Ada sebuah realita yang terkadang tidak disadari oleh sebagian orang. Bahwa, mereka sering kali menilai sesuatu hanya dari yang nampak. Sedangkan sesuatu yang tak nampak mereka abaikan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya jangkau indera manusia yang tak mampu menembus demiensi esensial yang ada di balik setiap benda serta fenomena.
Oleh sebab itu, yang dinilai hanya hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata. Bukan lagi persoalan hati dan jiwa yang terdidik untuk bersikap qanâ’ah. Namun, yang terus dikejar adalah kepuasan hasrat dan nafsu. Harta yang banyak melimpah, jabatan tinggi, kekuasaan, ketenaran dan lain sebagainya. Potret inilah yang kini disadari atau tidak yang tengah merebak di masyarakat kita.
Dalam konteks dunia pendidikan pun, saat ini kita dapat melihat betapa sebagian orang tua (untuk tidak mengatakan semuanya) berusaha mengarahkan putra-putrinya untuk dapat belajar di sekolah-sekolah umum nan elit, yang konon katanya lebih menjanjikan masa depan. Sekolah-sekolah berbasis keterampilan, yang mengedepankan pembinaan skil tertentu juga banyak menjadi sasaran. Sebaliknya, sekolah-sekolah berbasis pesantren, yang lebih banyak berkutat pada ilmu-ilmu keagamaan kini nampak dikesampingkan.
Lebih parahnya lagi, kita sempat mendengar isu maupun opini dari sebagian orang bahwa, pesantren atau ma’had merupakan tempat pengkaderan para teroris. Sungguh ini sangat ironis dan jauh dari fakta. Benarkah sekolah-sekolah berbasis pesantren, atau bahkan pesantren murni yang tidak memiliki lembaga sekolah formal memang tak mampu menyiapkan para santrinya untuk dapat bersaing di kancah global? Sebuah pertanyaan yang memantik hati untuk lebih jauh menelusuri.
Untuk dapat menjawab pertanyaan tadi, sesungguhnya kita tak perlu terlalu susah meneliti. Cukuplah kita melihat realita yang ada di masyarakat, bahwa tak sedikit para alumni pesantren yang sukses dalam berkarir di berbagai bidang. Tak hanya dalam ranah keagamaan saja, namun banyak di antara para santri yang kemudian sukses dalam bidang ekonomi, menjadi pengusaha sukses, bahkan ada juga yang terjun dan berkarir di kancah politik.
Pesantren, atau sekolah-sekolah berbasis asrama, ma’had dan istilah-istilah lainnya, sesungguhnya merupakan model paling ideal dalam konteks dunia pendidikan. Di mana para siswa atau santrinya tinggal di sebuah tempat tertentu yang didesain selain sebagai tempat tinggal sehari-hari, juga sebagai wadah pengembangan potensi diri. Tak bisa dipungkiri, bahwa hasil yang baik diawali dari proses yang baik pula. Nah, dengan adanya kehidupan yangkondusif dan terkontrol, para siswa ataupun santri diharapkan bisa lebih fokus dan intens dalam belajar dan mengasah potensinya.
Selain itu, mereka juga diajarkan sikap kemandirian. Berbeda halnya jika para siswa tinggal di rumah masing-masing, mungkin proses pendewasaan dan kemandirian akan berjalan lebih lambat dari siswa yang tinggal di pesantren. Sebab, mereka tak bisa selalu mengandalkan orang tua, namun mau tidak mau harus belajar bagaimana mengurusi diri sendiri. Proses inilah yang sesungguhnya secara alamiah akan menempa jiwa para siswa dan santri untuk lebih mandiri dan kreatif.
Fakta lain yang kita dapatkan adalah, bahwa dengan kebersamaan yang terjalin antar santri di asrama atau pesantren, telah melahirkan sebuah harmoni dan dinamika yang positif dan konstruktif. Mereka akan dapat saling membantu dan berbagi, dalam hal materi-materi pelajaran, serta beragam keterampilan. Di sinilah proses pembelajaran yang sesungguhnya terjadi. Tutor sebaya atau belajar dengan sesama teman akan menjadi faktor pendukung keberhasilan siswa atau santri dalam bidang akademik.
Potensi, bakat dan keterampilan juga merupakan satu poin penting yang tak terlupakan dalam dunia asrama atau pesantren. Di sinilah potensi-potensi terpendam santri digali dan diasah. Selain kemampuan ilmu pengetahuan agama, melalui berbagai macam media, baik dakwah langsung dengan lisan maupun tulisan, di pesantren juga dikembangkan bakat-bakat santri di bidang kesenian dan pelatihan wirausaha. Seni rupa yang meliputi kaligrafi, lukis, dan lain sebagainya. serta seni musik, baik elektrik maupun perkusi. seni peran seperti drama, teater, pantomim, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, kebersamaan yang terjalin di asrama atau pesantren inilah yang sesungguhnya menjadi faktor pendukung para siswa dan santri untuk dapat mengembangkan potensi diri. Karena, dalam kebersamaan itulah terjadi proses saling belajar di antara mereka. yang tak kalah penting dari itu, bahwa dalam lingkungan asrama atau pesantren inilah tercipta sebuah harmoni keselarasan dan keseimbangan, antara duniawi dan ukhrawi.
Maka melalui sedikit gambaran ini, setidaknya prasangka negatif tentang eksistensi dan fungsi pesantren bisa direvisi. Bahwa pesantren bukanlah lembaga atau institusi mandul yang tak mampu mencetak bibit unggul. Pesantren juga bukan sarang teroris. Namun pesantren justru mengajarkan kesantunan, kesederhanaan, toleransi, kemandirian, serta kearifan. Kebersamaan yang membawa berkah. Kebersamaan yang menjadi energi positif terasahnya beragam potensi. Maka, masihkah bentuk fisik pesantren yang sebagian terlihat lusuh, sederhana, penuh keterbatasan, akan dijadikan standar penilaian? Ataukah, manusia akan kembali berfikir dan merenung, bahwa hakikatnya segala yang nampak berasal dari Yang Tak Nampak? Berkah, terkadang memang tak nampak di depan, seketika, tapi akan membawa sebongkah manfa’at di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H