Mohon tunggu...
Ikky Z
Ikky Z Mohon Tunggu... Penulis - Writer/Jurnalis

Hobi saya adalah membaca, menulis, dan bermain bola. Saya juga tertarik sama isu-isu politik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Simbolik dalam Institusi Pendidikan, Membunuh Nalar Kritis?

16 Agustus 2024   14:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   14:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pendidikan/Istock

 

Ya, kita semua mungkin sepakat bahwa dalam ruang kelas (pendidikan) idealnya orang bebas dalam berpendapat dan berargumen, selama itu ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan. Namun, apakah hal demikian sudah terwujud?

Sebelum menjawab itu, alangkah elok jika saya memberikan argumentasi awal terkait dengan relasi kuasa seperti pada tema diatas. Dalam banyak literatur, salah satu tokoh yang secara tajam menjabarkan tentang relasi kuasa ialah Michael Foucalt, mulai dari relasi kuasa dengan kegilaan, relasi kuasa dengan seks, hingga relasi kuasa dengan pengetahuan.

Lebih lanjut, saya akan memberikan uraian singkat pada relasi kuasa dengan pengetahuan dalam hal ini dibangun dalam sistem pendidikan. Menilik apa yang diuraikan oleh Foucalt, bahwa dalam setiap tindak tanduk manusia lebih spesifik dalam pengetahuan bisa diteropong bahwa siapa memiliki kekuasaan (otoritas) maka dialah yang akan mendominasi setiap wacana dan kebenaran dalam pendidikan.

Lantas, bagaimana relasi kuasa itu bermain dalam sistem pendidikan (kuliah)?. Suatu hari, dalam bangku kuliah salah seorang dosen yang saya kagumi menjelaskan tentang relasi kuasa itu. Singkat cerita, dalam paparannya ia mengungkapkan bahwa setiap dari manusia dalam dirinya ada keinginan untuk menguasai orang lain.

Pratktik bahasa yang digunakan baik verbal maupun non verbal, disitu ada upaya dan rasa ingin membuat seseorang harus mendengar, menilai hingga menerima  serta sepakat dengan apa yang kita utarakan. Sebenarnya, hal demikian sah-sah saja tetapi yang perlu diwaspadai ialah jangan sampai kebenaran pengetahuan bukan lagi mengacu pada kebenaran itu sendiri tetapi kebenaran disadarkan hanya berdasar pada otoritas (kekuasaan) atau karena jabatannya, dan itulah bahaya dari relasi kekuasaan dengan pengetahuan.

Mengapa kita mesti waspada dengan relasi kuasa dan pengetahuan?. Salah seorang pemikir/filsuf kritis dari Prancis yaitu Piere Bourdie pernah menggaungkan suatu teori yang disebut kekerasan simbolik.

Secara sederhana kekerasan simbolik ini dipahami sebagai suatu kondisi dimana seseorang merasa bersalah padahal dia tau dirinya tidak bersalah, tetapi karena ada otoritas pada orang lain sehingga ia menerima pengkodisian tersebut dan praktek itu tumbuh subur dan menjamur dalam sistem pendidikan kita.

Misalnya, suatu hari kamu ada janjian bimbingan skripsi/tesis  dan dosen pembimbingmu menjanjikan bahwa revisi skripsi/tesismu akan selesai pada hari kamis. Singkat cerita, pada hari kamis  kamu menanyakan pada dosen tersebut tapi yang terjadi si dosen tersebut malah mengatakan kamu pikir hanya skripsi/tesismu yang saya urus.

Saat dirimu menerima dan dibuat merasa bersalah, maka sebenarnya kamu sudah terpapar apa yang disebut dengan kekerasan simbolik. Sabab, kamu berada dalam pengkodisian bersalah karena kamu takut karena si dosen memiliki otoritas (kekuasaan) apalagi diberikan ancaman nilai eror.

Ya, tentu dalam konteks ini tidak bisa digeneralisasikan semua pengajar/dosen. Tetapi, kita tidak bisa juga menutup mata bahwa praktek demikian tumbuh subur dalam sistem pendidikan dan dilakukan oleh mereka yang saya sebut sebagai ‘oknum dosen/pengajar’.

Ilustrasi diatas memang nampak sederhana dan persoalan yang kecil. Tetapi jika hal demikian terus dipelihara dan dinormalisasi dalam sistem pendidikan kita, maka berpotensi ‘membunuh nalar kritis para pelajar/mahasiswa’.

Olehnya narasi yang faqir ini dimaksudkan  untuk memberikan alarm/peringatan bisa juga sebagai refleksi bahwa mari kita menata ulang sistem pendidikan kita dengan memberikan kebebasan kepada para pelajar/mahasiswa untuk tetap berfikir kritis serta menghilangkan apa yang disebut praktik-praktik kekerasan simbolik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun