Oleh: Qoonita Al Kautsar*
Beradu mulut antar politikus pada setiap ajang PilPres ataupun PilKaDa bukan lagi menjadi suatu hal yang baru, karena hal ini bertujuan untuk menurunkan derajat lawan politiknya. Apalagi pemilihan umum pada tahun 2019 ini merupakan yang pertama kalinya menggabungkan antara PilPres, PiLeg, DPRRI, DPD, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Â
Dengan demikian setiap koalisi masing-masing parpol sudah seharusnya menyiapkan strategi untuk menjadi yang unggul, ditambah lagi pada pemilu 2019 ini muncul empat parpol baru sebagai peserta pemilu, sehingga semakin banyak pesaing dalam memikat hati rakyat di tahun 2019 ini. Dan dapat dipastikan bahwa pilpres 2019 ini akan semakin ketat, mereka pun sudah mulai menakar akan sejauh mana parpol mereka akan sukses dalam memajukan calon presiden ataupun calon wakil presiden.
Penggunaan juru kampanye selama ini mungkin akan menjadi salah satu jalan yang cocok untuk membantu rakyat agar tertarik pada partai yang diusung oleh juru kampanye tersebut, namun dalam pemilihan juru kampanye, peserta parpol pun memilih juru kampanye nasional karena dengan kefamiliarannya akan dapat mudah menarik perhatian rakyat, dalam konteks ini pun banyak pemilih  "memilih" karena juru kampanye bukan karena sosok dalam pemilu tersebut.Â
Dengan usaha juru kampanye yang hadir disetiap daerah pelosok akan mendapatkan suara dari rakyat, juru kampanye ini berperan dalam partai politik tempat mereka bernaung dengan harapan mampu menjadi endors yang baik dalam memikat hati rakyat demi terwujudnya keinginan dalam memperjuangkan calon presiden dan wakilnya.
Pemilu yang akan diselenggarakan pada, 17April 2019 ini diikuti oleh 15 peserta partai politik dan didalamnya pun mewakili dari setiap ideologi yang ada di Indonesia ini. Terkecuali dengan ideologi komunis yang telah dibubarkan dan dianggap terlarang berdasarkan TAP MPRS No.25 tahun 1966 tentang pembubaran partai komunis Indonesia (PKI), dan pelarangan berdasarkan TAP MPRS No.25 tahun 1966 itu masih berlaku hingga saat ini. Oleh karena itu,segala hal yang berbau paham komunis di Indonesia merupakan hal terlarang. Maka hingga kini ideologi komunis di Indonesia telah tiada, karena dengan adanya peraturan pada TAP MPRS No.25 tahun 1966 tersebut.
Dengan akan dimulainya pemilu 2019 ini, sudah banyak meningkatkan emosi dari berbagai pihak untuk mengekspresikan sikapnya terhadap politik. Sekalipun pada tahun ini pertama kalinya yang akan menggabungkan pemilu dengan pilkada diharapkan peserta partai politik mampu bersaing secara sehat sekalipun ini merupakan persaingan yang sangat ketat, karena ini sudah menjadi rutinitas demokrasi Indonesia dalam 5 tahun sekali.Â
Bagaimanapun 15 peserta parpol pada pilpres itu sudah menunjukkan peningkatan yang bergengsi dalam berpolitik dan dalam upaya nya membangun Negara menjadi baik kembali dengan cara menarik perhatian rakyat agar percaya pada partai yang menaunginya itu.
Dalam agenda pemilu 2019 ini, yang bangunan koalisinya akan lebih bersifat permanen karena proses pemilu akan berjalan secara serentak maka pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang dicalonkan parpol juga akan ikut memengaruhi pemilih nantinya. Artinya ketokohan calon presiden dan calon wakil presiden akan memberi imbas kepada perolehan suara yang akan diraih oleh parpol pengusung. Maka dari itu para capres dan cawapres menjadikan dirinya agar lebih terlihat "cocok" untuk menjabat sebagai pemimpin Negara yang semestinya tanpa harus mengurangi bahkan menghilangkan nilai-nilai yang ada dalam peraturan pemilu 2019.
Tidak ada yang salah jika seseorang berambisi dalam hal politik kekuasaan, karena sesungguhnya tanpa ambisi, kekuasaan akan sulit diraih dan bahkan bisa menjauh, karena begitu lekatnya ambisi dan kekuasaan. Tidak menutup kemungkinan pula pilpres 2019 akan menjadi pertarungan ambisi kekuasaan yang tak segan-segan mengorbankan banyak hal, termasuk kemaslahatan rakyat hanya untuk mengejar kekuasaan. Masyarakat tentu dapat menilai mana ambisi politik yang hanya akan memanfaatkan kekuasaannya dengan politik dan ambisi politik yang memang menjadikan kekuasaannya untuk memakmurkan rakyatnya yang akan dipilih sebagai pemimpin negara kelak.
Sehingga dengan berbagai harapan yang dimiliki rakyat yang akan memberikan suaranya kepada tokoh politik yang berhak, dapat memberikan kepastian janji-janji manisnya yang dahulu ia suarakan sebagai dalih-dalih agar dipilihnya sebagai pemimpin, dalam kata lain siapapun yang akan menjadi pemimpin Negara ini, kelak ia akan memberikan ambisi-ambisi politiknya yang positif bagi masyarakat maupun Negara demi kesejahteraan bersama. Karena pada dasarnya rakyat Indonesia kini banyak menaruh harapan pada pilpres 2019 ini bahwasannya akan dibawa kemana Negara ini kedepannya. Sehingga tidak ada lagi janji-janji busuk yang hanya dapat membuat hati terluka setiap rakyat.
Oleh karenanya dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pilpres 2019 ini akan terus memberikan dampak positif setelahnya tanpa meninggalkan kedengkian dari berbagai pihak terutama pihak politik yang bersangkutan, para politisi harus menyadari bahaya dan menghentikan segala propaganda yang memanfaatkan fanatisme pendukungnya untuk menyerang atau menganggap musuh setiap pandangan dan sikap politik yang berbeda, melainkan harus mulai berfikir apa yang terbaik bagi kemajuan bangsa dengan saling menuangkan pikiran untuk keberlangsunganya dalam pencapaian Negara yang makmur sejahtera.
*penulis adalah mahasiswi mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, semester 1 Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H