"Jadi, dari mana Ibu dapat uang?" Saya bengong ditanya demikian. "Saya relawan, Pak. Saya biasa menulis tidak dibayar," ujar saya. Bapak itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama. Menurutnya, dalam menulis sebuah kegiatan terkait sekolah negeri ada anggarannya dan pihaknya biasa menagih kepada UPTD (unit pelaksana teknis daerah) dari sekolah yang bersangkutan.
Saya mengulangi lagi penjelasan bahwa saya merupakan relawan kegiatan literasi digital yang menuliskan kegiatannya di blog pribadi saya. Sebenarnya tujuan saya meneleponnya bukan untuk bicara urusan pembayaran, melainkan untuk memprotes plagiasi yang dilakukan oleh jurnalis di media online yang dia miliki terhadap tulisan saya mengenai kegiatan literasi digital di blog pribadi saya.
Saya menyampaikan keberatan saya dan meminta tulisan yang dicontek diturunkan dari media online yang dia miliki. Saat itu saya menulis kegiatan literasi digital di sebuah sekolah negeri di mana saya menjadi salah satu relawan kegiatan literasi digital tersebut.
Bapak itu memberikan penjelasan kepada saya seolah-olah saya orang baru di dunia blogging. Bukannya permintaan maaf, yang terdengar adalah kata-kata yang terkesan defensif dan mengajari saya mengenai kebolehan sumber dari internet dipakai bersama-sama.
Mirisnya, tulisan saya di-copas mentah-mentah dan sama sekali tidak dituliskan sumbernya dari blog pribadi saya dan dibuat backdate pula jadi seolah-olah saya yang plagiat karena tanggal posting saya lebih belakangan.
Lebih lucu lagi karena dimuat di media online yang seharusnya gaya menulisnya berupa hard news sementara saya menulis ala blogger, dengan gaya menulis story telling yang bertutur dengan POV orang pertama tunggal menggunakan kata ganti SAYA. Gaya menulis demikian kan tidak pantas jadi berita di media online?
Saya mengamati isi dari media online tersebut. Banya memuat berita yang bersumber dari kegiatan-kegiatan sekolah di kota ini. Obrolan dengan pemilik media sudah selesai, dia memberikan saya nomor WhatsApp pemimpin redaksi media yang bersangkutan. Saya segera mengirim pesan WA bernada protes.
Saya meminta tulisan saya diturunkan atau dituliskan blog saya sebagai sumber beritanya. Pimred membalas akan menurunkan tulisan saya. Sepertinya ada permintaan maaf tetapi saya ragu itu permintaan maaf karena ditulis hanya dengan 2 huruf: "MF" diikuti kata "BOS". Kalau ditulis lengkap bunyinya: "maaf bos" tetapi ini hanya "mf bos".
Alhamdulillah, saya mendapatkan hak saya, tulisan copas diturunkan dari media online tersebut. Saya ditawari peluang juga oleh pemilik media untuk menulis kegiatan-kegiatan di sekolah-sekolah di media online itu dengan pembagian sekian persen dari pembayaran yang diterima.
Saya tidak langsung menerima tawaran itu karena perlu mencerna informasi yang diberikan. Hal yang rasanya pernah saya dengar tapi dalam bentuk lain -- dulu saya pernah mendapat informasi dari seorang kepala sekolah tentang wartawan yang menagih pembayaran di sekolahnya.