Suryani terbit di balik puing puing gedung
Cahaya sucinya meraba pegunungan desa dan sawah sawah
Embun mulai berpamitan kepada pagiÂ
Ayam jantan dan kucing jalanan mulai mengais tong sampah
Seorang pria pelajar memandang tetesan air keran bocor
sembari mengumpulkan nyawa yang tertinggal di alam mimpi
Silaunnya mentari menyorot dahi perlahan turun
Dinginnya air menarik kesadaran dari lamunan
Perlahan dia menaiki kuda besi
Dengan jaring laba laba dan bulu burung di bawah pijakan
Dengan ban belakang yang nampaknya sedikit kempes
Dipacunya kuda hitam itu selingkar demi selingkar
Di bawah langit biru tanpa mendung
Di aspal goyang berlubang ia berlayar
Di tengah polusi udara yang tak terbendung
Di antara profesi potret potret semata
Ya... dia melihat petugas keamananÂ
Melihat petugas lalu lintas
Bekerja di kamera bukan di lintasannya
Bergumam heran ia melihatnya...
Di sisi lain pak tani sudah bekerja dari bakda subuhÂ
Tulus ikhlas tanpa mengharap like komen dan pangkat
Berkawan bumi langit dan cinta keluarga
Istiqomah bergerak meskipun semakin sempit ruangnya
"Banyak keringat petani yang kita telan puluhan tahun"
"Banyak air mata petani yang sangat sering kita lupa"
"Banyak darah petani yang tumpah di medan tanam"
sedikit kesadaran si putra pagi itu
Sembari mendengarkan lagu nasida ria
Duduk menatap pohon kelapa yang menjulang tinggi
Mendongak tanpa kata dan kedipÂ
Ia melamunkan kondisi hitam putih desa dan kota
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H