Mohon tunggu...
Mugniar
Mugniar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mamak Blogger

Ibu dari 3 anak dan penulis freelance yang berumah maya di www.mugniar.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ibu Guru yang Mengomel dan Virus Malu

9 Agustus 2014   05:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:00 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid-murid sekolah itu baru saja pulang. Di hari Jum’at ini, semua pulang serempak. Pukul sebelas. Kecuali anak kelas satu dan dua yang masuk pagi, mereka pulang pukul sembilan. Namun Athifah tidak kami temui, baik di halaman depan, di halaman dalam, dan di sekitar ruang kelas dua. Bahkan pintu kelas dua sudah tergembok. Menandakan sudah tidak ada kegiatan di situ.

Seorang ibu paruh baya berkerudung merah mendekati kami dan membuka pintu kelas.

“Lihat! Sampah anak kelas dua be banyak sekali. Seharusnya anak-anak disuruh membersihkan kelas dulu sebelum pulang. Seharusnya mereka membuang sampahnya!” ibu berkerudung merah melontarkan omelannya.

Spontan saya dan suami saya melongokkan kepala ke dalam ruang kelas. Saya bertanya-tanya sendiri, apa maksud ibu berkerudung ini?

[caption id="attachment_351935" align="aligncenter" width="410" caption="Suatu Ahad pagi, di "][/caption]

Seorang ibu yang sedang berdiri di dekat kami juga ikut melongokkan kepala. Ibu itu tertawa dan mengatakan, “Tadi anak-anak pulang, dia (wali kelas dua be, maksudnya) keluar dan langsung mengunci pintu.”

“Tidak boleh begitu, anak-anak harus diajar dan dibiasakan membuang sampahnya. Kalau begini saya harus membersihkan lagi. Kalau anak kelas dua a, tidak pernah meninggalkan sampahnya seperti ini. Saya suruh membersihkan dulu baru boleh pulang,” tambah ibu berkerudung merah itu.

Rupanya ibu berkerudung merah itu wali kelas dua a. Dia tahu kalau kami orang tua murid siswi dua be. Suami saya segera beranjak ke kantin sekolah yang terletak di belakang gedung sebelah. Kantin itu termasuk salah satu tempat favorit Athifah.

Ibu berkerudung merah masih terus mengomel. Wajahnya keruh. Selalu aneh kalau melihat guru mengomel karena di mata saya profesi itu begitu mulia. Seorang guru mestinya lepas dari sifat pengomel.

Yah, tapi guru juga manusia. Saya bisa merasakan kejengkelannya kalau harus setiap hari menyapu ruang kelas dua hanya karena sejawatnya yang berbagi ruang dengannya kurang bertenggang rasa.

Entahlah, masalah sampah sepertinya sepele bagi sebagian orang. Saya pernah memarahi seorang bocah lelaki berusia kira-kira sepuluh tahun karena mendapatinya melempar sampah di dalam got di depan rumah kami. Saya mengomeli anak lelaki itu dan menyuruhnya membawa pulang sampahnya.

Sekelompok anak abege lain yang suka duduk-duduk di pagar rumah kami dengan seenaknya membuang puntung-puntung rokoknya di got depan pagar. Sayangnya kami tidak menangkap basah mereka. Bukannya asal menuduh, sebelum mereka suka nongkrong di situ, tak pernah ada puntung-puntung rokok bertebaran. Tapi sejak mereka punya kebiasaan menghabiskan malam-malam mereka dengan duduk-duduk di pagar kami … ah, sampah jadi berserakan di situ.

[caption id="attachment_351940" align="aligncenter" width="410" caption="Sampah koran, bekas alas shalat Idul Fitri baru-baru ini, di sekitar lapangan Perumnas Tamalate"]

14075120881103893015
14075120881103893015
[/caption]

Walau agak merasa tidak nyaman dengan sikap bu guru yang mengomel-ngomel itu, saya membenarkannya. Memang sejak kecil anak-anak harus diajar untuk buang sampah di tempatnya. Ini pun menjadi perhatian saya terhadap anak-anak.

Namanya anak-anak, walau sudah diperingatkan berkali-kali, masih suka lalai juga. Kalau sudah begitu, saya mengomel panjang-pendek. Namun demikian, syukurnya kalau ke mana-mana, mereka jadi punya kebiasaan untuk mencari tempat sampah ketika ada sampah yang harus mereka buang. Mereka tak asal membuangnya.

Miris sekali melihat di tempat-tempat umum, perilaku buang sampah seenaknya masih banyak dilakukan oleh orang dewasa. Bukan hanya dari golongan ekonomi menengah ke bawah, golongan ekonomi atas pun masih ada yang melakukannya. Bukan hanya di dalam gang sempit atau jalan kampung, perilaku negatif ini juga terjadi di jalan raya dan di mal.

Pemerintah kota Makassar sudah menunjukkan perhatiannya. Walikota yang baru dilantik pada bulan Mei lalu, Danny Pomanto mencanangkan gerakan Makassar ta’ Tidak Rantasa’ (Makassar Kita Tidak Kotor) sejak 15 Juni 2014.

Gerakan ini diharapkan Daeng Ical (Syamsur Rizal – wakil walikota Makassar) merupakan langkah awal, untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Makassar untuk lebih disiplin dan peduli yang harus dimulai dari para pemimpin[1].

Masalah sampah di Makassar yang tahun lalu mencapai 700 ton per hari[2] memang merupakan tanggung jawab pemerintah. Tetapi sebagai warga kota, hendaknya kita turut mendukungnya dengan berperilaku membuang sampah pada tempatnya.

[caption id="attachment_351942" align="aligncenter" width="410" caption="Gambar ini diambil saat ada upaya pembersihan sampah di kanal Rappocini. Masyarakat sekitar suka buang sampah di kanal."]

14075123351822777410
14075123351822777410
[/caption]

Kalau pun di sekolah, anak kita ditekankan untuk membuang sampah pada tempatnya oleh guru mereka tetapi di rumah tidak dibiasakan ya tidak ada gunanya.

Barangkali pemerintah perlu menekan tiap sekolah untuk memperhatikan secara khusus mengenai penerapan perilaku buang sampah pada tempatnya supaya semua guru sadar betul akan perannya. Supaya tidak ada lagi guru yang mengomel (seperti ibu berkerudung merah) yang saya saksikan tadi pagi.

Ah, tapi keterlaluan juga ya kalau sampai pemerintah harus turun tangan mendesak sekolah-sekolah, seharusnya para orang dewasa yang berkompeten menyadari kewajibannya menanamkan perilaku buang sampah pada tempatnya kepada anak-anak. Dan yang paling penting, mereka harus mencontohkannya.

Atau … kalau saja ada virus yang bisa menyebarkan rasa malu di dalam hati setiap orang bila tidak buang sampah pada tempatnya, yang bisa membuat para pembuang sampah sembarangan itu meratap-ratap pilu karena didera rasa malu setelah melakukannya … sepertinya lebih baik lagi bila ada virus semacam itu yang bisa diinjeksikan ke dalam hati mereka!

Makassar, 8 Agustus 2014

[1] Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/05/24/gerakan-makassar-tak-rantasa-mulai-mulai-15-juni-2014

[2] Sumber: http://www.fajar.co.id/metromakassar/3071463_5662.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun