Mohon tunggu...
Mugiyono Bayu Kresno
Mugiyono Bayu Kresno Mohon Tunggu... -

Mugiyono Bayu Kresno was born in Sragen – Central Java, which is a beautiful and peaceful city. Bachelor holder in Education from Syekh Yusuf Islamic University (UNIS) Tangerang, and then working in Kuala Lumpur at private company as Manager Technical Drawing and R&D. In spare time, like to reading about politics, psychology, sports, and up to date news. Also like to think philosophy to translate the truth which is an abstract to be described.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jaman Susah, antara Kehendak Allah Versus Ulah Manusia

30 April 2010   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik untuk menanggapi tulisan Pak Pray yang berjudul “Pentingnya Komunikasi dan Kepedulian di Jaman Susah”.
Komunikasi sudah selayaknya dilakukan dengan baik dan benar, dan Kepedulian sudah selayaknya diberikan sebaik mungkin oleh pemerintah kepada masyarakatnya, oleh pemuka agama kepada jamaahnya, dan sebagainya, dalam situasi dan kondisi apapun.
Dalam tanggapan ini saya akan menekankan pada JAMAN SUSAH-nya.

Jaman susah ? (he..he.. Pak Pray pun menulisnya pakai tanda tanya…) Bisa saja secara umum dikatakan demikian, khususnya bagi masyarakat seperti saya. Namun kita juga harus berfikir kritis “susah”nya itu disebabkan oleh apa? Kalau susah tersebut atas kehendak Allah seperti terkena bencana alam, kemarau panjang, dan lain-lain saya percaya masyarakat Indonesia sangat tabah dan teguh untuk menghadapinya. Namun kalau susahnya itu disebabkan oleh perilaku pemerintah (oknum), inilah yang menjadikan api dalam sekam. (Seperti yang pernah saya tuliskan dalam tanggapan untuk tulisan Pak Pray sebelum ini).

Disadari atau tidak oleh pemerintah, bahwa banyak oknum (saking banyaknya oknum tidak bisa lagi rasanya disebut oknum) yang melukai perasaan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia sudah bertahun-tahun menghadapi cobaan krisis moneter, tsunami hingga musibah-musibah yang beruntun hingga sekarang ini. Untuk kesusahan yang disebabkan takdir Allah seperti itu bangsa Indonesia termasuk saya masih bisa tabah menerimanya dan teguh berusaha dalam meneruskan perjalanan hidup, bahkan bersama-sama warga masyarakat lainnya justru semakin kompak karena merasa senasib, sependeritaan dan sepenanggungan. Namun jika kesusahan itu disebabkan oleh kesengajaan pihak pemerintah yang saya sebut oknum tadi, maka jangan salah prediksi lagi, jika kesalahan itu sudah sampai tahap fatal sekali dan tidak bisa dimaafkan, pada akhirnya api dalam sekam yang sudah merambat dibawah tanah seluruh area bumi pertiwi ini akan meledak membakar gedung-gedung instansi pemerintah dan semua oknum-oknum pemerintah beserta asetnya.

Dulu masyarakat Indonesia menurunkan presiden Suharto karena krisis moneter 1997 / 1998 sebagai ungkapan kekecewaan (atau hukuman) masyarakat yang tadinya hidup makmur, barang-barang murah, tiba-tiba hidup susah dan harga barang-barang naik tidak terkendali, yang menyebabkan daya beli masyarakat merosot tajam. Akhirnya gelombang reformasi pun tak terbendung.

Namun reformasi yang tadinya membawa angin surga untuk masyarakat Indonesia kini telah musnah dan berganti angin neraka yang disebabkan oleh ulah politisi atau pejabat Negara yang tidak negarawan, yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok sendiri atau perut sendiri. Jika ada kesepakatan atau aturan yang mengatasnamakan kepentingan Negara pun masih ada deal dagang sapi.

Pada akhirnya masyarakat Indonesia yang tadinya melakukan reformasi dengan tujuan memperbaiki keadaan, justru kini bagaikan hanya menggali lubang kubur sendiri. Bagaimana tidak, Presiden Habibie sebagai presiden transisi malah membikin Indonesia geger dengan terlepasnya Timtim dan perombakan personel ditubuh TNI yang sangat signifikan pengaruhnya dimasa mendatang. (Aggota TNI secara de facto saat itu masih menjadi warga Negara pilihan terbukti sulitnya tes untuk masuk Akabri, dan menjadi punggawa Negara yang terbaik karena sifat tugasnya menjadikan anggota TNI bersikap negarawan. Maka ketika melakukan perombakan personel TNI level perwira tinggi, efeknya akan sangat berpengaruh, apalagi kalau yang disingkirkan justru putra-putra terbaik bangsa). Presiden Gus Dur adalah presiden yang baik dan negarawan namun dikelilingi oleh orang-orang yang kurang negarawan. Presiden Megawati yang diharapkan bisa meneruskan model kepemimpinan Bung Karno malah seperti terbalik 180 derajat, aset-aset vital Negara bukan dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat tapi malah hampir semuanya dijual kepada pihak asing dengan nama privatisasi. Presiden SBY yang menjadi harapan terakhir rakyat Indonesia juga belum bisa berbuat banyak, khususnya dalam mengentaskan kehidupan rakyat dari KESUSAHAN JAMAN tersebut. Memang pada era pemerintahan Presiden SBY tidak terdengar lagi privatisasi BUMN, namun kesukaan Presiden SBY menumpuk utang Negara (yang dalam masa 5 tahun pertama saja utang Negara sudah bertambah sekitar 500 trilyun, dan kini utang-utang Negara itu masih terus bertambah) justru lebih berbahaya lagi sebab ini sama saja dengan privatisasi Negara. Privatisasi Negara sama saja dengan privatisasi Rakyat. Rakyat bukan lagi pemilik Negara ini, tetapi rakyat sudah menjadi obyek bagi pemerintah atas nama Negara.

