Masih melekat dalam ingatan saya, pernyataan almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi pembicara pada Haflah Khatm al-Qur'an (Peringatan Khataman Al-Quran) di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta tahun 1996. Waktu itu Orde Baru masih berkuasa, dan saya adalah remaja SMP yang turut menjadi bagian dari peserta khataman.
Dalam acara akbar tahunan itu, Gus Dur mengatakan bahwa pada setiap pemilihan umum warga NU (Nahdliyyin) seperti orang yang sedang memandang bintang di siang hari. Tentu saja, hal itu sangat mustahil dan melelahkan. Lalu, untuk menghilangkan rasa lelah itu, mereka berteduh di bawah pohon beringin. Ketika baru saja berteduh dan belum cukup hilang rasa lelahnya tiba-tiba mereka diseruduk banteng.
Pernyataan Gur Dur ini, sontak membuat tertawa jamaah yang hadir. Rupanya, tertawa memang mudah menular dan menjalar. Sehingga, saya pun yang tak paham persoalan politik saat itu tetap saja terbawa oleh suasana.
Pernyataan Gus Dur yang telah saya kemukakan tidak lepas dari kondisi sosial-politik pada masa itu. Di masa Orde Baru, republik ini masih memiliki tiga partai politik. Bintang dalam pernyataan Gus Dur adalah lambang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara, pohon beringin adalah lambang dari Golongan Karya (Golkar). Sedangkan kepala banteng adalah lambang dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Di panggung sejarah politik negeri ini, NU (Nahdlatul Ulama) begitu sensual dan eksotis, sehingga menarik perhatian dan membangkitkan libido kekuasaan kalangan politisi. Pada setiap menjelang pemilihan umum, NU dan warganya selalu menjadi target perolehan suara. Ironis dan memang menyedihkan, seringkali warga NU diperlakukan sebagaimana orang yang sedang mendorong mobil mogok, begitu mobil dapat bergerak dan melaju, mereka ditinggalkan di tempat.
Di mata politisi, sepertinya NU ranah terbuka yang menarik untuk dieksploitasi secara politis. Sejarah juga mencatat bahwa negara ini pun berulangkali melakukan tindakan diskriminatif dan menjadikan NU sebagai obyek malpraktek dalam pengelolaan kekuasaan. Meski sering terzalimi, NU dan warganya tak pernah tanggung dalam memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara ini. Bagi NU, Pancasila dan NKRI adalah harga mati.
Tingkah para politisi dan tim suksesnya selama ini betul-betul dagelan memuakkan. Saya berungkali menjumpai berbagai bentuk eksploitasi terhadap NU di beberapa iklan politik yang dilakukan oleh partai-partai yang bukan berbasis Nahdliyin. Sebagaimana diberitakan banyak media, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pernah memasang foto beberapa tokoh NU untuk iklan partainya. Tentu saja, bukannya mendapat simpati, hal ini malah menuai kecaman dari kalangan Nahdliyin.
Aneh juga rasanya, jika tahun lalu Anis Matta bersama jajaran pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan ziarah ke makam Sunan Kalijaga dan tahlilan bersama takmir Masjid Agung Demak (Tempo: Rabu, 03 April 2013 15:45 WIB dan Kamis, 04 April 2013 10:29 WIB). Alasan apapun yang melatarbelakanginya (selain untuk kepentingan meraih simpati Nahdliyin) tentu tidak dapat diterima nalar sehat. Karena itu, berburuk sangka (su'u al-dzan) terhadap para politisi menjadi wajib hukumnya.
Manuver politik kader-kader PKS untuk meraih simpati Nahdliyin adalah fakta yang paling mencolok dibanding partai-partai lain. Meskipun dalam perspektif politik itu merupakan hal biasa yang tidak terlalu populer. Barangkali, perbedaan ideologi dakwah dan faham keagamaanlah yang menyebabkan langkah politik PKS dalam meraih suara di kantong Nahdliyin dianggap ngawur dan tidak mengedepankan etika. Etika adalah paradigma yang tidak bisa dilepaskan dari kultur keagamaan Nahdliyin. Sementara PKS adalah partai baru yang tidak pernah memberikan kontribusi bagi NU dan Nahdliyin.
Para politisi seringkali menghalalkan semua cara untuk meraih tujuan. Beberapa politisi ada yang mencari suara melalui acara-acara keagamaan. Ada politisi yang mencari dukungan publik dengan mendatangi pengajian umum. Ada juga yang menyelenggarakan pengajian sendiri sebagai modus kampanye. Ini bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Bahkan partai-partai sekuler pun berebut suara melalui cara ini.
Beberapa waktu lalu saya terkejut saat menyaksikan tayangan berita kampanye Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di salah satu televisi swasta. Kampanye tersebut menampilkan penyanyi dangdut berbusana seksi yang berjoget di atas panggung dengan background foto Hadrat al-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Rupanya, ini lebih parah dari PKS. PKB seolah-olah rela menelanjangi diri sendiri di hadapan khalayak dengan mengorbankan figur tokoh-tokohnya. Meski berulangkali menyatakan khittah-nya, lagi-lagi NU menjadi korban syahwat politik sebagian warganya.