Cinta Dengan Sekeping luka bagian 25
Oleh Mugiarni
Purbaningrum  kembai agi ke dunia reaita . Nyatanya kini Purbaningrum  telah   berbahagia bersama Aditya
Di bawah sinar matahari yang lembut, Purbaningrum dan Aditya melangkah di antara kelopak-kelopak bunga yang mempesona di kebun buah yang indah. Seperti puitisnya puisi alam, pepohonan yang rimbun menggantungkan dedaunan hijau yang menari dengan lembut di angin sepoi-sepoi.
Saat mereka melangkah lebih jauh, takdir yang tak terduga mempertemukan mereka dengan sosok luhur yang memiliki hati hangat, Bapak Eki. Wajahnya dipenuhi senyuman tulus, memancarkan kebijaksanaan yang terbaca dari jejak-jejak waktu yang menghiasi keriput di wajahnya. Ia telah menghuni tanah ini sejak lama, menyaksikan kebun ini tumbuh, berkembang, dan menyembahinya dengan dedikasi yang tak tergoyahkan.
Di bawah rindangnya pohon tua yang mengelilingi mereka, mereka menemukan kedamaian dan pesona yang tak terkatakan. Saling pandang mereka adalah kisah-kisah yang ingin didengarkan, sejarah yang tersimpan dalam setiap serbuk debu di udara. Melalui kata-kata bijak Bapak Eki, mereka disentuh oleh tautan tak terlihat antara masa lalu dan masa kini.
Dengan gemetar, suara lembut Bapak Eki  memulai mengalir seperti sungai yang tak terbatas. Cerita-cerita tentang kebun ini menjadi lebih hidup, seperti lukisan yang tumbuh menjadi realitas di hadapan mereka. Melalui kata-katanya yang lembut, mereka merasakan jalinan kehidupan yang telah terpintal di antara setiap dedaunan, setiap buah yang bersemi, dan setiap helaan nafas yang dipenuhi aroma segar.
Mereka takjub mendengarkan tentang waktu ketika tanah ini hanya sebatas gersang dan tandus, sebelum Bapak Eki dan penduduk setempat menaburkan biji harapan yang tak pernah pudar. Dengan kesabaran yang tanpa batas, mereka merawat kebun ini, memberinya cinta dan perhatian yang memupuknya menjadi tempat yang ajaib ini.
Bapak Eki  memancarkan kebijaksanaan dari setiap kata yang diucapkannya, mengajar Purbaningrum dan Aditya tentang nilai-nilai kesederhanaan, ketekunan, dan kerjasama. Di sana, di tengah-tengah kebun yang melayang di antara waktu, mereka menyadari betapa berharganya hubungan yang terjalin antara manusia dan alam. Keindahan kebun buah ini bukan hanya hasil kerja keras, tetapi juga simbol dari ikatan yang tak terpisahkan antara manusia dan bumi yang melahirkannya.
Di bawah bimbingan Bapak Eki, Purbaningrum dan Aditya belajar untuk lebih menghargai alam dan menjaga lingkungan di sekitar mereka. Mereka menyadari bahwa keberadaan kebun buah yang indah ini adalah hasil dari usaha bersama manusia dan alam. Mereka merasakan keterhubungan yang dalam dengan alam dan memahami bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga keindahan tersebut agar tetap lestari.
Purbaningrum dan Aditya menjadi lebih sadar akan pentingnya kesederhanaan dalam hidup. Mereka belajar untuk menghargai setiap momen kecil dan menikmati keindahan sederhana yang ada di sekitar mereka. Mereka tidak lagi terperangkap dalam hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, tetapi mereka menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan yang sederhana dan alami.
Kerjasama juga menjadi nilai penting yang mereka pelajari dari Bapak Eki dan kebun buah ini. Mereka belajar bahwa tanpa kerjasama antara manusia dan alam, kebun ini tidak akan pernah menjadi tempat yang ajaib. Mereka mulai berkolaborasi dengan penduduk setempat dan komunitas sekitar untuk menjaga dan merawat kebun buah ini dengan lebih baik.
Kisah Purbaningrum dan Aditya bersama kebun buah yang indah dan Bapak Eki menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitar mereka. Mereka berbagi cerita dan pengalaman mereka tentang keindahan alam dan pentingnya menjaga lingkungan. Semakin banyak orang yang terinspirasi dan terlibat dalam menjaga kebun buah ini, menjadikannya sebagai pusat kegiatan komunitas yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H