Dengan mengubah skema pemilihan presiden menjadi berbasis satu provinsi satu suara, kita dapat lebih mempertegas nilai dan prinsip desentralisasi ini. Setiap provinsi akan memiliki suara yang setara, memastikan bahwa tidak ada daerah yang merasa diabaikan atau terpinggirkan dalam pemilihan presiden. Ini akan membantu menguatkan ikatan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah di seluruh negeri.
Semakin kuat asas desentralisasi, maka hal ini dapat mengurangi dominasi wilayah terpadat, dimana tiap-tiap daerah diberikan kewenangan lebih dalam mengelola fungsi manajemen dan administrasi.
Dikarenakan dalam sistem pemilihan presiden berbasis suara mayoritas nasional, kandidat presiden cenderung berfokus pada kampanye di daerah dengan populasi terbesar seperti Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi. Ini bisa mengakibatkan ketidaksetaraan dalam pemberian perhatian dan sumber daya kepada daerah-daerah yang lebih kecil dan terpencil.
Dengan sistem satu provinsi-satu suara, perhatian akan jauh lebih merata terdistribusi. Para kandidat akan dipaksa untuk berkomunikasi langsung dengan pemilih di seluruh wilayah, bukan hanya di wilayah yang memiliki populasi besar.
Masalah sistem pemilu presiden yang dilakukan selama ini menyebkan rendahnya partisi politik di beberapa daerah karena merasa termarjinalkan, misalnya saja di 2019 lalu, Papua, Papua Barat dan NTT dilaporkan memiliki tingkat partisipasi politik yang paling rendah. Sehingga dengan adanya sistem satu provinsi-satu suara dimungkin bisa mendorong partisipasi politik lokal menjadi lebih tinggi.
Selain itu, pemilihan presiden dengan sistem yang ada saat ini sering kali memusatkan perhatian pada figur nasional tanpa banyak peran bagi pemimpin lokal. Dengan skema baru ini, setiap tokoh di berbagai provinsi akan memiliki kesempatan untuk tampil dan mendorong mereka untuk lebih aktif dalam politik nasional.
Implementasi sistem ini juga dapat meningkatkan responsifitas terhadap isu lokal, seperti halnya yang saya singgung di awal-awal tulisan tentang kasus-kasus yang terjadi di luar pulau jawa, yang tidak masuk dalam diskusi politik nasional.
Yang menjadi tantangannya, tidak mudah untuk melakukan perubahan terhadap suatu perundang-undangan. Dibutuhkan kemauan dan kekuatan politik yang besar, karena jalan satu-satunya untuk mewujudkan ide ini hanya bisa dilakukan lewat jalur parlemen legislatif sebagai lembaga pembentuk UU.
Banyak yang berpendapat, dikarenakan sistem birokrasi pemerintahan kita yang masih belum kuat, implementasi skema ini dikhawatirkan dapat memunculkan potensi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah daerah, seperti misalnya memanfaatkan kekuasaannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan dengan menggunakan fasilitas dan wewenang mereka dalam mendukung kandidat tertentu dengan cara-cara yang tindak etis.
Namun dalam hemat saya, masalah seperti itu tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga terjadi di pusat, sehingga potensi penyalahgunaan ini dapat diminimalisasi dengan memperkuat sistem pemantauan dan pengawasan selama tahap pemilihan berlangsung, atau mungkin dengan menggunakan teknologi modern yang lebih efektif dan efisien.
Pada akhirnya, dalam keseluruhan analisis dan argumentasi dalam tulisan ini, ide perubahan skema pemilihan presiden ini semata-mata hanyalah harapan dalam rangka untuk memperkuat demokrasi Indonesia, dan memastikan bahwa semua rakyat Indonesia di berbagai daerah memiliki suara yang terwakilkan secara setara dalam pemilihan presidennya sebagai pemimpin nasional. Dan karena penjelasan yang masih kurang mendalam, serta data dan referensi yang masih minim, sehingga masih perlu didiskusikan lebih jauh, terutama pada sisi implikasi negatif dari skema ini.*