Mohon tunggu...
Andi MuhaiminDarwis
Andi MuhaiminDarwis Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah. Sebelum kenangan indah terbuang sia-sia. Hargai hidupmu lebih dari siapapun itu.

Teknik Sipil 2015, Univ. Muhammadiyah Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pendidikan Keluarga (4)

11 Juli 2019   22:09 Diperbarui: 11 Juli 2019   22:13 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini (6/7/19), atas izin Allah swt., akhirnya tiba giliran Bapak dan Mama untuk menunaikan Ibadah Haji setelah sekian tahun menunggu giliran. Sebelumnya, beliau berdua sudah pernah ke Tanah Suci entah untuk Ibadah Haji atau Umrah. Ingatanku kuat karena saat Mama berangkat, rumah kemalingan dan hilanglah beberapa laptop yang memutuskan hubunganku dengan multi-tasking di dunia maya.

Beberapa tahun sebelum berangkat, tepatnya pada saat pemasangan TV kabel di rumah, sangat terlihat Bapak dan Mama sangat terobsesi dengan tanah Makkah. Beliau tiada hentinya bergantian menonton acara televisi berupa live streaming Masjidil Haram, Makkah, yang mempertontonkan jutaan manusia berputar pada pusaran yang teratur dengan ritme yang teratur pula. Saat itu, hanya dua suara yang terdengar.

Pertama, suara Bapak atau Mama yang bersahut-sahutan menjelaskan seluruh apa yang tergambar di televisi. Kadang, beliau melanjutkannya dengan pengalaman empirisnya selama di sana. Kadang pula, Bapak meledek Mama yang bertingkah lucu kala berada di sana. Kedua, suara merdua para imam Makkah dan Madinah yang tak akan berhenti kecuali saat azan tiba.

Acara ini sebenarnya cukup membosankan bagiku pribadi karena sama sekali tak ada variasi. Berbeda dengan Bapak dan Mama yang sampai dapat menonton hingga tertidur lalu terbangun kembali dan kemudian melanjutkan menonton acara tersebut.

Pengalaman tersebut berulang kali dijelaskan kepadaku, namun dengan jujur, aku merasa tak bergitu tertarik. Hanya sekadar keinginan biasa seperti orang-orang lain yang lebih memilih negeri Barat sebagai tempat impian meski kadang justru menggoyahkan iman.

Pagi tadi, Aku berjabat tangan dengan kedua Orang tua yang telah hendak meninggalkan kami menuju Asrama Haji, Sudiang. Salaman itu berarti bahwa kami merelakan rasa rindu terhadap beliau untuk digunakan beribadah sebanyak-banyaknya. Mungkinkah rindu yang kami relakan itu juga dapat berbuah sepercik pahala kepada kami? Bapak dan Mama kemudian melanjutkan berjabat dengan saudara-saudara dan keluarga yang sempat hadir pagi ini.

Dapat kusaksikan raut wajah aneh dari Bapak, pun dengan matanya. Wajahnya tak dapat kugambarkan, tetapi kuyakin itu adalah raut wajah haru Bapak yang tengah berupaya menutupi sesuatu. Sangat jarang terlihat. Kemudian untuk pertama kalinya dalam hidup, kusaksikan mata Bapak yang tertutup sedikit lapisan air sehingga tampak berkaca-kaca.

Semenjak saat itu sepertinya aku mulai sadar bahwa perkara Haji dan Umrah bukanlah perkara yang biasa, itu terbukti dari mimik wajah Bapak. Seumur hidup, tak pernah kulihat Bapak berkaca-kaca seperti itu. Pembawaannya selalu tenang meski mampir ke tempat kawan dan sanak keluarga yang gugur satu per satu. Tetap berwibawa ketika seorang Mama yang bersandar telah hampir kehabisan air mata.

Kami menerima kabar keesokan harinya (7/7/19), bahwa Orang tua kami telah tiba di tempat tujuan. Ketika membuka grup Whatsapp keluarga, tak ada satu momenpun yang terlewatkan meski hanya makan siang seperti biasa. Bapak dan Mama menumpahkan seluruh aktifitasnya di grup. Mereka begitu berbangga hati menginjakkan kaki di sana. Bagi Bapak dan Mama, semuanya begitu istimewa dan luar biasa.

Persiapannya tidak main-main. Bapak beberapa minggu terakhir berkawan akrab dengan buku Manasik Hajinya. Membacanya tak jemu-jemu seperti berada di depan Kakbah. Begitupun dengan Mama, sering kudapati beliau salat di penghujung malam ketika aku terbangun. Sepertinya salah satu doa beliau telah dikabulkan saat ini.

Melalui runtutan kisah tersebut, Masjidil Haram dengan aktifitas Haji serta Umrah menjadi obsesiku saat ini. Kubayangkan semangat mereka berdua di tengah padatnya kerjaan demi menunaikan panggilan Allah 'azza wa jalla. Menyadarkanku bahwa Makkah dan Madinah begitu menarik dan jauh luar biasa  ketimbang tempat lain yang begitu rentan melalaikan keimanan.

Di hari-hari selanjutnya, pikiranku tak lepas dari bayangan bahwa aku berada di sana pada shaf paling depan setelah imam dan memeluk imam-imam andalanku sejak berumur 13 tahun. Kemudian merintih di hadapan Kakbah. Pasti aku akan sangat terharu pada setiap langkah mengelilingi Kakbah seraya mengucap "Labbaikallahumma labbaik...".

Jika saat ini aku berada di sana, mungkin aku hanya dapat tertunduk malu menghayati betapa jauhnya diri ini dari-Nya dengan dosa-dosa yang berulang. Hadirkanlah kami di sana Ya Allah. Berilah kami pelajaran bahwa waktu-waktu menunggu seperti ini menjadi kesempatan besar kepada kami untuk memperbaiki diri dahulu sebelum menginjakkan kaki di sana agar tak terlalu hina dan kotor di hadapanMu.

Andi Muhaimin Darwis

Ruang Kamar, 11/7/19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun