Kasus pembunuhan yang terjadi di Sampang, Jawa Timur pada November yang lalu adalah kulminasi dari sakitnya demokrasi di Indonesia.Â
Hanya karena perbedaan pasangan calon, kemudian nyawa dengan mudahnya melayang. Kasus ini harusnya membuat kita terpukul dan merenungkan kembali esensi dari pemilihan presiden yang akan kita laksanakan ke depan. Kita selalu saja begitu. Terlalu menyoroti teknis namun lupa esensi.
Dari segi demokrasi, ini tentunya kemunduran dan harus segera kita benahi. Pandangan yang terlalu fanatik kepada subjek dan fokus kepada kekurangan lawan semestinya kita kurangi. Terbukti di dalam dua kali diselenggarakannya debat kandidat, kedua kubu pendukung saling mengklaim kemenangan.Â
Padahal seharusnya, dari sebuah debat selalu ada satu kubu yang menang. Kubu yang tidak menonjol di dalam debat berusaha terlihat menang dengan sarkasmenya. Yang menang sibuk menghina kesalahan pasangan calon yang lain. Budaya buruk seperti inilah yang membuat kita terpecah. Barisan sakit hati akan terus ada seiring budaya saling menghina masih terus digalakkan.Â
Pembaca yang terhormat, lebih teduh dan santai dalam diskusi tentang kontestasi sangatlah diperlukan. Rakyat Indonesia harus dewasa dalam menghadapi event ini. Perlu diedukasikan kembali bahwa membalas sebuah fakta dengan kalimat sindiran yang sarkas adalah budaya buruk. Sama sekali tidak mengarah kepada kemajuan dalam berpikir.
Kita jangan menjadi orang yang bodoh dengan menjadikan diri sebagai tameng yang amat kuat untuk sebuah pemilihan presiden yang sementara. Debat kandidat sudah pada jilid ke dua.Â
Segalanya akan berakhir. Lantas bagaimana dengan hubungan kita? Apakah setelah pilpres semua hubungan akan kembali kepada sediakala? Sudahlah, tak usah terlalu serius. Toh, siapapun yang naik akan menjadi bahan demonstrasi mahasiswa.
Faktor dukung mendukung adalah kebebasan individu, namun apabila memecah belah persaudaraan, kita hanya menjadi korban politik. Visi dan misi masing-masing pasangan adalah hal utama yang akan mengubah Indonesia ke depan. Sayangnya, saya tak melihat hal itu dalam kebanyakan perbincangan masyarakat.
 Sekadar pengingat, Indonesia dahulu memiliki banyak kerajaan yang hidup arif dan rukun. Lalu terpecah dan saling berperang hanya karena hasutan dan cerita-cerita bohong yang beredar. Pengalaman ini yang harusnya menjadi reminder bagi seluruh pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi.Â
Haruskah selalu ada korban dalam setiap pemilihan? Apabila iya, maka saya lebih memilih menutup diri dari segala hal yang berbau pemilihan.
Teman-teman sekalian, mari kita jaga kesehatan dan kedewasaan kita dalam berpikir. Pesta demokrasi seperti ini adalah hal yang sangat diimpikan oleh manusia zaman orde baru. Maka semangat demokrasi ini jangan kita cederai dengan berbagai hal yang tidak produktif. Terlepas dari semuanya, patut diapresiasi bahwa kita semua adalah orang yang peduli terhadap pemimpin.