Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Motivasi

29 Desember 2014   02:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:17 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Tulup. Ia tukang bersih-bersih di Perguruan Tinggi. Si Tulup punya kebiasaan khusus. Setiap ngobrol ia tak segan-segan memijit,mulai dari tangan, pundak, leher. Mula-mula yang ia pijit adalah teman-temannya kemudian berlanjut mandornya, temannya mandornya, terus pijitan Tulup menyebar kemana-mana, bahkan kepala DPR pernah ia pegang. Itu pada mulanya. Selanjutnya ia sering diundang oleh bos-bos sepulang perjalanan jauh untuk memijit.

Sehari Tulup bisa pindah tempat dua sampai tiga kali. Karena ramainya permintaan pijat ia meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang bersih-bersih. sampai saat ini, saat dia sudah sukses ia selalu bilang "Aku tidak akan melupakan pekerjaan tukang bersih-bersih di kampus itu. Orang harus menghormati jalan hidupnya, sepahit apapun."

Si Tulup sekarang sering diajak Pak Huda, ketua DPRD saat kunjungan luar kota. Pekerjaan Tulup gampang saja, saat istirahat baik siang maupun malam ia memijat Pak DPR itu sampai tidur. Tidak jarang teman-teman Pak Huda juga minta pijit. Berkat keahliannya memijit, Tulup sudah jalan-jalan ke Bali, Lombok, Karimunjawa, dan Singapura. Semuanya gratis bahkan dibayar. "Kenapa dari dulu aku tidak belajar memijit saja dari kecil. Kenapa aku sibuk ke sekolah dengan pelajaran macem-macem yang tidak aku sukai.”

Saat ada acara SiTulup selalu di belakang Pak Huda, Tulup diperkenalkan kepada teman-teman Pak Huda dengan sebutan asisten. Orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan ajudan.

Pada pemilu tahun kemarin, Pak Huda tidak menyalonkan lagi sebagai DPR, ia kembali mengurusi perusahannya. Menurutnya menjadi DPR berat, berat menahan godaan. Banyak temannya yang sudah tergelincir ke bui. “Kenapa tidak mencalonkan lagi Bapak? Bapakkan masih punya kesempatan?” suatu sore saat perjalanan pulang dari bepergiaan Tulup pernah mengajukan pertanyaan.

“Istirahat dulu Lup, istirahat itu dibutuhkan agar biasa berpikir rasional. Merenungi kenapa teman-temanku banyak yang masuk bui, merenungi juga kenapa banyak di antara mereka yang rumah tangganya rusak.” Jawab Pak Huda.

Setelah Pak Huda tidak lagi menjadi DPR, Tulup diangkat sebagai karyawandi perusahaan milik Pak Huda. Tidak tanggung-tangung langsung menjadi mandor. Pekerjaan memijit masih juga ia lakukan sesekali saat Pak Huda menghendaki. Saat menjadi tukang bersih-bersih Tulup melanjutkan SMA melalui program paket C, saat menjadi asisten pak Huda di DPR Tulup kuliah S1, sekarang Tulup hampir menyelesaikan S2 nya mengambil manejemen. “Aku sadar di negeri ini gelar sangat penting. Orang boleh pandai tetapi di lingkungan formal ia akan kalah dengan yang punya gelar. Aku akan segera naik haji agar di depan namaku bisa dipasang huruf H. Selepas S2 nanti aku akan langsung lanjut mengambil S3.” Pengakuan Tulup pada isterinya.

Di kantor itu semua menghormati Si Tulup. Saat Si Tulup naik jabatan menjadi menejer tidak ada yang protes. Setidaknya itu yang terlihat di depan entah kalau di belakang. Rupanya strategi yang digunakan oleh Si Tulup berhasil, di depan karyawan yang lain ia mengesankan sangat dekat dengan Pak Bos, menjadi orang kepercayaannya Pak Bos. Jika berani tidak sopan dengan Si Tulup bisa diomong jelek di depan Pak Bos untuk segara dimutasi atau dipecat.

Tentu saja tampilan Tulup semakin mentereng, pakai kemeja berdasi, sepatu mengkilat, dan pulang pergi naik mobil. Kontras dengan teman-temannya yang masih menjadi tukang bersih-bersih. Begitu juga dengan tampilan rumahnya. Rumahnya lantai dua dan ada tamannya segala.Di gang itu rumah Tuluplah yang paling bagus.

"Teman-teman Asosiasi Pembersih Seluruh Indonesia disingkat APSI ingin datang ke rumah katanya mau minta nasihat bagaimana bisa sukses.” Suatu sore Tulup ngobrol sama istrinya di lantai atas sambil menikmati matahari surup.

“Ya bagus toh Pak. Bisa berbagi dengan sesamakan bagus.” Respon isterinya.

“Enggak ah”

“Lho kok enggak!”

Aku tahu gelagatnya biasanya mereka mau pinjam duit untuk makanlah atau untuk modal usahalah." Tulup beralasan.

Masih ingat Hasan?” Tulup mengajukan pertanyaan pada istrinya.

Iya yang sering kamu ceritakan dulu. Yang sering kamu pijiti di masjid kampus waktu masih menjadi tukang bersih-bersih.

“Benar, Hasan seorang guru. Dulu waktu Hasan menjadi mahasiswa ia merupakan sahabatku. Sedikit dari mahasiswa yang mau bergaul dengan tukang bersih-bersih sepertiku. Bebebrapa hari yang lalu Hasan pernah datang ke rumah kita.”

***

Suatu Sore saat istrinya pergi arisan datanglah Hasan bertamu.

“Tulup, datanglah ke sekolahku.Berilah murid-muridku nasihat menjelang kelulusannya agar ketularan kesuksesanmu.” Pinta Hasan di ruang tamu Tulup yang rimbun bunga dan riuh gemericik air dari taman dan lampu yang temaram. Mula-mula Tulup menolak. Ia beralasan tidak memiliki pengalaman menjadi motivator. “Ah Kak Hasan bisa saja. Kamu tahu tidak ada yang istimewa dari aku. Tidak ada yang inspiratif dari aku. Kamu tahukan Kak, aku dulu hanya tukang sapu, lagi pula aku tidak pernah menonton itu acara-acara motivasi.” Tulup berkilah.

Sebenarnya bukan itu yang ada di hati Tulup. Ia berpikir waktunya akan banyak terbuang karena menghadiri acara anak SMA itu. Dan ia sadar tidak banyak uang yang bisa pindah ke sakunya dari uang iuran anak SMA. Bagi Tulup waktu adalah uang.

“Anak-anak pasti kagum dengan kamu. Apalagi mereka yang datang dari keluarga miskin pasti ingin mengikuti jejakmu. Tolonglah kali ini berbagi. Kamu itu banyak dibicarakan di sekolah lho. Ada koran tempo hari yang memuat profilmu mereka potong kemudian tempel di majalah dinding sekolah” Hasan tidak mau menyerah. Ia sengaja mengunggul-unggulkan Tulup agar hatinya cair.

“Benarkah?”

“Serius. Di sekolah semua guru telah mengenalmu dan menceritakan kisahmu yang gigih itu kepada murid-murid di sela-sela mengajar. Motivasi itu penting untuk siswa apalagi disampaikan oleh pelakunya sendiri.”

“Ok kalau gitu aku datang. Tidak usah dibayar tidak apa-apa.” Hasan berhasil. Ia memang mengenal Tulup sejak remaja. Ia tahu cara meluluhkan hati Tulup. Meski sudah sukses pada dasarnya Tulup masih punya sifat yang sama dengan waktu menjadi tukang sapu. “Tulup belum sampai tanganmu menyentuh pundakku, sudah sembuh pegel-pegel ini.” Begitu dulu Hasan merayu. Cara itu ia gunakan lagi dan mengena sehingga Tulup mau datang bahkan tidak meminta bayaran.

Hasan sempat disalahkan guru-guru lain apakah Tulup benar-benar bisa datang. Hasan sempat pucat pasi karena sepuluh menit menjelang acara Tulup tidak kunjung nongol. Jika Si Tulup tiba-tiba membatalkan untuk datang bisa-bisa seluruh sepatu guru mampir ke mukanya. Tulup datang ke sekolah tepat pada waktunya dan disambut dengan gegap gempita.

Tulup datang sendiri menyetir mobil sedan warna hitam legam. Mungkin mobil keluaran terbaru. Menurut Hasan inilah mobil terbaik yang pernah dilihatnya. Tulup mengenakan kemeja, dasinya warna mereh. Seorang anak memperhatikan Tulup dari ujung kaki hingga ujung rambut dari jendela. Sepatunya mengkilat, kaos kakinya baru, celananya rapi sepadan dengan jasnya, rambutnya mengkilat semengkilat sepatunya. Kontras sekali dengan penampilan anak itu.

Seorang guru perempuan muda mencium aroma harum dari tubuh Tulup. Guru muda itu segera mendekat untuk meminta salaman dan mencium tangan Tulup. Acara berjalan sukses. Anak-anak terutama yang putri menjerit histeris. Tulup sudah berubah menjadi artis. Tulup berhasil membius mereka dengan kalimat-kalimatnya yang memukau. “Yang terpenting adalah gairah. Tenggelamkan cita-citamu dengan gairahmu itu anak-anak.” kalimat penutup itu disambut oleh murid-murid dengan tepuk tangan membahana.

Berita tentang kesuksesan menjadi motivator itu sampai ke mana-mana. Kebetulan pihak sekolah mengundang wartawan. Jadi keesokan harinya orang-orang seluruh kota dapat menyaksikan foto Tulup bercengkrama dengan anak-anak saat menjadi motivator. Setelah acara itu kesibukan Tulup selain menjadi manajer bertambah menjadi motivator. "Menjadi motivator itu gampang. Cukup cerita tentang masa lalu yang susah, dulu diremehkan orang, terus berdo'a, gigih berusaha, pintar bergaul maka tinggal menunggu waktu pasti akan sukses. Setelah itu baru bercerita tentang perjalanan karir dan kesuksesan, berapa gaji yang didapat dan pendidikan pokoknya yang membuat pengunjung kagum. Menjadi orang sukses itu enak. Segala omongannya seperti fatwa. Didengarkan sampai ngiler. Orang miskin mau bicara apa saja gak ada yang percaya."

“Bersih, cepat, tuntas” tiga kata inilah yang menjadi ciri khas Tulup saat menjadi motivator. Ia teriakkan berulang-ulang. “Saudara-saudara, sebenarnya hidup ini tak ubahnya tukang sapu. Bekerjalah seperti tukang sapu saja dalam tempat masing-masing pasti tinggal menunggu waktu, pasti Anda sukses.” Kalimat itu telah dikutip oleh ribuan orang, sebagai status facebooktelah dibagikan seribukali, dan telah diretwit dua ribu kali. Kata-katanya sudah mirip penggalan hadist nabi.

Lebih fenomenal dengan twittnya yang lain: “Kau bekali anakmu dengan kegigihan, kejujuran, dan kemauan untuk berbagi maka itu saja cukup mengantarkannya pada kesuksesan.”

Twitt ini telah diretwit sebanyak lima ribu kali. Ia menjadi gambar DP pada BBM, dibaut stiker, dibaut kaos, dikutip pada undangan nikah. Ia sekarang seperti orang paling bijak di seantero negeri. Kalimat-kalimatnya bagaikan tuah. Selalu benar dan tidak pernah salah. Saat undangan semakin banyak, televisi anteri meminta disinggahi studionya, seminar-seminar, kampus, perusahaan, insatansi pemerintahan berebut mendengarkan petuahnya ia mundur dari perusahannya.

Bagaimanakah nasib perusahaan setelah Tulup keluar? Untuk menjawab pertanyaan itu tidak ada salahnya menelisik riwayat singkat hidup Pak Huda, bosnya Tulup, yang pernah jadi ketua DPRD, yang punya perusahaan gede. Ia memiliki perjalanan hidup yang mirip dengan Tulup. Dulu dia orang muskin juga. Pak Huda adalah anak kampung yang berkesempatan kuliah dengan perasan keringat orang tuanya. Adik-kakaknya harus rela berpuasa daging dan gula demi sekolah Tulup. Salah satu nasib baik Pak Huda adalah mampu merayu Bu Darmi anak saudagar emas menjadi istrinya. Pak Huda mengakui, sebenarnya Bu Darmi bukanlah orang yang ia incar waktu itu. Ia bermain ke kos berniat ngapeli Siti Jamila tetapi ketemunya Darmi. Ia juga mengakui lebih mengagumi kecantikan Jamila dari pada Darmi, tapi ia memutuskan untuk menikahi Darmi saja. Lebih realistis untuk masa depannya. Keputusan Pak Huda tepat. Pasca menikah ia dipasrahi mengembangkan perusahaan pakan ternak. Sampai sekarang perusahannya berkembang ke perusahaan cemilan dan oleh-oleh. Ia juga punya tujuh pom bensin.

Pak Huda adalah tepi suami takut istri. Tentang hal ini sedikit orang yang tahu. Hanya orang-orang dekatlah yang tahu. Mungkin orang heran,laki-laki segagah Pak Huda, besar, tinggi, berkumis takut sama Bu Darmi yang pendek bulat seperti bola. Apa saja yang diinginkan oleh Bu Darmi pasti dituruti oleh Pak Huda. Termasuk kebijakan-kebijakan diperusahaan bahkan mungkin undang-undang yang diputuskan saat Pak Huda menjadi anggota DPR adalah hasil tuntutan dari Bu Darmi.

Bagi Pak Huda keluarnya Tulup dari perusahaan tidak ada masalah. Ia punya banyak pegawai yang memiliki potensi sebanding dengan Si Tulup. Tetapi tidak bagi Bu Darmi. Bagi Bu Darmi Tulup punya kelebihan dibanding pegawai-pegawai lain. Kelebihan Tulup menurut Nyonya Besar tidak tertandingi.

Di dapur atau di tepi kolam renang saat Bu Darmi tidak ada para pembantu menyebutnya dengan nyonya besar. Nyanya Besar Darmi juga hobi pijit. Dan tukang pijit favoridnya adalah Tulup. Setidaknya seminggu sekali Nyonya Darmi dipijit Si Tulup. Saat ritual pijit dilaksanakan tidak ada yang berani mengganggu termasuk Pak Huda suaminya sendiri. Sekarang Bu Darmi sedih, badannya pegel-pegel. Sudah tiga bulan Tulup tidak datang untuk memijit. Padahal tidak ada tukang pijit yang lebih enak pijitannya dibanding si Tulup. Tulup sudah tidak butuh uangnya. “Sabar saja Bu’ nanti jika mulutnya sudah tidak laku Tulup pasti akan datang lagi kemari untuk menjual tangannya kepada kamu. Sementara itu agar aku yang membereskan pegel-pegelmu.” Hibur Pak Huda kepada isterinya yang tengkurap.

“Gak enak,” bentak Nyanya Besar Darmi. Para pembantu menutup mulut menahan ledakan tawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun