Mohon tunggu...
Mugi Harjo
Mugi Harjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sekedar seorang manusia yang belum utuh rohaninya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembar Mayang dan Kolor Mlorot

5 November 2014   06:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembar Mayang dan Kolor Mlorot

Jika sekalian orang melewati sebuah desa yang terletak diujung jalan. Maka, jangan sekali-kali merogoh kocek. Sebab air mata akan meleleh deras melihat pemandangan menyedihkan penduduk sana. Desa itu bernama Kolor Mlorot. Bukan tanpa alasan diberi nama demikian. Panjang ceritanya. Terlihat dari namanya saja desa itu menyiratkan kemuraman masam. Begini ceritanya, tepatnya cerita kawan lama.

Desaku disebut puyuh mabur. Tentu disebut begitu karena dari desa kami makmur karena peghasilan dari telur puyuh. Saat itu sedang musim penghujan. Dan kata orang banyak, musim seperti itu akan banyak yang menggelar perkawinan. Coba tebak apa tujuannya dan mengapa bukan diwaktu lain? ada yang yang beralasan sudah waktunya menikah, ada juga yang dengan bangga bilang tujuannya pas waktu musim hujan. “Dingin, kang. Jadi, cari yang anget-anget.” Demikian salah satu teman sejawat saya berujar. Saya langsung manggut-manggut dan seketika setuju dengan pendapatnya. Karena sedang deras-derasnya hujan turun, dua orang peronda berlari mengarah ke rumah saya. “Jangan kaget ya, kang. Ini ada undangan manten. Ada tujuh. Wah ada kopi, pas” salah seorang peronda.langsung nyerocos dan menyeruput kopi. Jujur saja, aku menjadi kesal. Bukan hanya karena undangan yang ada tujuh dan serempak satu hari itu, tapi juga kelakuan peronda yang sama-sekali tak ada unggah-ungguh-nya. Bahkan setelah mereka pergi.

Sebagai warga yang bermasyarakat, aku bukan hanya harus menyumbang uang, tapi juga tenaga dan fikiran dalam perhelatan nikah serempak itu. Satu manusia, satu nyawa, satu akal, satu tenaga dan harus berbagi dengan tujuh tempat. Ya sudah, dikuat-kuatkan saja. Maklum saja, desa kami ini terletak diujung kecamatan. Warga-warga desa yang diundang sedia membantu agar persiapan acara pernikahan-pernikahan itu berjalan lancer. Mendirikan tenda, meminjam gel;as, piring, kursi-meja dan tetek-bengek lainnya, termasuk mendekorasi ruangan. Dan semuanya dikerjakan tanpa upah uang, hanya makan dan minum. Itulah indahnya budaya yang tak harus dengan uang.

Tentang dekorasi, ada hal yang menjadi perdebatan warga desa. Anak-anak, ibu-ibu arisan, bapak-bapak. Bahkan bisa saja roh leluhur yang ada dialam lain sana. Pasalnya, ketujuh keluarga calon mempelai baik dari pihak laki-laki maupun perempuan sepakat. Sepakat tak akan menggunakan kembar mayang. Sedangkan warga desa tak setuju dengan keputusan tersebut. Tidak ketemu jalan keluar. Si keluarga calon pengantin tetap ngotot dengan pendiriannya. Wal hasil warga kecewa berat. Pernikahan tetap digelar.

Tiga hari setelahnya, pernikahan digelar. Mewah. Serba warna hijau kuning menghiasi. Tapi sayangnya kembar mayang tak ada di boyong dalam proses pernikahan. Anehnya, semua berjalan lancer. Tamu undangan juga ramai dan ribut membicarakan para pengantin yang tampan dan cantik. Namun setelah itu. Kejadian mengejutkan warga desa. Semuanya keluar dari rumah saat matahari mulai terbenam. Semua burung puyuh hambur beterbangan. Semua warga kelimpungan. Lebih lagi para bos besar, tak satupun puyuh tersisa. Telur-telurnya pun pecah berserakan. “Aduh-aduh ajur kabeh iki. Makan apa warga desa nantinya” tak urung semua warga menangis terduduk, tersungkur dipelataran rumahnya menyaksikan satu-satunya mata pencarian mereka hilang dibawa angin.

Setelah beberapa bulan dari peristiwa itu. Warga mulai kehilangan gairah hidup. Uang tabungan habis. Banyak para lelaki pergi mengadu nasib dikota. Ada satu hal yang membuat kepala desa menjadi kalap dan berteriak menyebut sebuah nama. Yakni perkara anak-anak, ibu-ibu dan lelaki yang tinggal didesa berkumpul lantas berdiri sambil memelorotkan celana, sebagai simbol melorotnya perekonomian mereka. “Desaku kolor mlorooooot”.

Demikia cerita seorang kawan tentang sebuah desa bernama puyuh mabur menjadi kolor mlorot. “Jika engkau melintasinya, jangan beri uang. Tapi pikiran da tindakan membenahi mereka dan desanya” pak lurah member wejangan sembari memelorotkan celana luaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun