sebuah organisasi.  Ketika ini muncul maka pasti akan menjadi sebuah tempat yang teduh dan nyaman (gemah ripah loh jinawi).

Karena manusia butuh ular dan ular pun juga butuh manusia.  Demikian juga dalam organisasi seorang pemimpin butuh bawahan dan seorang bawahan butuh pimpinan.  Namun manakala ego sudah merasuki keduanya maka rasa saling akan hilang. Sebuah keruggian yang besar bagi organisasi.

Bawahan yang jelek bukan berarti mereka tidak memiliki prestasi dan bawahan yang bagus/disayang bukan berarti tidak memiliki kekurangan.  Menyeimbangkan keduanya adalah tugas dari pimpinan.

Sekelumit pelajaran dari alam antara petani dan ular.   Semoga bisa menjadi instropeksi dan bahan renungan diri karena setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini adalah seorang pemimpin.

Terima kasih.

Magelang, 3/11/2021

KAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun