Pendidikan Keluarga (3)
"Terima kasih, Nak" Ucap panitia Ramadan beberapa tahun lalu sembari memberikan amplop berisikan beberapa lembar uang kertas. Saat itu ialah kali pertamaku menjadi imam salat tarwih di masjid. Gugup sebetulnya kurasakan sebelum salat di mulai. Tubuh akan semakin dingin ketika waktu prosesi semakin mendekati, kemudian keadaan akan normal terkendali seiring keringat berkucuran. Sangat jelas teringat, aku pulang dengan perasaan yang luar biasa senangnya sampai-sampai bibir tersenyum di luar kendali sarafku.
Dalam perasaan gembira, pikiranku juga mencoba merangkai beberapa cerita. Cerita tentang mengapa aku dapat berdiri di barisan terdepan malam ini? Padahal dinginnya bangku mengaji masjid tak pernah kurasakan. Begitu juga hangatnya hukuman guru mengaji yang kudengar dari beberapa teman bermain. Akhirnya, kudapatkan dua momen yang sangat tajam. Aku sampai dapat masuk ke momen tersebut dan larut tenggelam di dalamnya.
Sewaktu kecil (Sekitaran 4-6 tahun) aku pernah menangis dan teriak sekencang-kencangnya di tengah lorong saat adzan magrib tiba. Aku dan dua kakak perempuanku berencana untuk belajar mengaji di Masjid Sultan, masjid kedua terdekat dari rumah, namun mereka kabur meninggalkanku yang telah siap dengan baju muslim berwarna putih, peci, dan sajadah.Â
Berontakku tak tertahankan sampai Mama mengambil buku tutorial mengaji (buku Iqra') lalu mengajarku dengan penuh kesabaran. Tiap selesai salat magrib, Mama mengajarku sampai ke part 3 dari buku Iqra. Kemudian karena dianggap telah mahir, maka aku dapat lanjut pada AlQuran besar surah Al-Baqarah.Â
Bacaanku stuck pada ayat 10 : "Fii Qulubihim...". Ayat 1-10 selalu diulangkan Mama padaku agar mahir. Â Ayat 11 terlalu sulit untukku yang pemula dan aku merasakan kenyamanan ketika lancar membaca beberapa ayat (ayat 1-10). Seolah sudah sangat mahir. Bacaan itu kupamerkan di manapun aku berada, kepada siapapun yang ada.
Kemudian momen selanjutnya, aku dalam kondisi berbaring terlentang di ruang tengah beralaskan karpet merah bunga-bunga. Mataku tertuju kepada Mama yang sedang membaca Quran di sofa ruang tamu. Sangat lama beliau duduk di sana.Â
Sangat teduh bacaannya. Dari seringnya Mama membaca AlQuran, ada keanehan yang kutangkap dan diakui oleh adik perempuanku, Nadia. Selain notasi nada yang sangat khas, volume mengaji Mama tergolong kecil namun dengungannya terdengar sampai seisi rumah di sudut manapun aku berada.Â
Keanehan itu sangat teruji, sebab lebih dari lima kali kubuktikan dan semuanya kembali ke hipotesa. Sejak saat itu, kuputuskan untuk belajar mengaji dengan nada persis seperti Mama agar dapat baik terdengar. Sebelum ngefans dengan Syaikh Mishary Al Afasy, ternyata saya pernah begitu begitu tergila-gila dengan nada bacaan Mama.
Semenjak saat itu, kuputuskan untuk mendalami ilmu membaca AlQuran untuk dipraktikkan di rumah seusai salat magrib. Dan Alhamdulillah, masih terjaga hingga sekarang. Rumah justru semakin ramai dan damai akibat bergabungnya beberapa saudara dalam Komunitas Mengaji Setelah Magrib di rumah yang dipelopori oleh Mama dan Bapak.Â
Semenjak menulis ini pula, dapat kusimpulkan bahwa peran Orang tua dalam memberikan pemahaman agama kepada anak terlalu vital untuk diserahkan hanya kepada guru agama di sekolahan. Menyampaikan dan mencontohkan sangat perlu sebagai tanggung jawab kepada Allah swt. atas titipanNya kepada setiap Orang tua. Jika menyampaikan saja tak cukup, maka contohkanlah.
Momen pertama di atas ialah proses Mama menyampaikan dan menyuruh agar tetap dan selalu lanjutkan bacaan, namun tak kupedulikan karena takut membaca yang sulit-sulit dan merasa nyaman pada surah Al-Baqarah ayat 10. Momen kedua ialah proses Mama mencontohkan kemudian kuserap dengan sepenuh hati. Sepenuh jiwa. Sudah tak takut yang sulit-sulit. Justru mencoba lebih dari beliau MESKI ITU SULIT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H