Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Tuluskah Kita Bekerja?

31 Oktober 2021   22:25 Diperbarui: 31 Oktober 2021   23:55 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebuah cerita yang terjadi ini sebagai renungan tentang kehidupan diri sehari hari dalam aktivitas hidup.  Cerita ini adalah sebuah kejadian yang mungkin sering kita lihat dalam kehidupan namun jarang dijadikan sebuah renungan yang mendalam untuk contoh dalam hidup.  Kelupaan diri dalam melihat fenomena dan menerjemahkan "bacaan" dari alam atau memang diri bodoh karena tidak peka dengan bacaan yang diberikan oleh Sang Pencipta melalui alam ini.

Kejadian siang hari tersebut masih tersirat dalam benak diri sehingga di depan laptop menjadikan ide untuk menulis makna atau pelajaran dari kejadian lalat yang terperangkap banjir itu.  Cerita  tentang sebuah lalat yang terperangkap di dalam makanan yang larut di banjir sungai dekat rumah.  Diri melihat bagaimana lalat masih asyik menikmati makanan yang ada namun mungkin lupa bahwa dirinya terperangkap dalam bahaya.  

Makna yang dapat di dapat dari hal tersebut setelah dicermati secara mendalam tak ada ubahnya dengan perilaku diri sebagai manusia yang sangat terlena dengan "makanan" walaupun sebetulnya ada sesuatu bahaya yang mengancam.  Mengapa demikian? Karena diri berpikir bahwa dalam hidup kita aktivitas kehidupan mengharuskan untuk selalu waspada dengan apa yang terjadi. Namun karena ketamakan atau ego diri yang mendalam menjadi lupa pada kondisi diri manusia sesungguhnya.

Ego membuat diri buta

Ketika diri sudah terpenjara dalam ego maka aktivitas dalam kehidupan sehari-hari adalah memiliki tujuan untuk self interest.  Bahkan dalam bekerja pun diri hanya untuk mementingkan kepentingan sendiri.  Apapun akan dilakukan agar self interestnya terpenuhi.

Diri yang terjebak dalam self interest ini mengakibatkan diri lupa untuk "baca dan belajar".  Artinya memang mungkin mereka secara logika rasional diri selalu membaca dan belajar namun yang dibaca adalah sesuatu pemahaman agar dirinya dapat mencapai keinginannya sendiri.  Sehingga lupa akan keinginan atau kepentingan orang lain yang lebih banyak membutuhkan hasil dari pemahaman atas segala sesuatu yang dibaca.

Hal ini berdampak diri menjadi "orang buta" yang hidup ditengah terangnya kehidupan di dunia ini.  Mengapa demikian? karena diri kita yang terpenjara dalam ego diri walaupun diri kita sebetulnya adalah orang yang berkuasa namun ibarat diri hidup seperti katak dalam tempurung.

Dikatakan hidup seperti katak dalam tempurung karena kehidupan kita akan selalu memiliki keyakinan diri bahwa apa yang diusahakan adalah karena diri kita dan semua orang harus tahu bahwa posisi dan keberadaan diri kita dalam kehidupan selama ini.  Dan orang lain tidak akan bisa menyamai atau tidak bisa melakukan semua aktivitas kehidupan akibat keberadaan diri ini.

Hal ini sebetulnya diri secara hakekat menyebutkan kelemahan diri kita sendiri namun tidak pernah menyadarinya.  Sehingga sebetulnya diri kita menjatuhkan posisi dan situasi diri di mata orang lain bahkan di mata Sang Pencipta.  Perilaku diri yang demikian karena diri memiliki kapasitas kecil namun selalu membesar-besarkan dan menunjukkan bahwa diri kita adalah orang yang berkapasitas besar ketika hendak berhubungan atau berhadapan dengan orang lain. 

Ketidaksadaran diri kita yang seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di era sekarang ini bahkan banyak yang berlomba untuk menunjukkan eksistensi diri di mata orang lain agar diri menjadi terkenal.  Semua ini dilakukan karena diri memiliki self interest yang tinggi karena dikuasai oleh ego diri yang besar.

Diri yang dikuasai oleh ego karena sebetulnya diri adalah manusia-manusia yang kalah dalam peperangan.  Peperangan yang dimaksud adalah perang yang ada dalam setiap diri manusia.  Seperti diketahui bahwa setiap diri manusia memiliki dua unsur yaitu unsur kebaikan dan keburukan.  Dua unsur ini selalu berperang dan mempengaruhi diri dalam setiap aktivitas kehidupan.  Dan ketika diri dikuasai oleh ego maka diri menjadi buta diakibatkan unsur kebaikan atau kebenaran kalah dan didominasi dengan unsur ketidakbaikkan, dan inilah disebut sebagai diri yang kalah dalam peperangan.

Kekalahan dalam peperangan ini menjadikan diri keliru dalam tindakan.  Kekeliruan ini mungkin sebuah hal wajar yang dianggap oleh manusia namun bukan kebaikan menurut Buku Panduan.  Dampaknya adalah lurusnya jalan kehidupan yang harus ditempuh di dunia ini menjadi jalan berliku yang harus dilalui.

Kekeliruan jalan yang dilalui ini mengakibatkan diri terlena dengan kehidupan yang fana dan mengasyikan karena terpenjara oleh ego diri.  Dengan berjalan hanya fokus dalam ego diri mengakibatkan diri akan mengalami kerugian baik di dunia maupun kehidupan di masa yang akan datang.

Perenungan diri diperlukan agar diri tidak salah seperti aktivitas lalat tersebut. Sebuah tindakan yang salah digambarkan oleh lalat tersebut karena ego diri yang sangat mendominasi akibat ketamakan terhadap makanan yang ditemuinya.  Memang tidak salah jika lalat makan makanan yang terbawa arus sungai tersebut, tetapi kesalahannya adalah bagaimana lalat terlena dengan aktivitas kehidupan mencari makan sebagai bekal hidupnya.

Tuluskah kita bekerja?

Keasyikan diri kita dalam bekerja sehari-hari mungkin tak ubahnya dengan lalat tersebut.  Diri menyadari bahwa kesibukan dalam bekerja bisa melupakan dan melalaikan aktivitas yang seharusnya dijalankan.  Bahkan tidak sadar dalam bekerja setiap hari dari pagi sampai malam karena dikejar oleh dateline atau target-target yang harus dicapai baik dari diri kita sendiri ataupun dari para pinpinan organisasi.

Ketidaksadaran dalam bekerja karena dikejar untuk segera diselesaikan inilah yang merupakan alasan mendasar dalam kehidupan diri kita sehari-hari.  Aktivitas mengejar target akan membawa pada perubahan ego pada diri kita.  Bahkan ketika diri sebetulnya tidak mampu untuk menyelesaikan target akan berupaya dengan cara apapun untuk menyelesaikannya.

Pembenaran alasan ini mungkin secara logika rasional adalah sesuatu yang tampak benar. Namun apakah ini bukanlah sebuah kesalahan jika dihubungkan dengan eksistensi dalam kehidupan kita? Dan ketika diri kita diingatkan dengan hal ini maka akan sangat menolak bahkan mencibir orang yang memberi nasehat karena diri menganggap bahwa bekerja adalah bagian dari "perjalanan" hidup.

Memang bekerja diperlukan oleh setiap diri kita dalam menjalani kehidupan ini. Namun ketika dalam bekerja dan melakukan pekerjaan untuk mengejar target adalah prioritas diri kita bukanlah sebuah kebaikan.  Artinya bahwa ketika target digunakan sebagai motivasi diri untuk eksistensi hidup bukanlah ini sebuah bentuk implementasi dari "ego".

Butuh perenungan dan pemikiran dalam waktu yang disisihkan untuk meng"iya"kan pendapat tersebut.  Ketika diri dalam kondisi yang super sibuk mendengar jawaban itu pasti langsung naik ego kita dan jawabannya pasti tidak menyenangkan.  Dan pasti diri akan menjawab bahwa apakah hidup itu tidak memiliki target-target yang harus dicapai, termasuk di dalamnya bahwa bekerja pun bagian dari ibadah. 

Sebuah bacaan dari alam yaitu lalat yang terperangkap di banjir itu apakah itu juga bukan bagian dari target lalat dalam aktivitas bekerja untuk kehidupannya.  Keasyikan dalam bekerja karena dipenjara oleh ego lalat yang didasarkan atas naluri untuk mencukupi kebutuhan jasmani menjadikan diri lupa pada sekelilingnya dan mengakibatkan bahaya mengancam di depannya.    

Ketika hidup diri kita seperti lalat yang asyik mengejar target dan lupa pada pentingnya diri dengan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat ataupun alam seringkali terjadi.  Dan ketulusan diri dalam bekerja yang merupakan motivasi awal untuk ibadah dalam menjalani aktivitas kehidupan berubah ketamakan diri dalam bekerja untuk tujuan tertentu.  Mungkin ini tidak disadari tapi butuh sebuah kesadaran diri untuk selalu tulus dalam bekerja.

Menjaga ketulusan dalam bekerja dibutuhkan dalam setiap aktivitas kehidupan diri manusia.  Dengan asyik mengejar target sesuatu demi ego dan untuk kepentingan diri (organisasi) menjadikan ketidakseimbangan akan terjadi.  Ketidak seimbangan inilah yang akan menyebabkan kerusakan alam semesta.

Bekerja dengan target adalah sebuah keharusan, namun tidak boleh melupakan keseimbangan baik dengan diri/keluarga/alam atau terlebih dengan Sang Pencipta.

Sekedar perenungan dari bacaan alam yaitu "lalat yang terperangkap arus sungai".  Semoga bermanfaat untuk pembelajaran diri.

Salam,

KAS, Magelang 31/10/2021   

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun