Menyambut hari lebaran 1 syawal adalah momen yang susah dilupakan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebab di dalamnya terkandung nilai religius dan sosial yang diyakini sebagai hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Mudah-mudahan tujuan suci itu tercapai melalui Ridho Ilahi dan Ridho antar sesama dengan saling memaafkan.
Setiap orang pasti memiliki kenangan istimewa dalam berlebaran. Tentu akan diingat dalam memori masing-masing sebagai kenangan indah. Terkadang hanya kita sendiri yang bisa menikmatinya. Mungkin juga ada yang bisa diceritakan kepada orang lain. Bagi saya, ada tiga momen yang selalu diingat menyambut lebaran di masa kecil dahulu.
Pertama, Kereku Kandei (tabuh lesung).
Sesuai namanya " Kareku Kandei" adalah kegiatan memukul atau menabuh lesung yang dilakukan oleh dua sampai empat orang dewasa laki-laki maupun perempuan. Nadanya sengaja diatur agar terdengar menarik dalam irama yang sudah dihafal secara turun temurun. Artinya, yang dipilih untuk  Kareku Kandei adalah orang terlatih. Lokasi "Kareku Kandei" meliputi berbagai sudut dan tempat strategis, sehingga menghasilkan suara yang dapat didengar oleh semua orang  di kampung.
Tradisi ini menurut tetua di kampung Dodu Kecamatan Rasanae Timur Bima NTB untuk berbagai kegiatan adat, seperti menyambut acara perkawinan, pasca panen, tanda bahaya (perampokan dan bencana alam), dan menyambut lebaran.
Sekitar pertengahan tahun 1980-an s/d awal 1990-an, masih ada kegiatan tersebut. Namun, tidak banyak lagi perhelatan yang diawali dengan Kareku Kandei. Mungkin disebabkan oleh pergeseran nilai dan temuan teknologi pengganti sehingga Kareku Kandei pelan-peln ditinggalkan. Pada waktu itu, Kareku Kandei masih sering dilakukan menyambut lebaran saja.
Meskipun begitu, pasti menarik bila diinisiasi kembali sebagai alternatif hiburan yang murah meriah. Dibandingkan dengan membunyikan petasan dan mercon perlu biaya mahal. Selain itu, kereku kandei tidak menimbulkan polusi bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan.Â
Kedua, mencari dan mengumpulkan kayu bakar.
Umumnya kaum adam lah yang memiliki inisiatif mencari kayu bakar. Mulai dari anak-anak, pemuda sampai orang tua di hutan terdekat dengan lokasi kampung. Kegiatan ini, sebenarnya dilakukan sekitar sebulan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Tujuannya, untuk persediaan kayu bakar agar mengurangi beban fisik selama berpuasa.
Jadi, pengumpulan kayu bakar akan dihentikan bila diperkirakan sudah mampu memenuhi kebutuhan selama bulan Ramadan. Biasanya, tumpukan kayu bakar akan disusun di bawah kolong rumah (rumah panggung sebagai rumah adat Bima).
Menariknya, pencarian dilakukan setiap hari dan paling ramai pada hari-hari libur kalender nasional. Banyak hal yang terjadi selama di hutan, mulai dari saling menakut-nakuti dengan bahaya babi hutan, ular piton, atau mengarang cerita hantu penunggu hutan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Bagi yang takut, akan selalu berusaha tidak jauh dari temannya yang lain.
Upaya menakut-nakuti teman mempunyai beberapa tujuan, diantaranya ada yang sengaja iseng untuk lucuan-lucuan saja. Ada juga yang benar-benar menceritakan pengalaman nyata berhadapan dengan babi hutan. Mereka kebanyakan lolos dari bahaya karena sudah mengetahui cara mengantisipasinya. Babi  berbahaya apabila berada pada dua kemungkinan yaitu babi yang terluka dan babi beranak kecil. Kalau tidak mampu menghadapi menghindar saja, sedangkan jika mampu hadapi dan habisi. Begitu kira-kira prinsip survive hidup di hutan.
Sebenarnya, keterampilan menghadapi babi hutan diperoleh dari pengalaman generasi ke generasi. Setiap laki-laki dewasa kebanyakan berpengalaman berburu babi untuk dimusnahkan karena dianggap sebagai hama. Namun, pencari kayu tidak semua punya pengalaman berburu, sehingga tidak heran ada yang mudah timbul rasa takutnya.
Bahkan, ketakutan itu sendiri sudah ada sebelum memasuki hutan, karena hawanya saja sudah menimbulkan sensasi yang aneh bagi yang belum terbiasa. Dingin, gelap dan sunyi. Belum lagi, dengan suara aneka satwa yang silih berganti sahut menyahut.
Pada gilirannya, ketakutan sebagian orang tersebut berdampak pada hasil kayu bakar yang diperoleh. Bagi penakut, biasanya tidak mampu mengumpulkan jenis kayu kualitas bagus karena banyak orang harus berbagi di radius yang terbatas. Sedangkan yang berani, bebas mengeksplorasi hutan seluas-luasnya, kemudian memilih kayu terbaik sesuai selera. Hal itu akan nampak pada jenis kayu bakar yang disusun di bawah kolong rumah masing-masing pednuduk. Suatu pembeda yang sering kali menjadi kebanggaan.
Meski demikian masifnya perambahan hutan, namun tak menyebabkan kerusakan parah karena tidak diperbolehkan menebang pohon berukuran besar sebagai penyangga hutan. Hal itu wajib dijamin, sebab sampai di rumah akan dievaluasi oleh para tetua terhadap ukuran dan jenis pohon yang ditebang.
Kondisi itu, tidak lagi bisa ditemukan di Dodu, bahkan umumnya di Kota Bima, karena hutan bukan hanya rusak tetapi sudah hilang. Hutan tutupan negara saja telah dikapling-kapling menjadi milik pribadi. Kemudian diperkuat oleh Perda Tata Ruang Kota Bima yang tidak memuat adanya wilayah hutan.
Ketiga, Membuat Dodol Bima.
Seperti Dodol lain, dodol Bima juga bertekstur lembut dan kenyal berwarna hitam dari campuran gula merah dan tepung beras ketan hitam. Bahannya, terdiri dari tepung beras ketan, gula merah, santan kelapa, mentega, gula pasir, dan terigu. Semua itu disediakan dan diolah oleh para ibu sampai jadi satu paket yang dituang dalam kuali besar.
Kemudian giliran para Bapak yang mengaduknya dalam kuali di tungku tanah yang digali. Alat Pengaduknya terbuat dari kayu atau tembilak yang sudah dibersihkan. Pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar sehingga itulah alasan para ibu menyerahkannya pada kaum adam.
Pengalaman mengaduk dodol adalah pengalaman paling seru bagi saya bersama orang tua yang masih kuat atau yang sudah sepu. Yang sudah sepu ikut meramaikan saja, namun yang menariknya pada saat itulah nasehat-nasehat terhadap yang lebih mudah meluncur. Semacam kuliah tujuh menit (kultum) atau semacamnya.
Selamat berlebaran!
Minal A'idina Walfaidzin
Takabalallahu Minkum, Minna wa Minkum Takabbal Yaa Kariim!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H