Mohon tunggu...
Mugniar
Mugniar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mamak Blogger

Ibu dari 3 anak dan penulis freelance yang berumah maya di www.mugniar.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketulusan Hati Seorang Tukang Cuci

31 Mei 2012   16:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33 4316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Syamsiah,  usianya sudah melewati bilangan 65, ibu dari tujuh orang anak, nenek dari sebelas orang cucu. Ia akrab disapa ‘daeng Sia’ (suku Makassar yang sudah berkeluarga akrab disapa dengan kata “Daeng”). Saya mengenalnya sejak tahun 1990, sejak ia menjadi tukang cuci di rumah kami. Pada dasarnya ia orang yang rajin meski hasil kerjanya kadang kala tak memuaskan. Ia sering dimarahi ibu saya karenanya.

Bertahun-tahun lamanya ia bekerja di rumah kami. Keping demi keping mozaik cerita kehidupannya terkumpul dalam album memori saya ketika kami akrab bertukar cerita. Ia suka bercerita apa saja, tentang kehidupan silamnya dan keluarganya. Saya pun senang menyimaknya, mencari hikmah yang bisa saya petik untuk saya sendiri.

Saat berusia 15 tahun, daeng Sia kehilangan kedua orangtuanya. Saat itu adik bungsunya masih bayi. Daeng Sia kecil tak sungkan menjadi buruh dan pembantu rumah tangga demi mencari nafkah untuk kedua adiknya. Ia berkelana hingga ke pedalaman Sulawesi Selatan untuk berburu rupiah. Bukan hal yang mudah untuk gadis sekecil itu, harus mematikan impian duniawinya dengan memaksa pendewasaaan diri melalui tantangan nasib.

Singkat cerita, adik-adiknya tumbuh dewasa. Yang perempuan menikah dengan pegawai dinas Kesehatan sementara yang laki-laki menjadi pegawai negeri dinas Pertanian. Daeng Sia sendiri menikah dengan seorang pesuruh kantor yang bekerja di Universitas Hasanuddin. Secara perolehan materi, daeng Sialah yang paling tidak beruntung dibandingkan dengan kedua adiknya. Maka untuk meringankan beban ekonomi keluarga, ia harus membantu suaminya dengan bekerja sebagai tukang cuci atau sebagai pesuruh  ‘keliling’ oleh orang-orang yang membutuhkan tenaganya pada perhelatan pernikahan, aqiqah, atau acara syukuran lain, dan setelah itu ia diberi uang jasa ala kadarnya.

Ia memang rajin tetapi sering kali hasil kerjanya tak memuaskan ibu saya. Terlebih saat ia nyambi menjadi tukang cuci di tetangga sebelah dan di sebuah rumah yang berjarak satu kilo meter dari rumah kami. Biasanya ia datang ke rumah pukul 12, lalu mencuci dengan terburu-buru. Lalu ia bergegas ke rumah sebelah. Pukul 15 ia kembali ke rumah, mengangkat jemuran yang sudah kering lalu menyeterika, membantu mencuci piring, juga menyapu. Menjelang maghrib ia bergegas menuju rumah yang satunya dengan berjalan kaki. Di sana ia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah di malam hari.

Keesokan harinya, bersamaan dengan kokok ayam, ia mencuci pakaian di lantai bawah lalu menjemurnya di lantai tiga. Lalu dilanjutkan dengan pekerjaan rumah yang lain. Setelah itu ia berjalan kaki, belanja di pasar lalu pulang ke rumahnya yang berjarak 400 meter dari rumah kami untuk mempersiapkan makan siang bagi keluarganya. Kemudian, di bawah terik matahari ia berjalan kaki menuju rumah kami. Sesekali ia membawakan kami hasil masakannya. Saya menyukai kelezatan masakannya. Apalagi masakan sayur jantung pisang plus kacang hijau yang diberi santan, rasanya lezat sekali. Begitulah rutinitasnya setiap hari kecuali pada hari liburnya di hari Minggu. Sudah barang tentu dengan kesibukan yang seperti itu ia tidak mampu mengerjakan semuanya dengan baik. Ibu saya jadi semakin sering mengomelinya karena ketergesa-gesaannya menyelesaikan pekerjaannya.