Kalau boleh mengajukan pertanyaan ; Apa tidak bisa kita sebagai bangsa meneruskan hidup tanpa menambah utang Negara (kalaupun utang janganlah terlalu menggunung)? Apa tidak bisa kita sebagai bangsa yang sedang hidup di JAMAN SUSAH ini hidup HEMAT dan NGAMPET sedikit? Sebagai contoh; mobil dinas pejabat Negara baik menteri, gubernur, bupati, dan lain-lain tidak perlu yang terlalu mahal dan selalu baru, buku teks anak-anak sekolah tidak perlu selalu berganti tiap tahun dan selalu beli baru. Bukankah hal-hal seperti itu hanya refleksi dari sebuah pemborosan? Simple saja; kalau sedang hidup susah, logikanya ya harus bisa berhemat dan bisa ngampet. Disinilah, pejabat Negara sebagai pemimpin rakyat dan pembuat kebijakan sudah seharusnya membuat aturan-aturan yang bisa menciptakan situasi pada rakyat untuk berhemat, bukan rakyat malah dibebani dengan pengeluaran-pengeluaran yang seharusnya tidak perlu.

Mari kita bayangkan, dulu saja sewaktu Presiden Suharto memerintah, dimana utang Negara “baru” 1200 trilyun namun ketika sudah jatuh tempo bangsa Indonesia sudah collapse, bagaimanakah nanti keadaan bangsa Indonesia kalau utang Negara yang sudah lebih dari 1700 trilyun itu sudah jatuh tempo? Perlukah kita menjual pulau Jawa atau Pulau Sumatra, atau pulau-pulau yang lain? Akan dikemanakankah masyarakat yang hidup di pulau-pulau yang dijual tersebut? Kalau tidak menjual pulau lantas apa yang bisa dijual oleh Negara yang miskin ini? Atau dengan menjual rakyat dengan nama inflasi yang selangit ? Bisakah kondisi saat itu kita gambarkan pendapatan karyawan perusahaan swasta atau petani atau nelayan hanya 1 juta sebulan namun untuk sekali makan satu orang saja harus mengeluarkan 50 ribu rupiah?

Saya sangat-sangat percaya hampir seluruh masyarakat Indonesia menyadari keadaan dan kesusahan jaman ini. Dan atas nama kepercayaan dan harapan, masyarakat masih memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk mengelola Negara ini dengan baik. Masyarakat tidak akan menyalahkan pemerintah sekiranya belum mampu mengentaskan kemiskian dan megangkat rakyat dari lubang kesusahan hidup ini, asal pemerintah benar-benar jujur dan bersih. Yang tidak bisa diterima oleh masyarakat dan justru menyakiti perasaan masyarakat adalah pemerintah (oknum) yang berlaku curang, bertindak sewenang-wenang, korupsi, dan lain-lain yang mencerminkan pemerintah yang tidak bersih. Sebab yang demikian itu sama saja menabur garam diatas luka orang lain, atau menyulut api di daun kering.

Maka ketika setiap hari masyarakat melihat tayangan informasi melalui tivi yang menunjukkan begitu banyaknya pegawai atau pejabat yang tidak bersih disaat masyarakat hidup susah seperti ini, ya disitulah sebenarnya bibit-bibit api dalam sekam mulai dinyalakan. Dan kini api dalam sekam itu sudah membara diseluruh area bumi pertiwi, dimana tinggal menunggu waktu atau moment yang tepat untuk menampakkan nyala api yang membara.

Susahnya, jika api sudah menyulut dan membakar maka sulit untuk dikendalikan. Api itu buta, maka jika api sudah membara dan mendapat hembusan angin maka ia akan membakar apa saja mengikut arah hembusan angin itu. Bagaimanakah jadinya jika angin yang menghembus itu keluar dari mulut oknum yang tidak bertanggung jawab? Atau keluar dari mulut pejabat yang memiliki agenda tertentu? Atau keluar dari mulut pemimpin agama yang radikal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun