Mohon tunggu...
Andi MuhaiminDarwis
Andi MuhaiminDarwis Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah. Sebelum kenangan indah terbuang sia-sia. Hargai hidupmu lebih dari siapapun itu.

Teknik Sipil 2015, Univ. Muhammadiyah Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reklamasi untuk Siapa?

25 Maret 2019   12:34 Diperbarui: 25 Maret 2019   13:01 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencoba untuk lebih maju adalah keinginan setiap warga negara. Indonesia sebagai negara kepulauan tentunya menjadi lahan basah untuk melaksanakan proyek reklamasi. Berkaca dari Maasvlakte 1 dan Maasvlakte 2 di Belanda, serta melihat cerdiknya Singapura dalam memanfaatkan sumber daya alamnya, membuat sebagian wilayah di Indonesia tergiur untuk melakukan program yang sama untuk mengatasi permasalahan tertentu. Bukan hanya Indonesia, banyak negara lain yang ternyata meniru program tersebut dalam menanggulangi krisis pada bidang tertentu.

Melihat begitu banyaknya kasus di beberapa negara yang terselesaikan dengan reklamasi, maka seluruh warga negara tentunya tak boleh apatis ataupun antipati dengan kata 'reklamasi'. Jika melihat respon dari masyarakat, bisa disimpulkan bahwa rakyat Indonesia masih terlalu konservatif dalam memandang reklamasi. Padahal, semua sepakat untuk membuat Indonesia lepas dari ikatan 'negara berkembang'. Kaitannya adalah, selain pendapatan per-kapita, memiliki proyek reklamasi juga menjadi acuan dalam menyandang gelar negara maju.

Selain itu, proyek-proyek reklamasi yang dilakukan dapat mengubah secara signifikan berbagai aspek suatu wilayah. China dengan pantai Chao Fi Dian dan kawasan Songdo di Korea Selatan contohnya. Dengan reklamasi yang dilakukan, memberikan dampak ekonomi yang begitu signifikan yang mendorong kekuatan wilayah dan negaranya.

Laut yang ditimbun juga dapat menjadi mitigasi bencana agar tsunami dan air rob tak sampai ke sektor vital suatu wilayah. Di Belanda, mereka menggunakan lahan reklamasi sebagai rumah untuk satwa. Nelayan juga dapat beralih profesi menjadi lebih baik, juga dapat dimaksimalkan sebagai ruang terbuka hijau, dan membuat tata letak kota menjadi lebih baik dan estetik.

Atas dasar tersebut, gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menginisiasi daerah laut kota Makassar yang sebenarnya sudah dalam tahap finishing. Ada banyak keuntungan yang beliau tawarkan dalam berbagai kesempatan. Mulai dari mitigasi bencana, menambah fasilitas sosial dan fasilitas umum, ruang terbuka hijau, sampai upaya menyelamatkan aset negara sebelum diserobot oleh pihak lain. Dari tujuannya, ide ini tentunya sangat menarik melihat Pantai Losari amat rawan dari bencana tsunami, kota Makassar masih kurang akan ruang terbuka hijau, apalagi fasilitas umum (yang memadai dan berstandar nasional) yang tentunya akan sangat membanggakan jika dimiliki. Kawasan tersebut akan dinamakan Center Point of Indonesia.

Center Point of Indonesia berdasarkan edaran pemerintah, akan dibangun masjid dengan 99 kubah rancangan Kang Emil, Wisma Negara, Museum, kota modern baru dan terintegrasi dan lain-lain.

Awalnya saya bingung, mengapa sebagian besar masyarakat menolak mega proyek yang membuat Makassar jauh lebih unggul daripada kota lainnya. Namun, kadang memang kita harus mendengar isu-isu dari masyrakat agar dapat menganalisis masalah pemerintahan. Rupanya masyarakat memiliki ketakutan yang amat sangat dari penimbunan area Pantai Losari ini, baik dari bangunan yang direncanakan, pembagian jatah pemprov dan swasta, serta AMDAL. Kebanyakan masyarakat tidak setuju dengan proyek puluhan trilliun ini.

Masyarakat dengan profesi nelayan tentunya harus menerima kenyataan bahwa mereka harus mencari tempat lain agar mendapatkan ikan lalu menjajakan hasil tangkapan mereka. Biasanya, daerah CPI inilah yang menjadi lokasi garapan mereka sehari-hari. Namun kini, mereka harus mengeluarkan bahan bakar dan keberanian yang lebih untuk lebih masuk ke daerah laut, apalagi jika kondisi cuaca buruk. Ini juga berimbas sampai pada kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Sampai saat ini, komunikasi belum terjalin dengan baik dari pihak pemerintah dan nelayan mengenai masa depan mereka. Apakah proyek reklamasi bisa memakmurkan mereka jika telah jadi nantinya? Apakah bangunan-bangunan di atas laut tersebut mau mempekerjakan lulusan sekolah dasar? Sangat pantas jika mereka menggugat. Center Point of Indonesia ini bisa meningkatkan ekonomi wilayah dengan mengorbankan ekonomi kaum nelayan.

Tidak hanya itu, penurunan omset secara drastis dirasakan oleh penyedia jasa angkutan perahu dari Pantai Losari ke Pulau Lae-lae. "Jaraknya tinggal 300 meter. Dulu orang naik perahu, tapi sekarang sudah dibuatkan jembatan", ucap pekerja tersebut.

Jika menilik masalah AMDAL, pemerintah berdalih bahwa masalah tersebut telah rampung. Tetapi, jika melihat fakta lapangan, sepertinya hal ini tidak dianalasis dengan baik.  PT. Royal Boskalis yang dintenderkan oleh pemerintah telah mengangkut lebih dari 18.000.000 meter kubik pasir di laut Takalar. Ini menyebabkan abrasi besar-besaran di Takalar yang membuat 14 rumah dan bangunan lainnya rusak.

Warga yang mencoba berdemonstrasi, dilaporkan dan ditangkap petugas. Tercatat 3 orang yang telah ditangkap. Saya mulai ragu dengan niat mitigasi bencana oleh pemprov ini. Mungkin saja kota Makassar akan aman dari terjangan tsunami, namun mereka bagaimana? Untuk sekelas ombak laut yang normal saja mereka perlu berjuang keras untuk melawannya.

Sebenarnya reklamasi ini untuk siapa? Proyek ini belum selesai, namun sudah ditentang oleh masyarakat. Pemerintah beralasan bahwa ini upaya untuk melindungi masyarakat. Tetapi, melihat data dan fakta yang ada, justru lebih merugikan masyarakat. Jauh seperti Singapura, Belanda dan negara maju lainnya, mereka mengorbankan sesuatu untuk manfaat yang berkali-kali lipat.

Masuk ke persoalan inti, yang membuat emosi masyarakat melonjak adalah, proyek atas nama pemprov Sulawesi Selatan ini bisa dikatakan hanya sekadar nama. Lahan yang digarap adalah 157 hektare, sedangkan pemerintah hanya mendapatkan jatah 30% atau sekitar 50 hektare, yang akan dijadikan Wisma Negara, Museum, RTH, dan Coral Center. Lalu selebihnya? Bisa ditebak. Dikuasai oleh pihak PT. Ciputra Grup sebanyak 70% atau sekitar 107 hektare, yang akan dibangun CitraLand City Losari Makassar. What a sad fact! Nelayan dikorbankan, uang dihamburkan, rakyat tak dihiraukan, hanya untuk membangun sebuah kawasan mewah? Urgensinya apa?

Apakah manusia-manusia elit menengah ke atas tidak bisa hidup di tengah kota? Apakah mereka akan sakit jika jalan masuk ke perumahannya tidak melalui jalur yang amat panjang, yang dari jalan masuknya saja bisa dibangun puluhan bahkan ratusan rumah? Lobby seperti apa yang mereka gunakan untuk meluluhkan hati pemerintah agar mengizinkan mereka?

Mengingat janji pemerintah yang akan membangun kawasan olahraga, seperti baseball dan golf sangat membuat jijik semua orang. Orang miskin macam apa yang memiliki hobi bermain baseball dan golf? Semakin memperjelas bahwa fasilitas ini bukan untuk seluruh kalangan. Lagipula, untuk bermain golf dan baseball apakah sangat harus di atas laut? Sangat memiriskan. Kemudian, yang masih menjadi perbincangan adalah apakah fasilitas yang dibangun di tanah reklamasi itu dapat dinikmati tanpa biaya? Jika berbayar, silahkan nikmati sendiri. Jangan memanggil dan mempedulikan kami.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa CitraLand melanggar aturan UU No.10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Dengan Hunian Berimbang. Perumahan yang dibangun tidak boleh dengan rumah mewah saja. Harus seimbang atau diseimbangkan dengan rumah sederhana.

Dalam konteks reklamasi, ini juga melanggar Surat Edaran Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertahanan Nasional (Menag/KBPN) No: 410-1293, yaitu tanah reklamasi adalah tanah yang dikuasai Negara, bukan kepemilikan pribadi dengan sertifikat. Harus diingatkan kembali, bahwa itu adalah laut yang dijadikan daratan. Tentunya segala yang dibangun di atasnya adalah milik negara.

Beberapa problem di atas mestinya menjadi bahan evaluasi pemerintah, mengingat sudah terlalu banyak yang dikorbankan. (Pemerintah) harus dikembalikan pada tujuan sejati pembangunan Center Point of Indonesia ini. Rakyat pasti akan terima jika tidak ada "permainan" di dalamnya. Bukankah semua orang berkeinginan untuk maju?

Jangan mengorbankan alam dan rakyat untuk memuluskan jalan kaum kapitalis. Jangan memaksakan kebijakan demi hawa nafsu aneh mereka yang tak pernah habis. Kita memajukan Makassar dan juga Sulawesi Selatan bersama-sama. Pahlawan rela mempertaruhkan harta dan nyawanya untuk rakyat dan alam. Mengapa kita begitu rela melepaskan segalanya?

Untuk pembaca, semoga membuka pikiran kita semua. Kadang kita tidak merasakakan dampak dari reklamasi sehingga kita apatis dengan semuanya. Berhubung kawasan CPI sudah hampir rampung, maka tugas kita adalah menagih solusi dari pemerintah kepada pihak yang dirugikan, mengawasi dengan sebaik mungkin fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dijanjikan pemerintah agar tetap dapat dinikmati secara gratis, serta sama-sama menghambat pengembang-pengembang tak jujur yang ingin menguasai segalanya dengan kekuatan rupiah. Kita memiliki tanggungjawab yang sama dalam hal ini.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun