Mohon tunggu...
Andi MuhaiminDarwis
Andi MuhaiminDarwis Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah. Sebelum kenangan indah terbuang sia-sia. Hargai hidupmu lebih dari siapapun itu.

Teknik Sipil 2015, Univ. Muhammadiyah Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Catatan Kecil untuk Debat Cawapres 2019

21 Maret 2019   16:35 Diperbarui: 21 Maret 2019   16:43 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belasan tahun kita telah merasakan pahitnya memilih pemimpin dengan mengedepankan rasa hormat (karena jasa ataupun uang yang telah diberikan). Menghormati lalu merepresentasikan seorang pemimpin hanya karena kejujuran sangatlah lemah apabila dijadikan sebab. Masih butuh keterampilan mengatur, membuat, dan berinovasi, serta intelektualitas apabila ingin mencapai ideal.

Apapun pembelaannya, maka adab yang menyimpang dari tempatnya ini tidak bisa dibenarkan. Tunduk kepada guru adalah adab yang tentunya baik. Tetapi, dalam konteks pemilihan umum mereka dipilih bukan sebagai guru. Namun sebagai pemimpin dan penentu kebijakan. Sebenarnya kita harus sadar, bahwa posisi rakyat ibaratnya kepala sekolah yang mengevaluasi guru. 

Bukan lagi sebagai siswa yang didikte oleh guru. Posisi itulah yang terlupakan oleh rakyat dalam konteks pemilihan umum. Jika itu tetap dilakukan, maka bersiaplah menghadapi sistem pemerintahan semi-diktator. Mengapa? Rakyat tidak memiliki kekuatan dalam mengkritik serta mengawasi pemerintah, selayaknya siswa yang selalu saja tunduk dan taat pada gurunya. Jika seperti itu, berarti era kepemimpinan Soeharto lebih maju daripada saat ini.

Pembaca yang terhormat, marilah memahami kembali esensi dari banyaknya sesi debat yang dihadapi, bahwa tujuannya adalah mengukur kapasitas calon pemimpin sebagai acuan dalam memilih. Jika rakyat Indonesia tetap taqlid buta serta tidak mengesampingkan rasa hormat dan segan dalam konteks memilih pemimpin, lalu apa gunanya debat yang menghabiskan uang negara? Toh, yang tua tetaplah menjadi pemenang. Umur tetap menjadi acuan dalam memilih. Dan arah suara tak akan berpindah.

Untuk seluruh orang yang marah terhadap tulisan ini, itulah bodohnya kita dalam berpikir. Modernitas zaman tidak sebanding dengan modernitas kerangka berpikir. Membiarkan emosi lebih melunjak dan mendominasi diri daripada intelektualitas. Seolah fisik lebih menentukan daripada visi.

Saya hanya berupaya objektif dan logis dalam memilih. Bukan untuk membela satu kubu dan menyempitkan langkah kubu yang lain. Tulisan ini hanya curahan opini dari seorang yang ingin melihat Indonesia maju dari sudut tersempit.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun