Momen kelulusan memang istimewa. Ini adalah momen yang ditunggu banyak pihak yaitu siswa, guru, orang tua, dan pihak-pihak lain. Sebagai momen istimewa, berbagai pihak tersebut ingin merayakannya dengan cara yang paling berkesan.
Bagi siswa yang bersangkutan, momen ini merupakan salah satu fase penting dalam hidupnya. Bagaimana tidak? Dinyatakan "Lulus" atau "Tidak Lulus" berkaitan dengan perjuangan selama tiga tahun belajar di jenjang SMP atau SMA dan berkaitan dengan masa depan ke jenjang selanjutnya. Tambahan pula, mereka telah melewati sebuah "hajatan besar" yang disebut Ujian Nasional. Ujian Nasional seakan telah menguras energi siswa demi menunjukkan pencapaian kemampuan akademisnya.
Sayangnya, tidak semua momen kelulusan yang seharusnya bertabur rasa syukur itu dilewati dengan sewajarnya. Memang, tak sedikit siswa yang menyambut kelulusannya dengan kegiatan yang positif seperti menyumbangkan buku dan baju saragamnya. Akan tetapi, masih saja ada siswa-siswi di berbagai pelosok negeri ini yang berlebihan merayakannya. Bahkan, cenderung ke kegiatan yang negatif. Kita dapat melihatnya, baik di media massa ataupun di sekitar kita sendiri. Setelah mendapat informasi bahwa dirinya lulus, siswa-siswi mewarnai seragam dan tubuhnya. Lalu, mereka berkonvoi dengan sepeda motor dan di antaranya ada yang tanpa helm. Bahkan, ada yang sambil menenggak minuman keras.
Sebenarnya, orang-orang yang melihat kelakuan siswa-siswa tersebut hanya mengeleng-gelengkan kepala. Masih banyak hal yang harus dipikirkan dan dikerjakan setelah lulus. Hanya siswa-siswi yang tidak tahu mau ke mana setelah luluslah yang bersenang-senang berlebihan dengan kelulusan mereka. Siswa-siswi yang sudah memiliki planning pasti langsung disibukkan dengan berbagai kegiatan. Mereka menganggap perayaan euforia itu hanya membuang waktu, tenaga, dan biaya. Lulus berarti masuk ke perjuangan selanjutnya.
Himbauan untuk tidak corat-coret seragam, berkonvoi, dan lain-lain sudah gencar dilakukan. Namun, itu semua kembali pada siswa yang bersangkutan. Justru, pada saat kelulusan itulah akan terlihat "berhasil/tidaknya" pendidikan karakter selama ditempa pendidikan formal.
Bangga dan lega memang itulah yang dirasakan. Guru dan orang tua sampai menangis haru begitu mendengar kabar "lulus" itu. Mungkin, guru-guru dan orang tua kita pun telah menangis jauh sebelumnya, dalam doa-doa panjangnya di kesunyian malam. Lantas, pantaskah bila pada saat yang seharusnya bertabur rasa syukur dan terima kasih pada orang-orang yang menyayangi kita, kita malah tenggelam dalam euforia yang penuh kesia-siaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H