Mentari pagi baru saja mengintip di ufuk timur ketika debu-debu padang pasir Arabia mulai terusik. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid bergerak perlahan namun pasti menuju tanah Yamamah. Di kejauhan, mereka bisa melihat bayangan samar benteng-benteng kokoh yang menjadi markas Musailamah Al-Kadzdzab dan para pengikutnya.
Perang Yamamah bukanlah perang biasa. Ini adalah pertarungan melawan kemurtadan, melawan mereka yang telah berpaling dari ajaran Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di antara barisan pasukan Muslim, terlihat sosok Abu Dujanah, sahabat Nabi yang pernah dengan gagah berani melindungi Rasulullah di Perang Uhud. Kini, di usianya yang tidak lagi muda, ia kembali mengikatkan kain merah di kepalanya - tanda bahwa ia siap mengorbankan nyawa demi membela agama.
Sementara itu, di dalam benteng Yamamah, Musailamah Al-Kadzdzab, sang nabi palsu, mondar-mandir dengan gelisah. Ia tahu bahwa pasukan Muslim yang datang bukanlah lawan yang mudah. Namun, dengan sombongnya ia berkata kepada para pengikutnya, "Jangan takut! Kita lebih kuat dan lebih banyak. Tanah Yamamah adalah milik kita!"
Pertempuran dimulai dengan dahsyat. Pasukan Muslim, meski lebih sedikit jumlahnya, menyerang dengan semangat iman yang berkobar. Suara pedang beradu dan teriakan takbir memenuhi udara. Abu Dujanah, dengan kain merahnya yang berkibar, menerobos barisan musuh seperti yang ia lakukan bertahun-tahun lalu di Uhud.
Namun, pertempuran tidak berjalan mudah. Pasukan Musailamah yang lebih mengenal medan perang memberikan perlawanan sengit. Untuk sesaat, pasukan Muslim terdesak mundur. Di tengah kegentingan itu, Khalid bin Walid berseru, "Wahai kaum Muslimin! Ingatlah perjuangan Rasulullah! Ingatlah pengorbanan para syuhada sebelum kita!"
Seruan itu bagaikan api yang menyulut semangat pasukan Muslim. Mereka kembali menyerang dengan gelombang baru. Para penghafal Al-Qur'an berada di garis depan, memimpin serangan dengan keberanian luar biasa. Salim, mantan budak Abu Hudzaifah, maju sambil membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan lantang, menginspirasi rekan-rekannya.
Di sisi lain medan perang, Abu Dujanah terus bertempur tanpa kenal lelah. Usianya yang tidak muda tidak menghalanginya untuk terus maju. Ia ingat janjinya untuk menggunakan pedang pemberian Nabi dengan benar, dan kini ia memenuhi janji itu. Satu demi satu musuh tumbang di hadapannya.
Pertempuran berlangsung sengit sepanjang hari. Tanah Yamamah yang gersang kini basah oleh darah dari kedua belah pihak. Menjelang sore, pasukan Muslim akhirnya berhasil menerobos pertahanan utama Musailamah. Mereka masuk ke dalam benteng, mencari sang nabi palsu.
Musailamah, yang tadinya begitu sombong, kini berlari ketakutan. Ia berusaha bersembunyi di sebuah kebun yang dikelilingi tembok tinggi. Namun, Wahsyi bin Harb, mantan budak yang dulu membunuh Hamzah di Perang Uhud dan kini telah bertobat dan menjadi Muslim, berhasil melacaknya. Dengan keahliannya melempar tombak, Wahsyi mengakhiri hidup Musailamah, membuat sejarah dengan membunuh "orang terbaik" (Hamzah) dan "orang terburuk" (Musailamah) dengan senjata yang sama.
Kematian Musailamah menandai berakhirnya pertempuran. Pasukan murtad yang tersisa menyerah atau melarikan diri. Namun kemenangan ini dibayar mahal. Ribuan Muslim gugur sebagai syuhada, termasuk Abu Dujanah yang berani. Ia ditemukan tergeletak di medan perang, masih menggenggam erat pedangnya, dengan kain merah yang kini berwarna lebih gelap oleh darahnya sendiri.
Malam turun di Yamamah. Di bawah cahaya rembulan, para sahabat mengubur rekan-rekan mereka yang syahid. Air mata bercampur dengan rasa syukur atas kemenangan. Khalid bin Walid berdiri di atas bukit, memandang medan perang yang kini sunyi. Ia tahu bahwa hari ini mereka telah menulis sebuah babak penting dalam sejarah Islam, sebuah perjuangan untuk mempertahankan kesatuan ummah dan kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW.