Debat kandidat calon presiden dan wakil presiden episode kedua telah usai. Berbagai manuver dan strategi politik telah dilakukan oleh kedua pasangan calon. Mulai dari menggaet ulama, mendatangi tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh, safari politik dan membuat konsolidasi yang berbuah koalisi.Â
Pilpres bisa diibaratkan apa saja. Pisang goreng karena renyah dan panas ; Coto Makassar karena pedas dan membuat kenyang ; bisa juga kopi yang pahit namun tetap dinikmati. Ya, begitulah. Pemilihan presiden selalu saja menjadi topik menarik untuk didiskusikan.Â
Tak jarang, kontestasi seperti ini melahirkan figur-figur baru di dalam hangatnya masyarakat. Dari kaum intelek yang baru terekspos, sampai tukang becak yang tiba-tiba menjadi orang yang paling paham soal politik. Itulah dinamika sosial yang terjadi di masyarakat dalam semangat berdemokrasi.
Sayangnya, beberapa waktu ini Indonesia dihadapkan dengan beberapa problem yang mencederai semangat berdemokrasi. Bukan hal yang baru di Indonesia bahwa kadang dalam rangka pemilihan presiden, masyarakat saling menyerang satu dengan yang lainnya.Â
Mulai dari saling melempar opini, sampai saling menggeser nyawa. Indonesia belakangan ini disuguhkan dengan black campaign yang menjadi awal sakitnya politik di Nusantara.Â
Tanpa terasa black campaign ini menjangkiti pemikiran masyarakat yang awalnya berorientasi memajukan Indonesia (objektif), sampai pada mati-matian memajukan pasangan calon (subjektif) tanpa terlalu mempedulikan visi dan misi dalam berkontestasi.Â
Dari black campaign ini, muncullah budaya-budaya tak sehat di dalam masyarakat dalam menghadapi pemilihan presiden. Apabila diperhatikan, arah diskusi warung kopi sampai diskusi formal sudah mengalami pergeseran. Mereka sibuk dalam melihat kekurangan masing-masing calon. Tidak terfokus dengan apa yang sebenarnya ingin dikerjakan.
Tanpa disadari, tidak fokusnya masyarakat dalam melihat visi ke depan ini yang membuat banyak kasus politik di masyarakat itu sendiri. Terkadang beberapa orang yang awalnya teman sepergaulan yang berkumpul seperti biasa, tiba-tiba saat membahas kandidat, mereka saling menyindir satu sama lain dengan kumpulan satire yang ia miliki sehingga membuat keduanya tertawa namun menyisakan luka di hati.Â
Tidak hanya itu, diskursus kelas menengah ke bawah lebih terfokus pada fitnah dan kejelekan pasangan calon yang berujung kepada saling menjelek-jelekkan satu sama lain. Saya terkadang heran, tiba-tiba sosok Jokowi dikatakan kafir, padahal beliau jelas beragama Islam pada KTP(Kartu Tanda Penduduk)nya.Â
Beliau juga sesekali dikatakan orang bodoh. Orang bodoh mana yang  secara kebetulan menjabat menjadi presiden dalam mekanisme yang panjang? Kadang juga sosok seperti Prabowo dikatakan sebagai orang yang tidak bisa memimpin dan masih minim pengalaman.Â
Sayangnya, Prabowo adalah mantan Komandan KOPASSUS(Komando Pasukan Khusus). Apabila kita cermati, pembicaraan seperti ini lahir dari sebuah black campaign dan pribadi yang terlalu fanatik serta subjektif.