Mohon tunggu...
Mugniar
Mugniar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mamak Blogger

Ibu dari 3 anak dan penulis freelance yang berumah maya di www.mugniar.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Blogger Merdeka dari Mental Duit

16 Agustus 2023   17:03 Diperbarui: 16 Agustus 2023   17:12 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi, dari mana Ibu dapat uang?" Saya bengong ditanya demikian. "Saya relawan, Pak. Saya biasa menulis tidak dibayar," ujar saya. Bapak itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama. Menurutnya, dalam menulis sebuah kegiatan terkait sekolah negeri ada anggarannya dan pihaknya biasa menagih kepada UPTD (unit pelaksana teknis daerah) dari sekolah yang bersangkutan.

Saya mengulangi lagi penjelasan bahwa saya merupakan relawan kegiatan literasi digital yang menuliskan kegiatannya di blog pribadi saya. Sebenarnya tujuan saya meneleponnya bukan untuk bicara urusan pembayaran, melainkan untuk memprotes plagiasi yang dilakukan oleh jurnalis di media online yang dia miliki terhadap tulisan saya mengenai kegiatan literasi digital di blog pribadi saya.

Saya menyampaikan keberatan saya dan meminta tulisan yang dicontek diturunkan dari media online yang dia miliki. Saat itu saya menulis kegiatan literasi digital di sebuah sekolah negeri di mana saya menjadi salah satu relawan kegiatan literasi digital tersebut.

Bapak itu memberikan penjelasan kepada saya seolah-olah saya orang baru di dunia blogging. Bukannya permintaan maaf, yang terdengar adalah kata-kata yang terkesan defensif dan mengajari saya mengenai kebolehan sumber dari internet dipakai bersama-sama.

Mirisnya, tulisan saya di-copas mentah-mentah dan sama sekali tidak dituliskan sumbernya dari blog pribadi saya dan dibuat backdate pula jadi seolah-olah saya yang plagiat karena tanggal posting saya lebih belakangan.

Lebih lucu lagi karena dimuat di media online yang seharusnya gaya menulisnya berupa hard news sementara saya menulis ala blogger, dengan gaya menulis story telling yang bertutur dengan POV orang pertama tunggal menggunakan kata ganti SAYA. Gaya menulis demikian kan tidak pantas jadi berita di media online?

Saya mengamati isi dari media online tersebut. Banya memuat berita yang bersumber dari kegiatan-kegiatan sekolah di kota ini. Obrolan dengan pemilik media sudah selesai, dia memberikan saya nomor WhatsApp pemimpin redaksi media yang bersangkutan. Saya segera mengirim pesan WA bernada protes.

Saya meminta tulisan saya diturunkan atau dituliskan blog saya sebagai sumber beritanya. Pimred membalas akan menurunkan tulisan saya. Sepertinya ada permintaan maaf tetapi saya ragu itu permintaan maaf karena ditulis hanya dengan 2 huruf: "MF" diikuti kata "BOS". Kalau ditulis lengkap bunyinya: "maaf bos" tetapi ini hanya "mf bos".

Alhamdulillah, saya mendapatkan hak saya, tulisan copas diturunkan dari media online tersebut. Saya ditawari peluang juga oleh pemilik media untuk menulis kegiatan-kegiatan di sekolah-sekolah di media online itu dengan pembagian sekian persen dari pembayaran yang diterima.

Saya tidak langsung menerima tawaran itu karena perlu mencerna informasi yang diberikan. Hal yang rasanya pernah saya dengar tapi dalam bentuk lain -- dulu saya pernah mendapat informasi dari seorang kepala sekolah tentang wartawan yang menagih pembayaran di sekolahnya.

Setelah meminta pendapat dari dua orang suhu di dunia blogging dan tentunya dengan kembali mencerna baik-baik peristiwa yang baru saya alami dengan logika dan hati, saya memutuskan untuk tidak mau ikut-ikutan menulis di media serupa itu.

Anak-anak saya menjalani pendidikan di sekolah negeri jadi saya tahu tantangan besar sekolah negeri terkait dana pendidikan. Tagihan publikasi oleh media online bukanlah sama sekali pengeluaran prioritas dari sebuah sekolah negeri di antara banyaknya pengeluaran dan tagihan yang harus dibayarkan. Satu orang saja wartawan yang menagih, misalnya sebesar Rp300.000 saja bukanlah hal yang menyenangkan, terlebih jika yang menagih ada 10 media online.

Saya tak sampai hati menjadikan sekolah negeri sebagai sumber pemasukan keuangan saya. Seharusnya saya menulis dengan sukarela agar sekolah negeri mendapatkan publikasi yang bagus, bukannya ikut-ikutan meminta duit dari dana BOS yang seharusnya untuk kebutuhan pendidikan.

Saya yakin, pemilik bisnis dan pimred itu tidak mengetahui cara monetisasi blog pribadi yang selama ini saya jalankan, sebagaimana juga dijalankan oleh ribuan blogger di Indonesia. Kami bisa bertahan karena diawali dengan konsistensi, dibekali nilai-nilai, diteguhkan oleh integritas, dan didukung doa. Kami diwadahi oleh komunitas-komunitas dan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mendapatkan rezeki berupa uang atau materi.

Saya yakin, kami berada di jalur dengan orientasi berbeda. Saya tetap menulis jika dibayar ataupun tanpa dibayar sekali pun. Blog pribadi yang saya miliki takkan kehilangan konten jika tak ada tawaran kerja sama dari agensi, brand, komunitas, ataupun UMKM karena saya memang memiliki passion dalam dunia menulis.

Mereka pasti tak tahu betapa menyenangkannya selama lebih dari 10 tahun saya memiliki circle bloger-bloger yang punya nilai, integritas, konsisten, senantiasa punya kemauan untuk belajar, dan mengandalkan kekuatan doa untuk tetap eksis sebagai bloger.

Mereka pasti tak tahu rasanya menjadi blogger yang merdeka dari mental duit. Bukan karena tak menginginkan duit tetapi kami bisa memilah-milah jalan rezeki mana yang akan mendatangkan berkah dan mana yang tidak. Beginilah salah satu cara kami memaknai kemerdekaan dan pasti berbeda cara dengan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun