Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Suwung (2)

7 Oktober 2021   21:29 Diperbarui: 7 Oktober 2021   21:57 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran diri manusia jika muncul akan memiliki sebuah statement pernyataan yang menyatakan "bahwa diri kita sekarang ini ibarat sebuah bangunan yang megah dengan hiasan interior dan bangunan yang indah.  Namun keindahan bangunan (diri) kita sekarang ini tidak banyak yang ditopang dengan pondasi yang kuat sehingga berakibat mudah goyah ataupun runtuh jika digoncang dengan kejadian yang kecil sekalipun.  Hal ini menunjukkan diri malas untuk selalu membaca dan belajar yang merupakan tugas diri sebagai manusia."  Ketika ketidak sadaran diri tidak muncul maka akan berdampak bahwa hidup kita selama ini adalah nyaman dan baik baik saja, sehingga berdampak pada tindakan dan perbuatan diri kita bagaikan orang yang tersesat di dalam perjalanan di kehidupan ini.

Fenomena diri yang hidup seperti ini yang tidak merasa diri kita "salah jalan" akibat pemahaman yang dimiliki hanya sekedar pengetahuan umum dan biasa di terima selama ini.  Ini bukan berarti bahwa pengetahuan yang diri miliki adalah hal yang salah namun realitanya bahwa ilmu yang ada sekarang menuntun diri semakin jauh dari kodrat diri sebagai manusia yang sesungguhnya.  Kurangnya membaca dan belajar dari Buku Panduan Hidup menyebabkan pemahaman tentang ajaran semakin jauh dari kebenaran.  Atau malah lebih dikatakan bahwa pemahaman kita hanyalah sekedar pengetahuan yang didasarkan oleh ajaran nenek moyang bukan dari ajaran yang sesungguhnya yang perlu di kaji secara serius dengan membaca dan belajar Buku Panduan secara mendalam.  

Ibarat sebuah mesin hidup kita adalah sekedar hidup yang tidak pernah mengenal prosedur dan cara kerja yang sesuai.  Sehingga berdampak hidup kita adalah sekedar hidup yang hanya menunggu kapan diri kita akan masuk bengkel atau ganti onderdil.  Hal ini dapat dilihat bagaimana banyak orang yang sering keluar masuk rumah sakit atau mati mendadak ibarat sebuah mesin yang turun mesin dan perlu diservis.  Karena mereka yang hidup dengan kondisi demikian tidak pernah mau membaca buku Pedoman Hidup yang kehidupannya hanyalah diisi dengan memenuhi kebutuhan naluri dan nurani.  Ketika hidup kita seperti ini maka dapat dikatakan tidak pernah dalam kehidupan melakukan keseimbangan kerja dari jasmani dan ruhani manusia.

Suwung adalah kata yang tepat jika kondisi hidup kita seperti itu yang tidak pernah mau memahami hakekat tujuan dan makna dari diri kita dihidupkan oleh Sang Pencipta.  Namun hal ini kontras dengan pemahamanan suwung yang sebenarnya menurut filosofi kehidupan manusia. Dalam artikel suwung (1) terdahulu sudah dijelaskan arti dan seputar pemahaman suwung yang merupakan filsafat tertinggi di budaya jawa.  Dikatakan sebagai tingkat tertinggi dalam pemahaman kehidupan dikarenakan suwung adalah bentuk penggantian kerja diri manusia secara jasmani dengan unsur keterlibatan Sang Pencipta yang menimbulkan pengendalian diri yang mampu menggantikan peranNYA untuk mengemban amanah di muka bumi ini.  Hal ini memang sebuah tujuan yang sulit untuk dicapai namun bukan berarti tidak mampu untuk dicapai karena manusia diciptakan dengan kemampuan yang sama dan yang membedakan adalah motivasi diri untuk menempuh perjalanan ke arah tersebut.

Kemudian timbul pertanyaan mengapa banyak diri kita yang lupa atau lalai dengan hal itu, padahal mungkin setiap hari kita juga membaca atau mengkaji Buku Panduan?  Mungkin jawaban yang tepat adalah niat diri dalam melakukan semua itu hanyalah sebatas ritualitas diri untuk mendapatkan "imbalan" bukan untuk mencari jawaban atas kebutuhan kehidupan untuk diri (ilmu).  Ketika hal ini terjadi maka dominasi ilmu dunia akan menjadi penjara diri sehingga hidup kita ibarat menjadi tahanan pada kehidupan dan kebutuhan hidup di dunia.   Maka tugas diri sebagai orang yang suka "membaca" (membaca tulisan apapun dengan media apapun) untuk kembali melakukan rekonstruksi diri dalam melakukan aktivitas belajar melalui membaca.  Karena dengan membaca dengan benar akan menjadikan diri kita memiliki pondasi kuat untuk menjalani kehidupan di dunia ini.

Berdasarkan hal tersebut strata atau tingkatan suwung bagi diri kita yang hidup di dunia ini dibedakan menjadi 5 golongan, yaitu :

  1. Suwung level 1 (terendah).  Dalam level ini suwung nya kondisi diri menyebabkan diri hanya hidup didasarkan atas naluri hidup sehingga kehidupan diri hanya di dominasi dengan memuaskan ego.  Jalan untuk memuaskan hasrat ego dilakukan didasarkan atas nilai-nilai yang dimiliki berdasarkan atas idiologi masyarakat yang berkembang.  Idiologi masyarakat yang diyakini kebenarannya ini biasanya terimplementasi pada strategi dan politik untuk bertahan hidup yang menciptakan tatanan ekonomi yang berkembang agar dapat mencapai kepuasan ego diri yang dimiliki.  Diri dalam level ini adalah orang yang tidak pernah mau belajar atau bahkan tidak pernah bersentuhan dengan buku Panduan sehingga hidupnya jauh dari kebenaran dan kebaikan.
  2. Suwung level 2 (terselubung).  Dalam level kedua ini suwung diartikan sebagai dominasi dari nurani (perasaan bukan qolb) yang di utamakan dan menimbulkan rasa was-was.  Perasaan bagaikan menjadi penjara dalam kehidupan diri yang menyebabkan keyakinan diri tidak terpatri secara mendalam.  Ibarat sebuah pohon diri yang demikian tidak memiliki akar tunjang yang kuat yang menancap ke bumi sehingga mudah goyah dengan hantaman angin yang sedang.  Diri yang dalam kondisi ini rasa prasangka (negative thingking) berkembang dan mendominasi diri.  Jika diri dalam kondisi seperti ini secara fisik/tampilan sulit diukur karena mungkin dapat dikatakan diri sebagai manusia yang berpenampilan meyakinkan.  Diri dalam level ini adalah diri yang sudah bersentuhan dengan Buku Panduan akan tetapi dominasi buku lain lebih dominan untuk digunakan dalam pegangan dalam hidupnya  sehingga bacaan tidak bisa menumbuhkan akar yang bisa memunculkan nilai keyakinan hidup.
  3. Suwung level 3 (Kebingungan).  Diri dalam level ini adalah diri yang tidak mengenal diri sendiri karena terpenjara dalam kondisi kehidupan yang selalu menimbulkan rasa kebingungan.  Kondisi yang demikian dapat muncul dikarenakan Pedoman sudah di baca dan di pahami akan tetapi adanya "godaan" atau "himpitan" ujian hidup dirasakan sangat kuat sehingga ajaran yang ada dapat dikalahkan karena desakan kebutuhan dari kondisi.  Suwung dalam kondisi level 3 ini memunculkan konsekuensi kehidupan diri dalam kondisi "gelap".   Kerendahan prinsip diri akibat dari "nilai" keyakinan hidup yang "kalah perang" karena diri masih memiliki nilai keraguan/ ketidakpercayaan terhadap jaminan dari Sang Pencipta.  Gelap atau kalah perang ini diakibatkan peperangan antara dominasi nurani dan naluri yang ada pada diri manusia.  
  4. Suwung level 4 (Tradisional). Diri dalam level ini adalah diri yang lebih percaya pada pola perilaku dan ajaran yang ditemuinya selama diri kita hidup. Biasanya ajaran yang diterima merupakan "terjemahan" dari para nenek moyang dan orang tua mereka bukan didasarkan atas perenungan diri dari baca dan belajar secara mandiri. Hal ini berdampak ketika ada sebuah nilai ajaran baru yang mengenalkan kebenaran dan menuntun ke jalan yang benar dan didasarkan atas Buku Pedoman yang sama pun mereka tolak karena tidak sama dengan kebiasaan yang biasa mereka lakukan.  Sehingga dapat dikatakan kondisi suwung dalam level ini diri kita dapat menyeimbangkan nurani dan naluri akan tetapi belum memiliki motor penggerak yaitu qolb untuk memaksimalkan akal manusia sebagai bentuk konektivitas diri dengan Sang Pencipta.
  5. Suwung level 5 (Sempurna).   Diri dalam level ini adalah diri yang menemukan hakekat manusia.  Suwungnya diri akibat off nya jasmani manusia digantikan dengan kerja ruhani manusia.  Sehingga diri menemukan hakekat manusia yang sesungguhnya.  Jasmani hanyalah sebagai alat untuk "kerja" sedangkan ruhani adalah "bahan bakar" agar si manusia dapat melakukan aktivitas hidupnya di dunia ini.  Level suwung inilah puncak dari perjalanan diri manusia sehingga hidupnya selalu dalam rel pedoman hidup yang benar dengan kehidupan yang out of the box namun masih dalam jati diri manusia yang sesungguhnya. 

Pemahaman suwung ini sebagai bentuk rekonstruksi diri kita agar diri kita dapat selamat dalam menunaikan misi hidup di dunia ini.  Pemahaman ini di dasarkan atas bacaan yang ada dalam Buku Panduan yang memberikan klasifikasi jelas bagaiman type manusia yang ada di muka bumi ini.  Alangkah bahagianya jika diri dapat mencapai level suwung 5.  Doa saya semoga diri kita dapat mencapai level sempurna agar kehidupan kita selalu dalam kebahagian hakiki baik di dunia maupun di akherat. amiin

Magelang, 8/10/2021

Semua diri adalah musafir... Yang diberi kelengkapan indra yang sama... Namun banyak yang tidak menyadari bahkan tertipu... Oleh eloknya kehidupan yang semu

Semua diri adalah musafir... Yang melakukan pengembaraan untuk mencari bekal.... Agar diri dapat diterima sebagai tamu... Bukan dipersilahkan untuk masuk ke dapur sebagai bahan bakar tungku pemanas... (KAS, 8/10/2021)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun