Kita dahulu sama. Melihat mahasiswa sebagai pelajar yang bebas. Menjadi mahasiswa mungkin impian kecil dalam hidup yang memalukan jika diungkapkan. Melihatnya sebagai tingkatan terkeren dalam proses pembelajaran formal.
Kita dahulu sama. Memimpikan untuk melanjutkan studi di universitas ternama. Menganggap perkuliahan hanya sebatas pertarungan gengsi dan tenggelam dalam tanpa tujuan sebenarnya.
Semuanya terjadi sebelum kau mengalami kegagalan dalam hidup. Sejauh ini, kegalauan terbesarku bukan tentang wanita. Namun tentang semudah itu pemerintah menggugurkanku hanya karena ketidaktepatanku dalam memilih abjad (a,b,c,d) pada lembaran tes, tanpa mengenal potensi dan siapa diriku sebenarnya.
Kegagalan ini sungguh tak adil. Kesungguhan dan prestasiku di masa sekolah tak ubahnya Quran yang sarat makna namun dicampakkan dan dibiarkan berdebu. Pialaku seperti kaligrafi yang indah namun tak bermakna apa-apa. Sedangkan, mereka yang bermalas-malasan dipaksa untuk masuk ke tempat ternama di muka bumi dengan nutrisi otak yang tak mumpuni.
Suatu saat, kau akan paham makna dariÂ
"Nak, Jangan melihat universitasnya. Namun lihat, ingin jadi apa kau ke depannya?".
Aku tahu, remaja mana saja tak akan mendengarnya. Lalu mencari tempat pelarian untuk gengsinya. Aku pun begitu. Pikiran kita terlalu beku untuk dunia yang panas lagi berdebu. Terlalu konservatif untuk opsi yang sebenarnya variatif. Sungguh, kau akan memahami segalanya ketika kegagalan sedang berpihak padamu lalu kejernihan rasio mencerahkan otakmu.
Kalimat itu sungguh berarti bagiku kini.Â
Seorang yang gagal dalam pertarungan keberuntungan.Â
Mereka hanya beruntung untuk saat ini.