Bertahun-tahun ia menjalani hal itu dengan tegar demi menyekolahkan anak-anaknya. Gaji suaminya saja tak bisa diandalkan di tengah tuntutan harga yang tiap tahun melonjak. Selain itu ia mengumpulkan uang untuk mengusahakan membeli rumah yang sedang dikontraknya. Ia mengontrak 3 petak rumah yang berdempetan. Satu petak ditempatinya bersama suaminya dan tiga orang anaknya yang belum menikah - dua di antaranya masih sekolah. Sedangkan 2 petak yang lain ditempati oleh 2 orang putrinya yang telah berkeluarga.

Daeng Sia yang tulus punya jiwa sosial yang sangat tinggi. Tanpa dibayar pun ia senang membantu siapa saja yang sedang butuh pertolongan semisal hendak melahirkan, kematian, sakit, syukuran, hingga pesta. Hari-hari bekerjanya tak pernah sepi diselingi kegiatan-kegiatan seperti ini. Baik itu di dalam kota maupun di luar kota, daeng Sia selalu mengusahakan menghadirinya meski harus turun-naik angkutan umum berkali-kali.

Perlahan-lahan, ketulusannya menembus hati saya, intensnya interaksi kami membuat saya merasakan rasa sayangnya kepada saya dan kelak kepada anak-anak saya. Ia turut bahagia ketika saya bahagia, dan turut sedih ketika saya berada dalam kondisi tak beruntung. Sewaktu saya harus mengikuti suami ke pulau lain setelah menikah, ia ikut mengantar ke bandara dan melepas kepergian saya dengan mata berkaca-kaca. Kepada ibu mertua saya, ia berkata, “Niar itu orang baik.” Suatu sanjungan yang amat berarti bagi pendekatan saya kepada ibu mertua.

Beberapa bulan setelah sebuah kejadian salah paham antara ia dan ibu di tahun 2004, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di rumah kami, dengan alasan kesehatannya tak memungkinkan lagi untuk melakukan pekerjaan sebagai tukang cuci. Sejak itu kami jarang mendengar kabar lagi tentang daeng Sia. Yang kami tahu hanyalah bahwa suaminya yang pensiunan golongan 1 sudah sakit-sakitan, levernya mulai rusak karena dulu lelaki pendiam ini penggemar berat ballo’ (minuman keras tradisional Makassar). Gaji pensiunan tentu saja tidak sepenuh gaji pegawai aktif. Karena itulah ia masih harus  mencukupi keuangan keluarganya.

Saat hendak melahirkan anak kedua saya pada tahun 2006, daeng Sia bersedia membantu saya mencuci pakaian setelah persalinan. Saya melahirkan tepat pada 1 Ramadhan. Pulang dari rumah sakit, saya mengusahakan sendiri makan pagi dan makan siang saya dan Affiq – sulung saya, karena hanya kami yang tak berpuasa di dalam rumah ini. Pagi hari, saya mencuci piring kotor bekas sahur, memasak telur mata sapi untuk sarapan. Siang harinya, kembali memasak telur mata sapi. Menyaksikan hal ini Daeng Sia iba, ia kerap membawakan saya makanan yang sudah ia masak dari rumahnya. Saya bersyukur sekali dan tidak akan melupakan hal ini. Saya usahakan meringankan pekerjaan mencucinya, dengan membantu menghilangkan kotoran yang menempel pada popok bayi sehingga ia tak perlu bergelut lama dengan cucian. Pakaian yang lain pun sudah dicuci dengan mesin cuci sehingga tinggal ia jemur. Jujur, kali ini saya tak peduli seberapa bersih/rapi hasil kerjanya. Ia ada di rumah saat itu saja, saya sudah senang. Saat bayi saya berusia sebulan, ia mengundurkan diri karena tenaganya dibutuhkan oleh seseorang yang hendak pindah ke kota lain untuk mengawal barang-barangnya hingga ke kota tujuan.

Suatu saat daeng Sia ikut membantu penyelenggaraan pesta nikah di kota lain. Anaknya tak bisa menghubungi. SMS dan teleponnya yang berkali-kali kepada empunya rumah tak digubris. Karena bingung, saya diminta menghubungi. Tak disangka, saya pun mendapat perlakuan serupa. Saya dipingpong, disuruh menelepon A lalu B. B bilang, “Telepon C,” di rumah lain, padahal daeng Sia ada di rumah itu. Entah mengapa, hanya tinggal berteriak saja memanggil nama, amat berat di lidah mereka. Beberapa bulan setelah itu, B menderita sakit parah dan perlu dirawat di rumah sakit yang lebih lengkap di kota kami. Daeng Sia dengan tulus menginap di rumah sakit hingga B meninggal, menunggui dengan setia sampai mobil jenazah membawa B ke bandara. Saya kagum akan ketulusannya, ia tak mengingat-ingat lagi perlakuan buruk B sebelumnya.

Saat mengetahui saya hamil anak ketiga pada tahun 2009, ia mewanti-wanti saya, “Panggil Saya kalau Kamu hendak melahirkan. Jangan setelahnya ya. Sebelumnya!” Dua kali ia mengatakan itu dengan tulus. Ia ingin ada di dekat saya di saat penting itu. Pada hari H, beberapa jam sebelum melahirkan, saya menelepon dan memintanya untuk datang. Ia bersedia meskipun sedang tak enak badan dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah kami. Saya tahu, sebenarnya ia berat bekerja di rumah kami karena tak cocok dengan ibu.

Beberapa bulan sebelumnya saat suami saya meminta kesediaannya untuk membantu, ia hanya diam dan tersenyum, tak mengiyakan, tak menidakkan. Ia pun sebenarnya sudah tak mau lagi mencuci karena staminanya semakin berkurang. Tetapi karena sayangnya kepada saya, ia bersedia. Syukurlah, hanya ia yang bisa saya harap karena ia paham betul dengan karakter ibu dan disenangi kedua anak saya. Orang lain tak akan betah menghadapi sifat perfeksionis ibu dalam menilai suatu pekerjaan. Dua bulan lamanya ia membantu dan kerap membawakan saya masakannya. Meski singkat, bantuannya sangat berarti bagi saya.

Suatu ketika daeng Sia dijemput seseorang, sebut saja D. Ia dibawa ke rumah E yang hendak mengadakan pesta tanpa pembicaraan dan kesepakatan sebelumnya. Di situ ia ditinggal begitu saja sampai malam hari hingga dengan terpaksa ia harus menginap, membantu aneka pekerjaan rumah. Keesokan harinya ia bekerja sampai acara selesai, lalu diberi upah. Saya prihatin mendengar ia menceritakan kekecewaannya tentang hal ini. D dan E yang tak punya empati, tidak mengatakan apa-apa mengenai itu, mereka menganggap sebagai pesuruh keliling ia bisa dibawa seenaknya lalu dipekerjakan tanpa dimintai persetujuannya terlebih dahulu layaknya seorang budak. Saya salut, ia bisa membantu dengan tulus tanpa mengatakan apapun dan tanpa memperlihatkan sikap membangkang.

Kini daeng Sia tak terikat bekerja di mana pun. Ia yang kini mendiami tempat spesial di hati saya, kini masih menjadi pesuruh keliling, tanpa memikirkan berapa ia dibayar. Beban tanggung jawab finansial kepada anak-anaknya sudah lepas. Ia menjalani hari-hari tuanya di rumah yang berhasil dibelinya dengan masalah-masalah lain yang tak hentinya menjerat. Begitulah hidup, hanya kematian yang memisahkan manusia dengan masalah-masalah kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun