Senin pagi saya kembali datang jam 07.00 WITA. Ketemu juga akhirnya, niatku bisa diwujudkan. Meski awalnya ditolak karena dianggap masalah selesai. “Biar saja Pak, tidak apa-apa. Saya ikhlas!” Tolaknya. Saya ngotot dan menjelaskan bahwa, biar Ina sudah Ikhlas tapi tetap saja harus diterima, karena sudah terlanjur niat. “Kalo ina tidak mau, saya tidak mau belanja lagi sama Ina!” Tawarku sedikit memaksa. Ina pun menerima dengan tersenyum. Clear!
Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa si saya harus ngotot? Padahal transaksi sudah dilakukan dengan benar, yaitu dengan suka sama suka. Benar, jika sudah disepakati kedua belah pihak tanpa paksaan, maka secara hukum jual beli sudah sah.
Tetapi saya yang masih awam agama ini takut karena proses suka atau tidak suka saja tidak cukup, sebab sabda Nabi Muhammad, SAW: “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud).
Secara sederhana kepemilikan atas suatu barang tidak perlu diperdebatkan lagi kalau tidak ada orang yang keberatan atas barang itu. Hanya saja, barang sengketa tidak mudah mendapatkan keikhlasan dari semua pihak. Akibatnya, dikhawatirkan dapat menjalimi pihak lain, walapun dalam kadar yang tidak terlalu berat.
Keikhlasan menjadi kata kuncinya. Sedangkan untuk memperoleh keikhlasan bukan pekerjaan mudah. Untuk itu perlu kehati-hatian karena melanggar perintah Allah SWT, apabila diabaikan. Seperti penjelasan Surat An-Nisa ayat 29 yang berarti: ”Janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian.” (Q.S. An-Nissa:29)
Demikian, semoga bermanfaat!
Catatan:
Ina: panggilan untuk perempuan Sumba yang sudah Tua
Yo’u: berarti kamu (bukan anda).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H