*Jakarta, 17 September 2023* - Kehidupan seringkali mempersembahkan cerita-cerita inspiratif yang tak terduga. Salah satu di antaranya adalah kisah hidup Luh Putu Sugianitri, atau yang akrab dipanggil Nitri, seorang perempuan muda yang menjalani perjalanan hidup yang penuh drama dan pengabdian dalam sejarah Indonesia.
Pada dekade 1960-an, Nitri terpilih dalam sebuah audisi yang tidak biasa, untuk menjadi salah satu ajudan Presiden Soekarno. Audisi ini mensyaratkan para kandidatnya untuk memiliki kemampuan menari tradisional Bali, sesuai dengan keinginan Presiden untuk bisa juga turut berpentas menari di hadapan tamu negara. Bagi Nitri, ini adalah awal dari kisahnya sebagai seorang ajudan pribadi di istana
Setelah diterima, dengan semangat, Nitri menjalani pelatihan dan pembekalan untuk menjadi seorang polisi wanita sampai siap mengemban semua tugas. Namun, rupanya perjalanan sebagai ajudan pribadi pada saat itu tidak seperti apa yang sebelumnya ada di bayangan.
Nitri harus menyaksikan berbagai ketidaknyamanan yang dialami Presiden Soekarno dengan penuh kesabaran. Mulai dari perlakuan tidak baik selama masih tinggal di istana, diturunkan dari kursi presiden, hingga masa pembuangan di wisma pengasingan.
Beberapa kali Nitri mempertanyakan langsung mengapa Presiden Soekarno hanya diam mendapati perlakuan seperti itu, tapi dia selalu mendapati jawaban yang sama, “Lebih baik aku mati, kurobek diriku sendiri daripada negaraku hancur”.
...
Sementara itu, di tempat lain pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda miskin dari Sukabumi bernama Memet Slamet tiba di Jakarta berkat bantuan pamannya yang memiliki jabatan sebagai kepala di sebuah perusahaan negara. Karena sering diajak bergaul di berbagai acara bersama jejaring kerja dan pertemanan pamannya itulah, Memet bisa bertemu dengan salah satu putra presiden, yaitu Guntur Soekarno Putra.
Banyak kesukaan yang sama yang kemudian membuat intensitas pertemuan keduanya menjadi tinggi, terutama soal selera bermusik. Guntur suka bermain gitar, dan Memet suka bernyanyi dengan suaranya yang bagus. Berikutnya, hubungan keduanya berangsur menjadi persahabatan yang erat. Terbayang betapa beruntungnya Memet, pemuda sederhana dari kampung mendapati kesempatan menikmati hidup dengan fasilitas yang sama seperti seorang anak presiden.
Kembali ke situasi yang semakin sulit saat Presiden Soekarno direnggut statusnya di istana. Ketika Soekarno tidak lagi menjadi presiden, status kerja Nitri kepada Soekarno pun terhenti dan harus melanjutkan tugas menjadi ajudan keluarga presiden berikutnya. Nitri bersikukuh menghindar karena dia merasa sakit hati dengan semua perlakuan pada Soekarno yang selalu dia saksikan setiap hari.
Sebagai solusi, Presiden Soekarno dan Guntur Soekarno Putra akhirnya berinisiatif menjodohkan Nitri dan Memet. Dengan alasan pernikahan ini, Nitri akhirnya berhasil mengakhiri kariernya sebagai polisi, dan berikutnya mereka dikaruniai tiga orang anak.