Tragedi Jambo Keupok yang terjadi pada 17 Mei 2003 merupakan salah satu contoh nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang menimpa masyarakat sipil di daerah Aceh, Indonesia. Peristiwa ini melibatkan penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), penyiksaan, penembakan, pembunuhan, dan pembakaran hidup-hiduppembakaran yang dilakukan oleh anggota TNI, Para Komando (PARAKO), dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) terhadap penduduk Desa Jambo Keupok di Aceh Selatan. Analisis peristiwa ini melalui lensa teori Hak Asasi Manusia dari John Locke dapat membantu memahami kedalaman pelanggaran yang terjadi serta urgensi penegakan keadilan bagi para korban.
- Konteks Peristiwa
Pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok dicurigai sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdasarkan informasi dari seorang informan. Hal ini memicu aparat keamanan untuk melakukan razia dan penyisiran di desa tersebut. Dalam operasinya, aparat keamanan kerap kali melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil, termasuk penangkapan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, dan perampasan harta benda.
Puncak kekerasan terjadi pada 17 Mei 2003, ketika ratusan pasukan berseragam militer mendatangi Desa Jambo Keupok dan memaksa seluruh penduduk keluar dari rumah mereka. Para anggota TNI kemudian menginterogasi warga satu per satu untuk mencari informasi tentang anggota GAM. Ketika warga mengaku tidak tahu, mereka dipukuli dan ditendang. Peristiwa tersebut mengakibatkan 16 orang penduduk sipil mati dengan cara yang kejam dan menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang selamat.
- Teori Hak Asasi Manusia John Locke
John Locke, seorang filsuf Inggris abad ke-17, dikenal sebagai salah satu pemikir utama di bidang Hak Asasi Manusia. Locke berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut, termasuk hak untuk hidup, kebebasan, dan properti. Hak-hak ini merupakan bagian dari hukum alam yang diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat dilanggar oleh siapapun, termasuk oleh negara.
Menurut Locke, tujuan utama dari pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak dasar ini. Ketika pemerintah gagal dalam melindungi hak-hak tersebut, masyarakat memiliki hak untuk mengganti pemerintahan tersebut. Dalam konteks Tragedi Jambo Keupok, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota TNI merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar warga negara, yakni hak untuk hidup dan hak atas keamanan.
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Jambo Keupok
- Hak untuk Hidup:
  Hak untuk hidup adalah hak yang paling mendasar dalam teori Locke. Di Jambo Keupok, hak ini dilanggar secara brutal ketika 16 penduduk sipil tak berdosa dibunuh oleh aparat keamanan. Locke menegaskan bahwa tidak ada individu atau entitas yang memiliki hak untuk mencabut nyawa orang lain secara sembarangan.
- Hak atas Kebebasan:
  Kebebasan individu juga merupakan salah satu hak yang diakui oleh Locke. Dalam tragedi ini, kebebasan warga Jambo Keupok dilanggar ketika mereka ditahan, diinterogasi, dan disiksa tanpa proses hukum yang adil. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak kebebasan individu tetapi juga menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang seharusnya melindungi warga.
- Hak atas Properti:
  Locke menganggap hak atas properti sebagai hak yang penting bagi kesejahteraan individu. Di Jambo Keupok, hak ini dilanggar ketika rumah-rumah warga dibakar dan harta benda mereka dirampas. Perampasan dan pembakaran properti warga merupakan bentuk penyangkalan terhadap hak milik pribadi yang sangat dihargai oleh Locke.
- Urgensi Penegakan Keadilan
Hingga sepuluh tahun setelah peristiwa tersebut, para pelaku pelanggaran HAM di Jambo Keupok belum diadili secara hukum, dan para korban tidak mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. Menurut Locke, negara memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak warganya. Kegagalan negara dalam menegakkan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM ini menunjukkan adanya krisis akuntabilitas dan kurangnya komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar HAM.
Selain itu, trauma yang dialami oleh para korban, termasuk ketidakmampuan anak-anak korban untuk melanjutkan pendidikan karena kurangnya biaya, menunjukkan dampak jangka panjang dari pelanggaran HAM ini. Pemulihan dari trauma dan penegakan keadilan adalah langkah penting untuk mengembalikan martabat dan hak-hak dasar para korban.
Akan  tetapi, setelah 20 tahun lamanya, tepatnya ketika tahun 2022, para korban mendapatkan kompensasi dalam skema bantuan sosial atau bansos uang senilai Rp10 Juta, dikirim melalui rekening dengan pelaksana Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di bawah realisasi anggaran 2022.  Usulan reparasi mendesak sendiri sebenarnya sudah diajukan step by step semenjak 2019, hanya saja baru terealisasikan bulan Desember 2022.
- Kesimpulan
Tragedi Jambo Keupok merupakan salah satu contoh nyata dari pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, yang menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warga sebagaimana diuraikan oleh John Locke. Melalui analisis ini, jelas bahwa hak untuk hidup, kebebasan, dan properti telah dilanggar secara serius. Penegakan keadilan bagi para korban serta hukuman bagi para pelaku adalah langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kewajibannya dalam melindungi hak-hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H